Kehidupan berumah tangga di awal pernikahan memang selalu manis. Apalagi bagi kami yang selama ini tidak pernah pacaran. Namun, semuanya berubah saat negara api menyerang. Tidak hanya orang tua, tetangga, bahkan mahasiswa di kampus menggunjing karena aku tidak hamil-hamil. Padahal kami sudah berusaha semaksimal mungkin sampai Ayah membelikan ramuan Jawa yang katanya sangat ampuh. Bukannya manjur, aku dan suamiku malah masuk rumah sakit. Kami mengalami diare sampai dehidrasi. Katanya suami dan istri harus sama-sama meminum jamu supaya subur. Kami sudah cek ke dokter dan tidak ada masalah serius padaku maupun suamiku. Kami sama-sama sehat, mungkin memang belum rezekinya. “Maafin Ayah, ya, Fa. Tidak ada niat sedikit pun untuk mencelakai kalian,” ujar Ayah sambil menciumi tanganku. “Tidak apa-apa, Pak. Namanya juga usaha,” jawab Mas Arfan dengan senyuman yang setengah dipaksakan. Sudah lima bulan kami menikah dan belum ada tanda-tanda hamil. Mungkin benar kata Mas Arfan jika aku harus
“Duh, gimana nih! Udah telat, mana dosen kiler pula.”Aku mondar-mandir menunggu angkutan umum. Gerakan kakiku sudah seperti setrika yang melicinkan baju. Perjalanan ke kampus membutuhkan waktu selama lima belas menit, jika telat sedikit saja aku bisa mendapatkan nilai C. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat hingga setengah jam tidak kunjung datang juga angkutannya.Aku mulai resah menunggu hingga datanglah mobil berwarna orange. Kulambaikan tangan hingga ia menepi. Hanya ada dua penumpang di dalamnya, seorang perempuan membawa pisang beberapa tundun dan satunya lagi nenek tua yang sudah tertidur.“Jalan, Bang!”“Ngetem dulu, Neng. Nunggu penumpangnya banyak,” jawab Pak Sopir.“Ya Allah ... ini hari Sabtu, Bang. Nggak bakal ada anak sekolah. Udah siang, nih, aku bisa telat!”Berkali kulihat jam di ponsel, tetapi angkutan tidak kunjung melaju.“Sabar, Neng. Orang sabar disayang pacar.”“Aku nggak punya pacar, Bang. Jomlo lillahi ta'ala.”“Mau jadi pacar Abang, nggak?” tanyanya sambil
Babang ojol berlari mendekatiku. Dag dig dug jantungku berdegup kencang saat melihatnya, dia terlihat begitu manis setelah membuka helmnya. Duh, bisa diabetes ini, Mas. “Ada apa, Mas? Aku ‘kan udah bayar!” Lagi, dia tersenyum kepadaku. Ya Allah, meleleh hati ini. Dia mengulurkan tangan kanannya kepadaku. Apakah dia mau kenalan? Tahan senyum, Syifa! Jangan bertingkah bodoh. “Helmnya, Neng,” ucapnya sambil tersenyum. Sial, pipiku sudah semerah kepiting rebus. Rasanya aku ingin mengubur diriku hidup-hidup. “Maaf, Mas. Kelupaan.” Aku segera melepas helm dan mengembalikan kepadanya. “Meskipun jelek begini, harganya mahal, Neng. Lebih mahal daripada gaji saya sehari.” Aku melihat helm hitam dengan kaca bening itu. Di belakangnya ada tulisan ‘H*nda' yang sudah sangat familiar. Dasar babang ojol tukang bohong, helm gratisan aja bilangnya mahal. Dikiranya aku bohoh? Heh! “Iya-iya, maaf, Mas. Saya ‘kan udah bilang kalau lupa. Saya buru-buru, dose
Aku melihat lelaki yang pagi ini sudah menolongku, sekaligus membuat naik darah. Dia sudah terlalu membuat hati ini baper, eh, langsung dijatuhkan gitu aja. Udah gitu aku habis ditipu sama dia. Aku harus memberikan pelajaran padanya.Aku melipat lengan gamisku hingga ke siku. Bersiap memberikan sebuah pelajaran kepada babang ojol. Aku tidak boleh terpesona dengan ketampanannya. Pelan tapi pasti, aku berjalan dengan berkacak pinggang hingga sampai di sampingnya. Dia menoleh ke arahku. “Heh, ngapain kamu ke sini? Bayarannya kurang?”“Udah lunas, kok. Tenang aja.”Dia tersenyum lagi, tapi maaf, aku tidak akan terpengaruh. Aku sudah menutupi mataku dengan tahu dan tempe. “Lalu? Kamu buntutin aku, ya? Apa jangan-jangan kamu naksir sama aku? Heh, jangan mimpi!”“Aku cuma—““Cuma apa? Mau modus, atau tebar pesona?”Kulihat penampilannya sudah berbeda. Dia tidak lagi memakai jaket ojol warna hijau. Semua mahasiswi di kelas ini menatapnya tanpa berkedip. Dia sudah menghipnotis semua temanku.
