Share

3. Si Mesum!

Dua kancing atasnya sudah terbuka. Oh, tidak. Mataku ternoda! 

"Jangan mesum, ah! Aku teriak, nih!" ancamku sambil menutup wajah dengan tangan.

"Dikit aja, Ra."

Aku benar-benar merinding. Astaga, ini makhluk jelmaan apa, sih, sebenarnya?

"Mas, jangan aneh-aneh, deh. Aku beneran teriak, nih!" Aku mulai sewot.

"Canda, Ra." Mas Arga terbahak sambil memasang kancing bajunya kembali.

Gak ada akhlak!

***

"Sorry. Rumahnya emang kecil, tapi muat kalau cuma buat nampung kamu sama anak-anak kita nanti."

Aku mencebik. Ternyata bisa ngelawak juga Mas Arga ini. Aku berkeliling sebentar ketika dia membuka pintu, banyak tanaman kecil-kecil yang berbentuk aneh di teras. Rumahnya memang tidak besar, tapi sepertinya nyaman dan bersih.

"Ini apaan?" tanyaku menunjuk pada tumbuhan seukuran pot bunga dengan batang meliuk-liuk.

"Bonsai. Mahal itu."

"Beginian mahal?" tanyaku tak percaya.

"Mau masuk gak?"

Aku berjalan mendekat. Ketika pintu terbuka, aku spontan membelalakkan mata. Untuk ukuran bujangan, ini rumah sangat rapi. 

"Katanya gak ada pembantu, tapi rumahnya rapi banget? Bersih."

"Emang bujangan gak boleh bersih-bersih?"

Jiwa isengku pun menggelora. Sambil duduk manis di sofa, aku menyilangkan kaki di sana.

"Berarti aku gak perlu bersih-bersih rumah, dong?" Aku menaikturunkan alis.

"Iya. Aku aja yang bersih-bersih, tapi ada syaratnya."

Aku mendadak curiga. "Apa?"

Matanya bergerak ke dadaku. Spontan aku melindungi tubuh bagian depanku itu dengan tangan sambil berteriak. "No!"

Mas Arga tergelak. Dasar!

***

Awalnya kupikir Mas Arga ini tipe laki-laki yang irit bicara. Itu sebabnya Mbak Aida menganggap dia adalah orang yang menyebalkan, tapi ternyata dia justru laki-laki yang suka membicarakan banyak hal. Bahkan yang dibicarakan pun terkesan tidak penting.

Selepas mandi tadi, Mas Arga cukup cerewet. Menceritakan banyak hal yang membosankan hingga membuatku berlari ke kamar dan mengunci diri di dalam.

"Ra, mau makan gak? Aku udah beli makanan."

"Gak!" teriakku dari dalam kamar.

Setelah itu sudah tak terdengar apa-apa lagi. Kirain bakalan maksa, ternyata dia tidak peduli. Baguslah. Aku mengambil HP untuk mengabari ibu, tapi pesan grup dari teman kerja membuatku tiba-tiba malas membuka aplikasi hijau tersebut.

Lilis : Gimana ceritanya kamu bisa nikah sama dia, sih, Ra?

Ratri : Iya. Bukannya Mas Arga itu mantan pacarnya Mbak Aida?

Dyah : Jangan-jangan kalian udah lama selingkuh, ya?

Aku mematikan HP. Lalu kembali pada posisi rebahan sambil makan keripik kentang yang kuambil dari kulkas.

Rumah ini cuma ada satu kamar tidur, satu ruang keluarga dan juga dapur. Satu kamar mandi di dalam kamar dan satu kamar mandi tamu di sebelah dapur. 

Aku mengembuskan napas berat sambil menatap langit-langit kamar, pernikahan aneh ini harus segera dihentikan. Bukan cuma teman-teman saja, tapi Mbak Aida pasti berpikir kalau aku dan Mas Arga sudah menjalin hubungan sejak lama.

"Ra, buka pintunya!"

Aku tak menggubris. Mau tak mau harus secepatnya berpikir, bagaimana caranya agar Mas Arga mau menceraikan aku, ya? 

"Ra, aku mau tidur siang. Ngantuk."

"Tidur di depan TV aja!" teriakku.

Ceklek! Pintu terbuka. Kok, bisa?

"Kok, bisa buka? Kan, dikunci." Aku memasang kuda-kuda.

"Kamu lupa ini rumah siapa?" Mas Arga memperlihatkan kunci cadangan yang dia bawa. 

"Pakai acara dikunci segala lagi pintunya." Aku mulai sewot.

