Jangan lupa tinggalkan komentar. Kasih gems yang banyak, ya ^_^
Matahari mungkin sudah terbenam, tetapi tidak ada bedanya sama sekali karena sedari tadi mendung setelah hujan. Tidak ada pelangi di matamu, apalagi di langit. Di parkiran makam ini hanya ada tiga kendaraan terparkir. Dua sepeda motor dan sebuah sepeda onthel. Aku duduk di atas motor butut milik Pak Arfan. Unik juga dia. Di saat anak-anak muda bergaya dengan motor gede seperti di tipi-tipi, dia cukup dengan motor astrea hijau. Namun motor ini begitu terawat, masih kinclong warnanya.Bunga kamboja warna putih menghiasi kuburan, harum semerbak menyeruak ke dalam hidung. Membuatku bersin-bersin karena alergi, ditambah dengan dinginnya udara sore ini . Untung saja aku memakai khimar sehingga tidak membuatku menggigil, ternyata ada gunanya juga pakaian ini.Kulihat sosok lelaki dari arah makam menghampiri. Dia membawa cangkul dan karung. Mungkinkah dia penjaga kuburan? Namun, apa yang dia bawa di dalam karung? Oh tidak! Jangan-jangan kepala Pak Arfan di dalamnya. “Astaghfirullah .... Bis
Emang dasar Pak Arfan. Bisa-bisanya dia lupa naruh kunci motor. Ini ‘kan kuburan. Malam minggu bukannya kencan di kafe malah di makam. Aku jadi merinding. “Duh, kuncinya di mana, ya? Jangan-jangan jatuh di kuburan. Aku balik sebentar, ya!” Belum sempat dia berbalik, seorang gadis cantik memakai hijab putih datang bersama lelaki paruh baya. Mereka berjalan ke arah kami, sepertinya motor di sebelah kami ini milik mereka.“Makasih, ya, Mas, sudah mau direpotkan sama saya. Ini tadi kunci motornya jatuh,” ucap bapak-bapak tersebut sambil menyerahkan sebuah kunci dengan gantungan daun sirih.Norak sekali Pak Arfan. Gantungan kuncinya daun sirih. Penampilannya kece badai ala anak muda zaman now, sayang seleranya begitu. Aku ingin tertawa, tetapi takut dosa. “Alhamdulillah, ternyata masih rezeki saya. Makasih, ya, Pak.”“Sama-sama, ini siapa, Mas? Adiknya, ya?” tanya lelaki yang rambutnya sudah ditumbuhi uban itu. Pak Arfan melirikku sebentar. Rasanya aku ingin menyanyi jika bukan di maka
Sayup terdengar suara azan Maghrib, tetapi kami masih di jalan. Tidak biasanya aku pulang petang karena takut ayah marah. Motor melaju dengan kecepatan sedang. Mungkin dia takut kupeluk jika ngebut. Padahal aku sudah ingin segera sampai rumah.“Kita ke masjid dulu, ya!” ajak Pak Arfan.“Mau ngapain?”“Salat dulu. Lebih baik berhenti dulu saat azan Maghrib berkumandang.” Wih, ternyata dia bisa ceramah. Multi talenta sepertinya.“Rumahku sudah dekat, Pak. Pertigaan depan belok ke kiri.”“Memangnya ayahmu memperbolehkan lelaki datang ke rumah?”“Boleh, Pak. Apalagi kalau borong jualan ayah saya.”“Katanya tadi gratis buat saya?” Dih, ternyata dia suka pamrih. “Iya deh, nanti saya kasih bubur gratis buat Bapak. Azannya sudah selesai, jalan lagi, yuk, Pak.”Setelah hari ini aku usahakan tidak akan terlambat kuliah. Bertemu dengannya membuatku sial. Entah sudah berapa kali aku mengalaminya hari ini.“Udah gak sabar, ya, pingin segera kulamar?” Dia terkekeh geli.Plak! Aku memukul pungungny
Langit sudah gelap, sudah tidak terdengar lagi suara azan. Gamisku sudah terlepas dari rantai berkat cutter Pak Arfan. Sekarang aku sudah mirip wewe gembel. Bajuku compang-camping tidak karuan. Bolong-bolong sampai lutut seperti style trio macan. “Gamis trend masa kini,” ucap Pak Arfan setelah gamisku terlepas. Dia tertawa hingga memegangi perut.Bukannya merasa bersalah malah diketawain. Untung aku bukan ukhty hijabers ala pondok pesantren. Aku sudah terbiasa memakai baju terbuka. (Baca bab 4.)“Aku mau jalan kaki aja, sudah dekat. Aku gak mau bayar! Ojolnya sedang oleng.” Aku berjalan kaki meninggalkannya sendiri. Kenapa dia gak ngejar, sih? Kan masih jauh. Sudah lemas lututku, seharian ini terasa begitu melelahkan. Rasanya aku ingin segera sampai rumah dan memeluk guling. Aku berhenti sejenak dan menengok ke belakang. Kulihat dia mengacak-acak rambutnya. Ada apa dengannya? Ah, masa bodoh. Aku berbalik mengabaikannya.“Syifa, tunggu!” ucapnya berteriak. Yes, sepertinya dia mau a
