Sebuah motor berhenti di depan gerobak bakso. Motor itu tidak asing bagiku. Apalagi suara itu, aku sangat hafal.
“Eh, Mas Arfan. Ini Mas ada cewek udah makan nggak mau bayar.”Dia lagi, bukankah masih banyak manusia di bumi ini? Kenapa hanya dia yang selalu Engkau pertemukan denganku? Seharusnya Mas Aldebaran saja yang datang, biar dicari Andin.“Aku udah bayar, ya. Kurang dua ribu doang.”“Tetep aja kurang, Neng.”“Biar saya yang bayar, Bang. Sekalian bungkusin 2 bakso kayak biasanya, ya!”“Siap, Mas Arfan. Tunggu sebentar, ya.”Dia turun dari motor dan duduk di kursi plastik berhadapan denganku. Aku segera menggeser kursi, tidak enak rasanya berhadapan dengan lelaki yang sudah beristri, apalagi dia dosenku.“Kenapa mundur?” tanyanya dengan senyum manis.“Jangan dekat-dekat, Pak.” Aku bisa diabetes jika dia selalu tersenyum seperti itu. Besok aku harus pergi ke dokter untuk memeriksa kadar gula darah.“Kita sedang tidak di kampus, jangan panggil ‘Pak’ nanti aku dikira Bapakmu. Gak lucu kan ganteng-ganteng begini dikira udah punya anak?”“Bapak kan emang udah punya anak dan istri.”“Ha ha ha ...” Dia tertawa sampai memegangi perutnya.“Kenapa Bapak tertawa? Memang benar ‘kan Bapak udah punya anak dan istri.”“Memangnya ada yang mau nikah sama saya? Dosen itu gajinya sedikit. Hidup berumah tangga tidak hanya soal cinta, tetapi juga perlu materi. Ganteng aja nggak cukup!”“Bukannya Bapak bilang jadi ojol untuk menghidupi anak dan istri?”“Memang, sih. Masih nabung dulu. Nanti kalau sudah ada yang cocok mau langsung saya lamar.”Mendengar jawabannya entah mengapa membuat hati begitu senang. Jadi, dia belum menikah?“Ini, Mas, baksonya.” Abang penjual bakso memberikan pesanan Pak Arfan.“Kembaliannya buat besok aja, Bang.” Dia memberikan selembar uang kertas berwarna biru setelah pesanannya selesai.Katanya gajinya sedikit, tetapi kenapa dompetnya tebal? Tidak mungkin hasil ngojek bisa sebanyak itu. Jangan-jangan selain dosen dan ojol, dia juga ngepet. Zaman sekarang ini mencari pekerjaan yang haram aja udah susah, apalagi yang halal.“Selain ojol, Bapak punya sampingan apalagi?”Bukannya menjawab malah tersenyum. Gemas sekali rasanya. Ingin kucubit pipinya yang menggemaskan.“Kamu tahu dari mana kalau saya punya banyak sampingan?”Heh, tuh kan bener. Dia sepertinya pakai pesugihan babi ngepet. Apa jangan-jangan aku mau dijadikan tumbalnya? Mendadak bulu kudukku merinding.“Duit Bapak banyak, nggak mungkin kalau ngojek dapat banyak segitu.”“Pinter ... kamu suka baca novel online, nggak?”“Novel online? Lumayan, sih. Makanya aku sampai pakai kacamata gini.”Dia tersenyum lagi, sumpah bisa jantungan jika lama-lama berdekatan dengannya.“Seharusnya kamu jangan hanya baca. Coba nulis, deh. Menulis itu mudah, cari idenya yang susah.”“Kalau saya nih punya ide banyak, Pak. Hanya saja saya belum ada niat untuk menulis, masih suka baca aja.”Aku memang sering membaca novel online. Tidak hanya di aplikasi hijau, tetapi di aplikasi biru dan orange juga. Aku sampai follow akun author kesayanganku. Dia beda dari author famous yang lainnya. Di saat yang lain suka menulis tentang drama rumah tangga, dia nulis tema romance comedy. Komedi itu membuat orang tertawa dan bisa menghibur. sama seperti saat membaca novel ini.“Memangnya siapa author favorit kamu? Boleh saya tahu? Saya juga suka baca novel online. Apalagi yang gratisan.”Dasar medit. Biar begini aku masih nyisain sedikit uangku untuk buka gembok. Apalagi di aplikasi ini bisa baca pakai iklan.“Kenapa Bapak kepo sekali?”“Kali aja kita ngefans sama author yang sama.”Aku memalingkan wajah saat dia bertanya kepadaku. Senyumnya sangat berbahaya. Aku takut akan radiasi senyumannya.