“Maaf, saya bercanda. Silakan duduk.”Sial! Kenapa jantung ini tidak bisa diajak kompromi. Rasanya mau loncat dari tempatnya. Aku duduk di kursi berseberangan dengannya. Ada sebuah meja di antara kami. Cukup aman dengan jarak radius 100 sentimeter. Kulihat sebuah papan nama di meja, ‘Arshaka Bumi' nama yang indah, sesuai dengan orangnya. “Pak ...” Aku bingung harus memanggilnya siapa. Arsya, Shaka atau Bumi?“Panggil saja Arfan, bukankah kamu mengenalku sebagai Mas ojol?” Dia bertanya masih dengan senyum mautnya.Lah, meja siapa yang dia duduki? Dasar aneh! Mengapa dia selalu tersenyum seperti itu, sih? Makin menjadi-jadi nih jantung.“Maaf, Pak. Saya tidak tahu.”“Bu Endang izin selama satu bulan, beliau mau menjenguk anaknya di Kalimantan. Jadi, saya akan menggantikannya untuk sementara waktu. Namun, saya akan tetap memberikan hukuman karena kamu terlambat.”Apa? Sontak aku menggebrak meja di depanku. Bisa-bisanya dia memberikanku hukuman. Enak saja main hukum sembarangan. “Karen
“Iya, kita bisa berteman. Aku janji, aku nggak akan membawa perasaan dalam pertemanan kita.” Ibra mengulurkan satu jari kelingkingnya. Seperti anak kecil saja. Aku mengerutkan dahi. Pasalnya tidak ada pertemanan yang abadi antara lelaki dan perempuan dewasa. Apalagi aku sudah mengetahui jika dia menyimpan perasaan kepadaku. Bagaimana ini? Belum sempat aku menjawab, dia sudah memegang tanganku dan menautkan jari kelingking kami. “Sekarang kita berteman.” Aku bingung harus menjawab apa. Aku bahkan belum menyetujuinya. Dia mengambil kesimpulan sendiri. “Nanti sore aku anterin pulang, ya, Fa. Kita ‘kan berteman.”“Maaf, aku nggak bisa. Aku udah pesan ojol.”“Kamu lucu. Pulangnya masih nanti sore dan sudah pesan ojol?” Dia tersenyum hambar. “Kamu tahu sendiri, kan, gimana galaknya Ayah. Aku gak berani diantar teman lelaki. Bisa digorok kalau sampai ketahuan.”“Aku jadi penasaran dengan Ayah kamu.” “Gak usah penasaran, nanti bisa kebawa mimpi. Gak lucu dong laki mimpiin laki juga, ha
Cuaca semakin buruk, angin berembus kencang dan hujan semakin deras. Tinggal aku sendiri di tempat ini hingga sebuah truk besar berhenti di dekat halte. Tidak lama kemudian datang dua lelaki yang turun dari truk. Mereka memakai baju hitam dan penutup muka. Hanya terlihat matanya saja. Sepertinya mereka bukan orang baik. Bagaimana ini? Oh Tuhan, selamatkan aku.Mereka berjalan mendekat hingga membuatku sangat panik. Bagaimana kalau aku diculik, diperkosa lalu dibuang ke waduk Logung? Ya Allah, ampunilah segala dosaku. Salah satu di antara mereka membawa senjata tajam. Jantungku berdebar, tetapi bukan jatuh cinta.“Berteduh, Neng? Mau Abang anterin, nggak?” tanya lelaki yang membawa senjata. Dia berjalan pelan menuju ke arahku.“I–iya, Bang. Eh, nggak usah. Makasih tawarannya.” Cuacanya sangat dingin, tetapi tubuhku terasa panas. Keringat bercucuran di keningku. Aku menggeser tubuhku kala lelaki yang satunya mulai mendekat. “Jangan jauh-jauh, Neng! Nanti jatuh. Di sana licin.” Tatapa
Sebuah motor berhenti di depan gerobak bakso. Motor itu tidak asing bagiku. Apalagi suara itu, aku sangat hafal.“Eh, Mas Arfan. Ini Mas ada cewek udah makan nggak mau bayar.”Dia lagi, bukankah masih banyak manusia di bumi ini? Kenapa hanya dia yang selalu Engkau pertemukan denganku? Seharusnya Mas Aldebaran saja yang datang, biar dicari Andin.“Aku udah bayar, ya. Kurang dua ribu doang.”“Tetep aja kurang, Neng.”“Biar saya yang bayar, Bang. Sekalian bungkusin 2 bakso kayak biasanya, ya!”“Siap, Mas Arfan. Tunggu sebentar, ya.”Dia turun dari motor dan duduk di kursi plastik berhadapan denganku. Aku segera menggeser kursi, tidak enak rasanya berhadapan dengan lelaki yang sudah beristri, apalagi dia dosenku. “Kenapa mundur?” tanyanya dengan senyum manis. “Jangan dekat-dekat, Pak.” Aku bisa diabetes jika dia selalu tersenyum seperti itu. Besok aku harus pergi ke dokter untuk memeriksa kadar gula darah.“Kita sedang tidak di kampus, jangan panggil ‘Pak’ nanti aku dikira Bapakmu. Gak