Mampus aku. Aku berhenti di tengah pintu kemudian berbalik menghadapnya. “Saya ambilkan bubur lagi, ya, Pak.” Aku tersenyum manis, sangat manis hingga bisa membuat readers diabetes. “Saya sudah kenyang! Ambilkan baju ganti. Kemeja saya jadi kotor semua.” Dia membersihkan sisa bubur di bajunya. Aku segera pergi ke kamar Ilham untuk mengambil baju. Oh iya, lupa. Aku menepuk jidatku. Ilham ‘kan baru kelas 1 SMA, pasti tidak muat. Akhirnya aku mengambil kaos oblong milikku. Aku memiliki banyak kaos berukuran besar karena tidak suka memakai baju ketat. Saat aku keluar, Pak Arfan sudah melepas kemejanya. Oh tidak! Mataku ternodai lagi. Ingin berpaling tapi sayang.“Maaf, Pak, bajunya biar nanti saya yang nyuci.” Aku menyerahkan kaos berwarna ungu kepadanya. Dia tidak lekas menerima kaosku. “Tidak ada warna lain? Terlalu girly.” “Warna pink, mau?”“Baiklah, yang ini saja.” Dia menerima kaos yang kuberikan. Namun nahas, aku terpeleset bubur yang tercecer di lantai. Pak Arfan menerima
Aku terbangun kala mendengar lantunan ayat suci Al-Qur'an dari masjid. Sebentar lagi azan Subuh berkumandang. Aku menggeliat pelan dan aw, punggungku seperti retak. Aku lupa jika punggungku sakit. Aku berteriak dan menjerit kesakitan hingga Faiha terbangun. Setelah kejadian tadi malam, Ayah melanjutkan jualannya dibantu Ilham. Sedangkan Faiha menemani dan memijit kakiku hingga terlelap. “Kakak mau ngapain?” tanya Faiha. “Kebelet, kemarin makan mie ayam pedes banget!” Aku memegangi perutku yang rasanya mules luar biasa hingga membuat semua persendianku linu. Tidak lama kemudian terdengar suara angin keluar dari lubangnya. Faiha segera menutup hidung. Akupun tidak tahan dengan baunya. Benar-benar busuk. Apalagi sudah dua hari tidak BAB.“Ih, kakak jorok banget!” Faiha mengibas-ngibaskan tangannya di udara. Dia hampir saja muntah. Aku terkekeh, “Alhamdulillah lega, bantu kakak ke kamar mandi, Fai.”“Aku gak perlu nungguin kakak sampai selesai, ‘kan?” tanyanya sambil menguap. Seperti
Pagi ini suasana di kota Kudus serasa sejuk karena sisa hujan kemarin. Namun malah membuatku gerah. Rasanya aku ingin menenggelamkan kepalaku di kulkas supaya dingin.“Kak, ada tamu,” ucap Ilham.Tamu? Siapa yang pagi-pagi begini datang ke rumah? Aku tidak memiliki janji dengan siapapun. Kulihat ponselku, tidak ada satupun pesan yang masuk. Dengan tertatih aku membuka pintu kamar. “Siapa, Ham?” tanyaku sambil mengikat rambut yang berantakan dengan karet gelang warna kuning. Senada dengan kaos yang kupakai, gambar Pikachu.“Nggak tahu. Katanya teman kakak,” jawab Ilham sambil mengedikkan bahu. “Bukan yang tadi malam, ‘kan?”“Bukan, yang ini lebih muda. Lebih fresh.”Kira-kira siapa yang datang sepagi ini? Mencurigakan sekali. “Lebih muda? Memangnya yang kemarin udah tua?”“Kalau yang kemarin itu udah gak muda, Kak. Mateng.”Memang benar, sih, Pak Arfan lebih tua usianya. Namun, dia termasuk salah satu dosen muda di kampus. Nyatanya banyak wanita yang menggilainya, kecuali aku. Aku
Wajah ayah berubah menjadi pucat setelah membuka mejikom. Dilepaskannya centong hingga jatuh ke lantai. Kemudian menutup mejikom kembali. Aku penasaran kenapa ayah sampai shock? Aku berdiri dan hendak membukanya, tetapi dilarang ayah. “Jangan dibuka, kamu bisa pingsan!”Tanganku urung membukanya meskipun penasaran. “Memangnya kenapa, Yah?”“Astaghfirullah, Faiha!” Ayah meletakkan piringnya kembali dan duduk memegangi dadanya.“Kenapa, Yah?” Faiha datang membawa setoples kerupuk.“Nasinya masih mentah, Fai. Kamu lupa colokin, ya?”Aku memegang mejikom di depanku, anget. Berarti sudah dicolokkan. Tapi kenapa nasinya masih mentah? Apa sudah rusak, ya?“Udah, Yah. Tadi panas, kok,” jawab Faiha.“Coba kamu lihat!” perintah ayah.“Sepertinya aku lupa tekan cook, Yah. Apa aku belikan nasi saja di warung?” tanya Faiha.“Ayah belum laper. Ya sudah, kamu taruh di belakang lagi. Ayah mau ngopi dulu.”Aku mengambilkan secangkir kopi untuk ayah. Byur! Ibra terkena semburan kopi dari mulut ayah.