“Hmmm ... kasih tahu gak, ya?”"Nggak usah!"Eh! kenapa dia ngambek?Aku memang pernah bermimpi menjadi seorang penulis. Namun, karena kesibukan, aku menguburnya dalam-dalam. Aku mulai menulis dengan hal-hal receh di buku diary. Menulis nota pembayaran, status galau habis putus sama pacar di pesbuk dan di aplikasi berlogo gambar burung warna biru. Namun, semua berubah setelah negara api menyerang. Aku harus bekerja membantu Ayah menghidupi adik-adikku. Ibu meninggal 12 tahun yang lalu setelah melahirkan Faiha. “Ditanya bukannya jawab malah melamun.” Pak Arfan mebcibir. Aku tersadar dari lamunan. Mengapa dia kepo sekali? Aku jadi penasaran siapa penulis favoritnya. “Eh, maaf, Pak. Aku suka banget sama author Fan'z, dia itu kalau nulis bisa bikin pembaca ketawa-ketawa sendiri.” “Oh, ya? Kok sama, jangan-jangan kita jodoh,” ucapnya dengan mata berbinar. Heh, apa hubungannya dengan jodoh? Dia terlau mengada-ada. “Nggak ada hubungannya kali, Pak. Kalaupun aku disuruh memilih, mending milih author Fan'z daripada Bapak.” Dia tertawa tertawa hingga dere
Matahari mungkin sudah terbenam, tetapi tidak ada bedanya sama sekali karena sedari tadi mendung setelah hujan. Tidak ada pelangi di matamu, apalagi di langit. Di parkiran makam ini hanya ada tiga kendaraan terparkir. Dua sepeda motor dan sebuah sepeda onthel. Aku duduk di atas motor butut milik Pak Arfan. Unik juga dia. Di saat anak-anak muda bergaya dengan motor gede seperti di tipi-tipi, dia cukup dengan motor astrea hijau. Namun motor ini begitu terawat, masih kinclong warnanya.Bunga kamboja warna putih menghiasi kuburan, harum semerbak menyeruak ke dalam hidung. Membuatku bersin-bersin karena alergi, ditambah dengan dinginnya udara sore ini . Untung saja aku memakai khimar sehingga tidak membuatku menggigil, ternyata ada gunanya juga pakaian ini.Kulihat sosok lelaki dari arah makam menghampiri. Dia membawa cangkul dan karung. Mungkinkah dia penjaga kuburan? Namun, apa yang dia bawa di dalam karung? Oh tidak! Jangan-jangan kepala Pak Arfan di dalamnya. “Astaghfirullah .... Bis
Emang dasar Pak Arfan. Bisa-bisanya dia lupa naruh kunci motor. Ini ‘kan kuburan. Malam minggu bukannya kencan di kafe malah di makam. Aku jadi merinding. “Duh, kuncinya di mana, ya? Jangan-jangan jatuh di kuburan. Aku balik sebentar, ya!” Belum sempat dia berbalik, seorang gadis cantik memakai hijab putih datang bersama lelaki paruh baya. Mereka berjalan ke arah kami, sepertinya motor di sebelah kami ini milik mereka.“Makasih, ya, Mas, sudah mau direpotkan sama saya. Ini tadi kunci motornya jatuh,” ucap bapak-bapak tersebut sambil menyerahkan sebuah kunci dengan gantungan daun sirih.Norak sekali Pak Arfan. Gantungan kuncinya daun sirih. Penampilannya kece badai ala anak muda zaman now, sayang seleranya begitu. Aku ingin tertawa, tetapi takut dosa. “Alhamdulillah, ternyata masih rezeki saya. Makasih, ya, Pak.”“Sama-sama, ini siapa, Mas? Adiknya, ya?” tanya lelaki yang rambutnya sudah ditumbuhi uban itu. Pak Arfan melirikku sebentar. Rasanya aku ingin menyanyi jika bukan di maka
Sayup terdengar suara azan Maghrib, tetapi kami masih di jalan. Tidak biasanya aku pulang petang karena takut ayah marah. Motor melaju dengan kecepatan sedang. Mungkin dia takut kupeluk jika ngebut. Padahal aku sudah ingin segera sampai rumah.“Kita ke masjid dulu, ya!” ajak Pak Arfan.“Mau ngapain?”“Salat dulu. Lebih baik berhenti dulu saat azan Maghrib berkumandang.” Wih, ternyata dia bisa ceramah. Multi talenta sepertinya.“Rumahku sudah dekat, Pak. Pertigaan depan belok ke kiri.”“Memangnya ayahmu memperbolehkan lelaki datang ke rumah?”“Boleh, Pak. Apalagi kalau borong jualan ayah saya.”“Katanya tadi gratis buat saya?” Dih, ternyata dia suka pamrih. “Iya deh, nanti saya kasih bubur gratis buat Bapak. Azannya sudah selesai, jalan lagi, yuk, Pak.”Setelah hari ini aku usahakan tidak akan terlambat kuliah. Bertemu dengannya membuatku sial. Entah sudah berapa kali aku mengalaminya hari ini.“Udah gak sabar, ya, pingin segera kulamar?” Dia terkekeh geli.Plak! Aku memukul pungungny
