Share

Ternyata

“Maaf, saya bercanda. Silakan duduk.”

Sial! Kenapa jantung ini tidak bisa diajak kompromi. Rasanya mau loncat dari tempatnya.

Aku duduk di kursi berseberangan dengannya. Ada sebuah meja di antara kami. Cukup aman dengan jarak radius 100 sentimeter. Kulihat sebuah papan nama di meja, ‘Arshaka Bumi' nama yang indah, sesuai dengan orangnya.

“Pak ...” Aku bingung harus memanggilnya siapa. Arsya, Shaka atau Bumi?

“Panggil saja Arfan, bukankah kamu mengenalku sebagai Mas ojol?” Dia bertanya masih dengan senyum mautnya.

Lah, meja siapa yang dia duduki? Dasar aneh! Mengapa dia selalu tersenyum seperti itu, sih? Makin menjadi-jadi nih jantung.

“Maaf, Pak. Saya tidak tahu.”

“Bu Endang izin selama satu bulan, beliau mau menjenguk anaknya di Kalimantan. Jadi, saya akan menggantikannya untuk sementara waktu. Namun, saya akan tetap memberikan hukuman karena kamu terlambat.”

Apa? Sontak aku menggebrak meja di depanku. Bisa-bisanya dia memberikanku hukuman. Enak saja main hukum sembarangan.

“Karena saya orang yang baik hati dan tidak sombong, hukuman kamu jadi ringan.”

“Tunggu dulu, Bapak kan juga terlambat, kita berangkatnya barengan loh, Pak.”

“Justru itu, kamu yang membuat saya terlambat. Saya mau minta tolong antarkan ke kelas Bu Endang, tetapi kamu malah lari, jadilah saya terlambat karena harus mencari kelas.”

“Maaf, saya kira Bapak tukang ojek.”

“Saya memang tukang ojek. Jadi dosen itu gajinya sedikit. Tidak cukup untuk membiayai anak dan istri.”

Oh, ternyata dia sudah punya istri. Aku memegangi dadaku, kenapa hati ini rasanya sakit? Sepertinya bakal ada yang rombongan patah hati.

“Silakan kembali ke kelas, kamu bisa melanjutkan kuliah. Nanti sore temui saya di sini!”

“Baik, Pak. Saya permisi.”

Syukurlah, aku bernapas lega. Paling hukumannya merangkum materi yang disampaikan.

***

Mata kuliah kedua berjalan dengan lancar. Sesekali aku mengibaskan jilbabku. Rasanya panas sekali seperti dioven. Apalagi di kelas ini tidak ada AC-nya. Aku heran mengapa Nindi betah menggunakannya setiap hari.

Berbeda denganku cewek tomboi yang selalu memakai celana dan kaos oblong lengan pendek. Namun aku selalu memakai pakaian yang sopan ketika kuliah. “Ajining raga saka busana.” Seperti pagi tadi sebelum aku memakai gamis pinky ini. Aku mengenakan hem kotak-kotak abu dan jeans biru.

“Gimana tadi? Pasti seneng banget diajak ke ruangan dosen ganteng,” tanya Mizka.

Mereka pikir aku bebas dari hukuman. Aku heran mengapa temanku tak henti-hentinya memuji dosen itu.

“Seneng apanya? Aku dapat hukuman. Bukan dapet lotre. Padahal ini hari ulang tahunku. Bukannya dapat jodoh malah dapat hukuman. Dasar dosen sialan!”

“Eh, jangan gitu, Fa. Nanti jodoh, loh!” ucap Tasya.

“Jodoh? Ha ha ha ... nggak mungkin.”

“Kenapa gak mungkin? Gak ada yang gak mungkin bagi Allah. Kun fayakuun.” Nindi mengeluarkan mauidlo hasanahnya.

“Kalian gak tahu, kan? Ternyata ....”

“Ternyata apa?” tanya Mizka penuh selidik.