Laki-laki yang memakai kaus hitam ketat itu langsung berbaring di sampingku tanpa memedulikanku yang gemetar sejak tadi. Mau bagaimanapun aku belum pernah sedekat ini dengan laki-laki selain Bapak. Jangankan pacaran, teman cowok aja gak punya saking malasnya.

Aku mendadak punya ide brilian. Aku harus membuat Mas Arga ilfeel agar dia mau menceraikan istrinya. Aku menganggukkan kepala sambil menyeringai menatapnya. Aku yakin 1000% kalau Mas Arga akan ilfeel karena sikapku yang bertolak belakang dengan Mbak Aida. Setahuku, dia suka wanita yang kalem. 

"Ngapain ngeliatin begitu? Nafsu?"

Dih!

"Kita bikin perjanjian kayak di sinetron. Mas Arga, gak boleh tidur seranjang sama aku. Tidurnya di bawah atau di depan TV aja."

"Ogah."

Aku mendelik. "Gak bisa gitu, dong. Salah siapa yang main nikahin aja. Padahal kan aku cuma iseng."

Mas Arga tak menjawab. Namun, karena HP miliknya berbunyi, ia pun membuka mata.

Panggilan pertama, kedua dan ketiga masih diabaikan hingga membuatku penasaran.

"Berisik. Angkat aja gak bisa?" tanyaku.

Akhirnya pada panggilan entah ke berapa, laki-laki itu baru benar-benar menjawab meski dengan muka masam.

"Apa?"

"Enggak."

"Terserah."

"Aku mau istirahat."

Aku mengerutkan dahi. Singkat-singkat banget jawabannya? Siapa yang nelepon, ya?

***

Malamnya. Aku sudah menyiapkan bantal dan selimut yang akan kuberikan pada Mas Arga agar dia mau tidur di depan TV. Aku sudah membuat perjanjian seperti di sinetron agar terkesan dramatis. Mau tidak mau juga Mas Arga harus mau!

"Kamu pikir aku nikahin kamu cuma mau main-main kayak gini, Ra? Enggak. Kita udah sah, gak usah aneh-aneh atau aku paksa."

Aku menelan ludah. Kata 'paksa' yang Mas Arga ucapkan kayak boomerang rasanya.

"Kan, udah dibilang aku gak mau. Makanya jangan suka maksa."

"Maksa nikah aja aku bisa apalagi maksa yang lain. Udah. Buang aja itu kertas perjanjian, kita nikmatin malam pertama kita sebagai pengantin."

Enak aja. Enggak. Pokoknya aku enggak mau diapa-apain sama Mas Arga. Aku menggelengkan kepala.

"Mau ngapain?!" tanyaku sambil mundur-mundur. Berlawanan dengan langkah Mas Arga yang semakin maju, menghampiriku.

Mas Arga bersedekap. Tatapannya mulai ke mana-mana dan menyebalkan.

"Enaknya dimulai dari mana, ya, Ra?"

Aku melotot. "Jangan aneh-aneh! Minggir!"

Dia tergelak. Lantas mengacak rambutku hingga berantakan kemudian kembali duduk di ranjang sambil memegangi perutnya. Sial!

Aku masih menormalkan napas yang sempat tidak beraturan. Bisa-bisanya dia bikin senam jantung malam-malam. 

"Tidur sana!" katanya.

"Mas keluar dulu. Kalau gak mau biar aku yang tidur di luar!" ancamku sambil membawa bantal dan selimut.

"Ya, udah sana. Awas ada kecoa."

Fix. Nyebelin!

Aku memutar tubuh, lalu berjalan ke luar kamar. Meletakkan bantal di karpet bulu depan TV lalu mulai berbaring di sana dengan mata terpejam. Aku yakin, tak lama setelah ini pasti Mas Arga akan keluar dan memintaku untuk tidur di kamar, sementara dia yang akan tidur di luar. 

Sudah lima belas menit, tapi belum ada tanda-tanda Mas Arga akan keluar kamar. Jangan-jangan dia udah tidur? Ah, nyebelin! Dasar suami pohon pisang! Gak punya hati, cuma punya jantung doang. Kenapa gak nyuruh aku tidur di kamar, sih?

Aku menggulingkan tubuh ke samping. Tepat di bawah lemari ada benda bergerak-gerak entah apa.  Aku menajamkan pengelihatan, sedikit mengucek mata agar tidak buram.

Kecoa!

"Aaa ... kecoa!"

Aku lari tunggang langgang sembari mengumpat.

"Dasar suami nyebelin! Awas aja, yak. Besok aku tukar dia sama bonsai!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status