Langit sudah gelap, sudah tidak terdengar lagi suara azan. Gamisku sudah terlepas dari rantai berkat cutter Pak Arfan. Sekarang aku sudah mirip wewe gembel. Bajuku compang-camping tidak karuan. Bolong-bolong sampai lutut seperti style trio macan. “Gamis trend masa kini,” ucap Pak Arfan setelah gamisku terlepas. Dia tertawa hingga memegangi perut.Bukannya merasa bersalah malah diketawain. Untung aku bukan ukhty hijabers ala pondok pesantren. Aku sudah terbiasa memakai baju terbuka. (Baca bab 4.)“Aku mau jalan kaki aja, sudah dekat. Aku gak mau bayar! Ojolnya sedang oleng.” Aku berjalan kaki meninggalkannya sendiri. Kenapa dia gak ngejar, sih? Kan masih jauh. Sudah lemas lututku, seharian ini terasa begitu melelahkan. Rasanya aku ingin segera sampai rumah dan memeluk guling. Aku berhenti sejenak dan menengok ke belakang. Kulihat dia mengacak-acak rambutnya. Ada apa dengannya? Ah, masa bodoh. Aku berbalik mengabaikannya.“Syifa, tunggu!” ucapnya berteriak. Yes, sepertinya dia mau a
Mampus aku. Aku berhenti di tengah pintu kemudian berbalik menghadapnya. “Saya ambilkan bubur lagi, ya, Pak.” Aku tersenyum manis, sangat manis hingga bisa membuat readers diabetes. “Saya sudah kenyang! Ambilkan baju ganti. Kemeja saya jadi kotor semua.” Dia membersihkan sisa bubur di bajunya. Aku segera pergi ke kamar Ilham untuk mengambil baju. Oh iya, lupa. Aku menepuk jidatku. Ilham ‘kan baru kelas 1 SMA, pasti tidak muat. Akhirnya aku mengambil kaos oblong milikku. Aku memiliki banyak kaos berukuran besar karena tidak suka memakai baju ketat. Saat aku keluar, Pak Arfan sudah melepas kemejanya. Oh tidak! Mataku ternodai lagi. Ingin berpaling tapi sayang.“Maaf, Pak, bajunya biar nanti saya yang nyuci.” Aku menyerahkan kaos berwarna ungu kepadanya. Dia tidak lekas menerima kaosku. “Tidak ada warna lain? Terlalu girly.” “Warna pink, mau?”“Baiklah, yang ini saja.” Dia menerima kaos yang kuberikan. Namun nahas, aku terpeleset bubur yang tercecer di lantai. Pak Arfan menerima
Aku terbangun kala mendengar lantunan ayat suci Al-Qur'an dari masjid. Sebentar lagi azan Subuh berkumandang. Aku menggeliat pelan dan aw, punggungku seperti retak. Aku lupa jika punggungku sakit. Aku berteriak dan menjerit kesakitan hingga Faiha terbangun. Setelah kejadian tadi malam, Ayah melanjutkan jualannya dibantu Ilham. Sedangkan Faiha menemani dan memijit kakiku hingga terlelap. “Kakak mau ngapain?” tanya Faiha. “Kebelet, kemarin makan mie ayam pedes banget!” Aku memegangi perutku yang rasanya mules luar biasa hingga membuat semua persendianku linu. Tidak lama kemudian terdengar suara angin keluar dari lubangnya. Faiha segera menutup hidung. Akupun tidak tahan dengan baunya. Benar-benar busuk. Apalagi sudah dua hari tidak BAB.“Ih, kakak jorok banget!” Faiha mengibas-ngibaskan tangannya di udara. Dia hampir saja muntah. Aku terkekeh, “Alhamdulillah lega, bantu kakak ke kamar mandi, Fai.”“Aku gak perlu nungguin kakak sampai selesai, ‘kan?” tanyanya sambil menguap. Seperti
Pagi ini suasana di kota Kudus serasa sejuk karena sisa hujan kemarin. Namun malah membuatku gerah. Rasanya aku ingin menenggelamkan kepalaku di kulkas supaya dingin.“Kak, ada tamu,” ucap Ilham.Tamu? Siapa yang pagi-pagi begini datang ke rumah? Aku tidak memiliki janji dengan siapapun. Kulihat ponselku, tidak ada satupun pesan yang masuk. Dengan tertatih aku membuka pintu kamar. “Siapa, Ham?” tanyaku sambil mengikat rambut yang berantakan dengan karet gelang warna kuning. Senada dengan kaos yang kupakai, gambar Pikachu.“Nggak tahu. Katanya teman kakak,” jawab Ilham sambil mengedikkan bahu. “Bukan yang tadi malam, ‘kan?”“Bukan, yang ini lebih muda. Lebih fresh.”Kira-kira siapa yang datang sepagi ini? Mencurigakan sekali. “Lebih muda? Memangnya yang kemarin udah tua?”“Kalau yang kemarin itu udah gak muda, Kak. Mateng.”Memang benar, sih, Pak Arfan lebih tua usianya. Namun, dia termasuk salah satu dosen muda di kampus. Nyatanya banyak wanita yang menggilainya, kecuali aku. Aku