“Ternyata dia udah punya anak dan istri.”

Byur ... Nindi menyeburkan minumannya tepat di mukaku. Apes banget hari ini. Mulai dari angkutan sialan, kejutan ulang tahun, dan sekarang disembur air. Belum lagi nanti pulang kuliah masih ada hukuman yang menantiku.

“Kurang asem! Kenapa cuma disembur, gak sekalian bacain doanya? Biar aku terbebas dari kesialan.”

“Ha ha ha ... habisnya kamu bercandanya gak lucu.” Tasya menimpali.

“Eh, aku serius. Beneran dia ngomong sendiri tadi di ruangan dosen.”

“Kamu aja yang gak tahu. Tadi dia udah perkenalan di kelas. Kamu ‘kan lagi ganti baju. Aku aja udah catat nomornya, nih.” Nindi memperlihatkan sebuah kontak di ponselnya, ‘Pak Dosen Arfan' sebuah nama yang membuat hatiku bergetar.

Baru melihat namanya kenapa aku gelisah sekali. Perasaan apa ini? Sepertinya aku kena guna-guna.

“Beneran, ya ... aku nggak bohong, dia tuh punya sampingan selain dosen. Dia ternyata tukang ojek.”

“Duh, mau banget aku kalau ojeknya ganteng gitu, lumayan bisa peluk dari belakang.” Mizka memegang tangan Nindi sambil tersenyum. Geli banget aku melihat kelakuan sahabatku.

“Dasar omes! Memangnya apa, sih, istimewanya tuh dosen?”

“Sepertinya kamu perlu lepas kacamata, deh, Fa. Kacamatamu dah rusak kali.”

“Ganteng iya, body keren, pinter iya. Tapi dia dah punya istri, woy! Tadi dia bilang ngojek tuh buat sampingan. Gaji dosen cuma sedikit.”

“Gapapa, deh. Aku mau dijadikan istri keduanya.” Mizka mulai mengkhayal lagi.

“Sya, selain Nindi siapa lagi, ya, yang bisa rukiah? Sepertinya otakku sedang tidak waras!”

“Memangnya sejak kapan kamu waras?” Nindi berucap sebal.

“Dah, ah. Aku mau keluar. Gerah banget ruangan ini gara-gara kalian.”

Aku segera bangkit dan ke luar kelas mencari udara segar. Terlalu lama di kelas membuatku benar-benar gila.

Siang ini udara di kota kretek terasa sangat panas. Aku duduk dan bersandar di bawah pohon menikmati setiap oksigen hasil fotosintesis alami dari dedaunan. Hawa sejuk ini membuatku tenang dan hampir terlelap. Namun, sebuah tangan memegang pundakku, aku sontak menoleh ke belakang dan menyiapkan tinju di tangan. Ternyata Ibrahim, ketua kelas kami.

Tanpa meminta persetujuan, dia duduk di sampingku dan membawa sebotol air mineral alami yang ada manis-manisnya.

“Ini buat kamu.” Ibra menyodorkan sebuah botol kepadaku.

“Apa ini? Gak ada guna-gunanya ‘kan?”

“Astaghfirullah, Syifa!” Sontak Ibra menoyor kepalaku.

Aku memang harus waspada. Lelaki zaman sekarang suka nekat. Cinta ditolak, dukun bertindak.

“Ini air mineral, Fa. Lihat deh masih ada segelnya. Masih perawan, belum aku apa-apain,” jawabnya sambil membukakan tutup botol milikku.

Kenapa aku jadi suuzonan begini, ya? Mungkin karena kebanyakan membaca novel online. Otakku jadi tercemar.

“Maaf, aku gak bermaksud—“

“Lupakan saja soal kemarin. Aku terlalu terbawa perasaan. Kamu mau ‘kan berteman denganku?”

“Teman?”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kiki Sulandari
Ibra....pasti Syifa mau berteman denganmu,walaupun tak menjadi kekasih,....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status