“Maaf, saya bercanda. Silakan duduk.”Sial! Kenapa jantung ini tidak bisa diajak kompromi. Rasanya mau loncat dari tempatnya. Aku duduk di kursi berseberangan dengannya. Ada sebuah meja di antara kami. Cukup aman dengan jarak radius 100 sentimeter. Kulihat sebuah papan nama di meja, ‘Arshaka Bumi' nama yang indah, sesuai dengan orangnya. “Pak ...” Aku bingung harus memanggilnya siapa. Arsya, Shaka atau Bumi?“Panggil saja Arfan, bukankah kamu mengenalku sebagai Mas ojol?” Dia bertanya masih dengan senyum mautnya.Lah, meja siapa yang dia duduki? Dasar aneh! Mengapa dia selalu tersenyum seperti itu, sih? Makin menjadi-jadi nih jantung.“Maaf, Pak. Saya tidak tahu.”“Bu Endang izin selama satu bulan, beliau mau menjenguk anaknya di Kalimantan. Jadi, saya akan menggantikannya untuk sementara waktu. Namun, saya akan tetap memberikan hukuman karena kamu terlambat.”Apa? Sontak aku menggebrak meja di depanku. Bisa-bisanya dia memberikanku hukuman. Enak saja main hukum sembarangan. “Karen
“Iya, kita bisa berteman. Aku janji, aku nggak akan membawa perasaan dalam pertemanan kita.” Ibra mengulurkan satu jari kelingkingnya. Seperti anak kecil saja. Aku mengerutkan dahi. Pasalnya tidak ada pertemanan yang abadi antara lelaki dan perempuan dewasa. Apalagi aku sudah mengetahui jika dia menyimpan perasaan kepadaku. Bagaimana ini? Belum sempat aku menjawab, dia sudah memegang tanganku dan menautkan jari kelingking kami. “Sekarang kita berteman.” Aku bingung harus menjawab apa. Aku bahkan belum menyetujuinya. Dia mengambil kesimpulan sendiri. “Nanti sore aku anterin pulang, ya, Fa. Kita ‘kan berteman.”“Maaf, aku nggak bisa. Aku udah pesan ojol.”“Kamu lucu. Pulangnya masih nanti sore dan sudah pesan ojol?” Dia tersenyum hambar. “Kamu tahu sendiri, kan, gimana galaknya Ayah. Aku gak berani diantar teman lelaki. Bisa digorok kalau sampai ketahuan.”“Aku jadi penasaran dengan Ayah kamu.” “Gak usah penasaran, nanti bisa kebawa mimpi. Gak lucu dong laki mimpiin laki juga, ha
Cuaca semakin buruk, angin berembus kencang dan hujan semakin deras. Tinggal aku sendiri di tempat ini hingga sebuah truk besar berhenti di dekat halte. Tidak lama kemudian datang dua lelaki yang turun dari truk. Mereka memakai baju hitam dan penutup muka. Hanya terlihat matanya saja. Sepertinya mereka bukan orang baik. Bagaimana ini? Oh Tuhan, selamatkan aku.Mereka berjalan mendekat hingga membuatku sangat panik. Bagaimana kalau aku diculik, diperkosa lalu dibuang ke waduk Logung? Ya Allah, ampunilah segala dosaku. Salah satu di antara mereka membawa senjata tajam. Jantungku berdebar, tetapi bukan jatuh cinta.“Berteduh, Neng? Mau Abang anterin, nggak?” tanya lelaki yang membawa senjata. Dia berjalan pelan menuju ke arahku.“I–iya, Bang. Eh, nggak usah. Makasih tawarannya.” Cuacanya sangat dingin, tetapi tubuhku terasa panas. Keringat bercucuran di keningku. Aku menggeser tubuhku kala lelaki yang satunya mulai mendekat. “Jangan jauh-jauh, Neng! Nanti jatuh. Di sana licin.” Tatapa
Sebuah motor berhenti di depan gerobak bakso. Motor itu tidak asing bagiku. Apalagi suara itu, aku sangat hafal.“Eh, Mas Arfan. Ini Mas ada cewek udah makan nggak mau bayar.”Dia lagi, bukankah masih banyak manusia di bumi ini? Kenapa hanya dia yang selalu Engkau pertemukan denganku? Seharusnya Mas Aldebaran saja yang datang, biar dicari Andin.“Aku udah bayar, ya. Kurang dua ribu doang.”“Tetep aja kurang, Neng.”“Biar saya yang bayar, Bang. Sekalian bungkusin 2 bakso kayak biasanya, ya!”“Siap, Mas Arfan. Tunggu sebentar, ya.”Dia turun dari motor dan duduk di kursi plastik berhadapan denganku. Aku segera menggeser kursi, tidak enak rasanya berhadapan dengan lelaki yang sudah beristri, apalagi dia dosenku. “Kenapa mundur?” tanyanya dengan senyum manis. “Jangan dekat-dekat, Pak.” Aku bisa diabetes jika dia selalu tersenyum seperti itu. Besok aku harus pergi ke dokter untuk memeriksa kadar gula darah.“Kita sedang tidak di kampus, jangan panggil ‘Pak’ nanti aku dikira Bapakmu. Gak