Share

Sekarat

Cuaca semakin buruk, angin berembus kencang dan hujan semakin deras. Tinggal aku sendiri di tempat ini hingga sebuah truk besar berhenti di dekat halte.

Tidak lama kemudian datang dua lelaki yang turun dari truk. Mereka memakai baju hitam dan penutup muka. Hanya terlihat matanya saja. Sepertinya mereka bukan orang baik. Bagaimana ini? Oh Tuhan, selamatkan aku.

Mereka berjalan mendekat hingga membuatku sangat panik. Bagaimana kalau aku diculik, diperkosa lalu dibuang ke waduk Logung? Ya Allah, ampunilah segala dosaku. Salah satu di antara mereka membawa senjata tajam. Jantungku berdebar, tetapi bukan jatuh cinta.

“Berteduh, Neng? Mau Abang anterin, nggak?” tanya lelaki yang membawa senjata. Dia berjalan pelan menuju ke arahku.

“I–iya, Bang. Eh, nggak usah. Makasih tawarannya.”

Cuacanya sangat dingin, tetapi tubuhku terasa panas. Keringat bercucuran di keningku. Aku menggeser tubuhku kala lelaki yang satunya mulai mendekat.

“Jangan jauh-jauh, Neng! Nanti jatuh. Di sana licin.” Tatapan matanya menelisik dari ujung kepala sampai ujung kakiku.

Aku menelan ludah dan semakin mundur kala lelaki di sampingku semakin mendekat.

“Ya Allah, kirimkanlah malaikat penolong untukku. Jika perempuan, aku akan menjadikannya saudaraku, jika laki-laki aku bersedia menikah dengannya,” ucapku lirih.

“Ngomong apaan, sih, Neng? Hujan-hujan begini nggak bakal ada orang yang lewat!”

Aku semakin ketakutan dibuatnya. Dia mengangkat senjata ke arahku. Aku berteriak sekencang-kencangnya dan menutup mataku. “Aaa ... tolooong!”

“Permisi, Neng. Kami mau ambil sampah. Dari tadi si Eneng halangin terus.”

Aku membuka mataku perlahan kemudian berdiri. Kulihat sebuah tong sampah besar berada di belakangku. Heh? Aku gagal fokus. Aku mengambil kacamataku dari dalam tas. Setelah memakainya, terlihat jelas tulisan di atas truk tersebut, ‘Mobil Pengangkut Sampah.’ Pantas saja mereka sangat bau.

Aku kembali duduk di kursi panjang, masih setia menanti angkutan lewat. Sebaiknya aku mengabari Ilham, adik lelakiku supaya Ayah tidak mengkhawatirkanku.

“Assalamu’alaikum, Ham. Kakak telat, nih, terjebak hujan di halte. Tolong sampaikan sama Ayah, ya!”

Hujan mulai reda. Kembali kumasukkan ponsel ke dalam tas ransel. Rasanya begitu berat menggendongnya. Ada sepasang baju basah yang bercampur tepung dan telur. Baunya sungguh tidak sedap, untung sudah kumasukkan ke dalam kantong kresek.

Terlihat dari ujung jalan ada sebuah angkutan yang hendak ke mari. Alhamdulillah, akhirnya aku bisa pulang. Aku segera berdiri dan melambaikan tangan supaya angkutan berhenti. Namun, ternyata sudah penuh.

Sudah setengah jam berlalu, tetap tidak ada kendaraan yang lewat. Perutku lapar, aku harus mengganjalnya dengan sesuatu. Di seberang jalan ada penjual bakso. Pasti nikmat hujan-hujan begini makan bakso. Tapi nanti aku pulangnya gimana? Uangku tinggal sepuluh ribu, dan besok baru gajian.

Kulihat kanan dan kiri sebelum menyeberangi jalan. Setelah terlihat sepi, aku segera berjalan dengan cepat. Cacing di perut sudah berdemo minta diisi ulang. Kupegang perutku yang masih berbunyi nyaring, please jangan malu-maluin.

Aku berdiri di depan gerobak bakso, kulihat daftar menu yang ditempelkan di kaca.

Bakso = 10.000

Mie ayam = 8.000

Mie bakso = 12.000

Es teh = 2.000

Es jeruk = 3.000

“Bakso, Neng?”

Suara si Abang bakso mengagetkanku.

“Bentar, Bang. Saya lihat dulu daftar harganya.”

Sepuluh ribu cukup, lah, untuk beli mie ayam dan teh hangat. Namun, aku gak bisa pulang ke rumah. Kalau jalan kaki bisa malam hari sampai rumah. Langsung dikeluarin dari KK sama Ayah.

“Bang, mie ayam sama teh hangat satu, ya!” Akhirnya aku memesan mie ayam. Bagaimana aku pulang jika kelaparan? Bisa pingsan di jalan nanti.

Aku duduk di kursi plastik yang disediakan, seharusnya lebih enak lesehan, tetapi karena usai hujan tikarnya basah.

“Ini pesanannya, Neng.” Setelah menunggu beberapa menit akhirnya datang juga. Aku makan dengan lahap karena sudah sangat lapar. Kini tinggal mangkok dan gelas yang kosong. Sangat bersih dan tak tersisa sedikitpun.

“Semuanya berapa, Bang?”

Usai makan, aku segera membayarnya. Meskipun sudah tahu harganya, aku pura-pura bertanya, kali aja harganya turun jadi lima ribu. Lumayan masih bisa buat bayar angkutan.

“Sepuluh ribu, Neng.”

Aku mengambil dompet dari dalam tas dan segera membayarnya. Kuserahkan semua uangku kepada Abang bakso. Ternyata gak ada diskon, apalagi gratis ongkir. Semua itu hanya ada di zhopii.

“Pas, ya, Bang.”

“Loh, kurang ini, Neng. Uangnya cuma delapan ribu.”

“Masa sih, Bang? Perasaan uangku sepuluh ribu.”

“Nih, coba hitung sendiri!”

Aku menerima kembali uangku dan menghitungnya lagi, ternyata yang 2 lembar adalah uang seribuan. Tadi siang perasaan masih sepuluh ribu, deh.

“Wah, gimana, ya, Bang. Uang saya sudah habis.” Aku menunjukkan dompetku yang sudah sekarat. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana.

“Saya gak mau tahu, pokoknya Neng harus bayar.”

“Saya bayar besok, ya, Bang. Besok saya kuliah lagi. Saya biasa nunggu angkutan di sana.” Aku menunjuk ke arah halte di seberang jalan.

“Alah bohong, saya sudah sering ketipu sama mahasiswa model kaya kamu.”

“Ya Allah, Bang. Suwer deh, besok saya bayar. Sesama muslim kita harus saling percaya, Bang.”

“Saya gak percaya sama kamu. Saya hanya percaya sama Allah. Percaya sama manusia itu musyrik. Apalagi sama dukun.”

Heh, apa dia pikir aku ini dukun?

“Ada apa, Bang?” Tiba-tiba terdengar sebuah motor berhenti di depan gerobak bakso.

Suara itu .... sepertinya tidak asing di telingaku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Suara siapa itu? Jangan jangan.....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status