Aku memang pernah bermimpi menjadi seorang penulis. Namun, karena kesibukan, aku menguburnya dalam-dalam. Aku mulai menulis dengan hal-hal receh di buku diary. Menulis nota pembayaran, status galau habis putus sama pacar di pesbuk dan di aplikasi berlogo gambar burung warna biru. Namun, semua berubah setelah negara api menyerang. Aku harus bekerja membantu Ayah menghidupi adik-adikku. Ibu meninggal 12 tahun yang lalu setelah melahirkan Faiha. “Ditanya bukannya jawab malah melamun.” Pak Arfan mebcibir. Aku tersadar dari lamunan. Mengapa dia kepo sekali? Aku jadi penasaran siapa penulis favoritnya. “Eh, maaf, Pak. Aku suka banget sama author Fan'z, dia itu kalau nulis bisa bikin pembaca ketawa-ketawa sendiri.” “Oh, ya? Kok sama, jangan-jangan kita jodoh,” ucapnya dengan mata berbinar. Heh, apa hubungannya dengan jodoh? Dia terlau mengada-ada. “Nggak ada hubungannya kali, Pak. Kalaupun aku disuruh memilih, mending milih author Fan'z daripada Bapak.” Dia tertawa tertawa hingga dere
Matahari mungkin sudah terbenam, tetapi tidak ada bedanya sama sekali karena sedari tadi mendung setelah hujan. Tidak ada pelangi di matamu, apalagi di langit. Di parkiran makam ini hanya ada tiga kendaraan terparkir. Dua sepeda motor dan sebuah sepeda onthel. Aku duduk di atas motor butut milik Pak Arfan. Unik juga dia. Di saat anak-anak muda bergaya dengan motor gede seperti di tipi-tipi, dia cukup dengan motor astrea hijau. Namun motor ini begitu terawat, masih kinclong warnanya.Bunga kamboja warna putih menghiasi kuburan, harum semerbak menyeruak ke dalam hidung. Membuatku bersin-bersin karena alergi, ditambah dengan dinginnya udara sore ini . Untung saja aku memakai khimar sehingga tidak membuatku menggigil, ternyata ada gunanya juga pakaian ini.Kulihat sosok lelaki dari arah makam menghampiri. Dia membawa cangkul dan karung. Mungkinkah dia penjaga kuburan? Namun, apa yang dia bawa di dalam karung? Oh tidak! Jangan-jangan kepala Pak Arfan di dalamnya. “Astaghfirullah .... Bis
Emang dasar Pak Arfan. Bisa-bisanya dia lupa naruh kunci motor. Ini ‘kan kuburan. Malam minggu bukannya kencan di kafe malah di makam. Aku jadi merinding. “Duh, kuncinya di mana, ya? Jangan-jangan jatuh di kuburan. Aku balik sebentar, ya!” Belum sempat dia berbalik, seorang gadis cantik memakai hijab putih datang bersama lelaki paruh baya. Mereka berjalan ke arah kami, sepertinya motor di sebelah kami ini milik mereka.“Makasih, ya, Mas, sudah mau direpotkan sama saya. Ini tadi kunci motornya jatuh,” ucap bapak-bapak tersebut sambil menyerahkan sebuah kunci dengan gantungan daun sirih.Norak sekali Pak Arfan. Gantungan kuncinya daun sirih. Penampilannya kece badai ala anak muda zaman now, sayang seleranya begitu. Aku ingin tertawa, tetapi takut dosa. “Alhamdulillah, ternyata masih rezeki saya. Makasih, ya, Pak.”“Sama-sama, ini siapa, Mas? Adiknya, ya?” tanya lelaki yang rambutnya sudah ditumbuhi uban itu. Pak Arfan melirikku sebentar. Rasanya aku ingin menyanyi jika bukan di maka
Sayup terdengar suara azan Maghrib, tetapi kami masih di jalan. Tidak biasanya aku pulang petang karena takut ayah marah. Motor melaju dengan kecepatan sedang. Mungkin dia takut kupeluk jika ngebut. Padahal aku sudah ingin segera sampai rumah.“Kita ke masjid dulu, ya!” ajak Pak Arfan.“Mau ngapain?”“Salat dulu. Lebih baik berhenti dulu saat azan Maghrib berkumandang.” Wih, ternyata dia bisa ceramah. Multi talenta sepertinya.“Rumahku sudah dekat, Pak. Pertigaan depan belok ke kiri.”“Memangnya ayahmu memperbolehkan lelaki datang ke rumah?”“Boleh, Pak. Apalagi kalau borong jualan ayah saya.”“Katanya tadi gratis buat saya?” Dih, ternyata dia suka pamrih. “Iya deh, nanti saya kasih bubur gratis buat Bapak. Azannya sudah selesai, jalan lagi, yuk, Pak.”Setelah hari ini aku usahakan tidak akan terlambat kuliah. Bertemu dengannya membuatku sial. Entah sudah berapa kali aku mengalaminya hari ini.“Udah gak sabar, ya, pingin segera kulamar?” Dia terkekeh geli.Plak! Aku memukul pungungny