Share

2. Malam Pertama yang Gagal

Aku menarik selimut hingga menutup wajah. Namun, karena sudah lama menunggu dan tidak terjadi apa-apa, aku pun membuka selimut dengan sedikit mengintip. Laki-laki menyebalkan itu sudah berbaring dengan tangan kanan yang diletakkan di atas kening dan memejam.

Ish! Kirain bakalan kayak adegan di sinetron yang Ibu tonton. Ternyata enggak.

"Pengen diapa-apain, ya?" tanyanya.

"Mas Arga tidur di lantai, dong! Kan, perjanjiannya gak boleh sentuhan dulu sebelum akunya siap."

"Gak ada yang mau nyentuh juga. Aku gak bisa tidur di lantai, nanti kedinginan. Emang kamu mau meluk?"

What?!

Aku menggulingkan tubuhnya, tapi rupanya suami dadakanku ini bukan manusia biasa. Kenapa tubuhnya tidak bergeser sama sekali? Jangan-jangan dia punya kekuatan super?

"Dosa. Mau dibacain hadis? Kamu aja yang di bawah kalau mau." Dia masih saja tak bergerak.

Aku mendengkus, lantas meletakkan guling di tengah-tengah sebagai pembatas dan kembali meringkuk. 

Baru terlelap beberapa menit, aku sudah dikejutkan oleh tepukan di pipi. Dan ketika aku membuka mata ... wajah kami sudah sangat dekat! 

Spontan aku mendorongnya hingga laki-laki itu terjengkang ke belakang. 

"Mas apaan sih? Mau nyari kesempatan dalam ketiduran?" Aku menarik selimut, menutup tubuh rapat-rapat dengan benda tebal itu guna melindungi diri. Ini orang ternyata bahaya juga.

"Makanya jangan ngorok!"

Aku mendelik. Ngorok katanya? Mana ada!

"Alesan! Pasti mau mesum, kan?"

Mas Arga tiba-tiba mendekat. Apalagi tatapannya berubah liar dan menakutkan. Jakunnya pun naik turun membuat bulu kudukku berdiri karena ngeri.

"Ibuuu!" Aku berteriak histeris sambil bersembunyi di balik selimut.

"Kamu ngapain teriak, sih, Ra? Dikira disiksa sama aku nanti."

Aku membuka selimut. Mas Arga berjalan mendekati pintu yang sedang diketuk dari luar.

"Ada apa, Ra?" Wajah Bapak langsung menyembul di balik pintu ketika Mas Arga membukanya.

"Enggak ada apa-apa, kok, Pak," jawab Mas Arga.

Bapak tertawa. "Yura takut, ya? Makanya jangan asal kalau bicara, sekarang kamu terima itu konsekuensinya. Selamat melaksanakan ibadah malam pertama."

"Bapak!" Aku menutup wajah dengan bantal.

***

Sarapan pagi ini benar-benar hening. Aku memperhatikan Mas Arga yang sedang melahap nasi gorengnya dengan sangat tenang, padahal di seberang meja sana Mbak Aida sedang menatapnya.

"Ehm." Mas Imran, suami Mbak Aida, itu tiba-tiba terbatuk. Dan saat itu pula Mbak Aida tersentak lantas meraih gelas di depannya dan menuangkan air putih untuk suaminya.

"Oh, iya, Pak, Bu. Pagi ini saya langsung bawa Yura pulang. Soalnya, lusa saya sudah harus masuk kerja. Cuti dadakan seperti ini tidak lama."

Aku langsung menoleh dan melotot tajam. Bisa-bisanya dia mengambil tindakan tanpa mengambil keputusan bersama lebih dulu?

"Silakan, Nak. Bapak lepas tanggung jawab Yura karena sekarang tanggung jawabnya sudah ada di pundak kamu. Jangan sakiti dia atau kita duel tinju di lapangan." Bapak tergelak. Sementara aku mengembuskan napas kasar.

"Tapi, Yura belum siap. Mas Arga gak bilang apa-apa semalam." Aku mencoba protes.

"Surgamu di telapak kaki suamimu, Ra. Patuhi saja dia." Ibu menengahi.

Aku melirik Mbak Aida sekilas. Sejak ijab Qabul kemarin, dia berubah pendiam. Ah, aku yakin sekali kalau Mbak Aida salah paham.

"Udah, kan? Ayo, Ra. Kita beres-beres." 

Aku menurut saja ketika Mas Arga menggenggam tangan dan mengajak ku memasuki kamar. Di meja makan tadi, aku tahu betul kalau tatapan Mbak Aida sangat menyiratkan ketidaksukaan.

"Apaan sih, Mas? Aku gak mau pindah ke mana-mana. Kamu aja sendiri yang ke sana." Aku menyentak tangan Mas Arga.

"Demi keluarga kamu, kita harus pindah."

"Bilang aja masih belum move on!"

"Aku sih udah. Cuma kayaknya Aida yang belum. Kamu gak cemburu kalau kita tetap di sini?"

"Dih! Emang situ siapa?"

"Aku suami kamu."

Aku memutar bola mata malas. Lantas berjalan menuju ranjang dan duduk bersila di sana. Memperhatikan Mas Arga yang sedang membuka lemari, entah mengambil apa.

"Gak mau bawa baju, Ra?"

"Gak." Aku melengos. Baru semalam aja rasanya udah serem, apalagi kalau nanti harus tinggal berdua sama Mas Arga di rumahnya?

"Bagus. Lagian aku juga suka kalau kamu gak pakai baju."

What?

Aku melempar bantal.

***

"Gak sorean aja berangkatnya?" tanya ibu ketika kami berpamitan.

"Saya banyak kerjaan, Bu. Lagian Yura grogi kalau masih banyak orang," jawaban Mas Arga membuatku mendelik.

"Ngomong apaan, sih?" protesku.

"Pamit, ya, Pak, Bu. Yura bakalan kangen banget sama kalian." Aku memeluk mereka berdua dengan berderai air mata. 

Mau bagaimanapun juga, aku belum pernah jauh dari mereka. Lalu, sekarang aku harus meninggalkan mereka dan tinggal bersama suami yang sama sekali tidak kuinginkan juga tidak pernah kubayangkan sebelumnya.

"Mbak, aku pamit, ya." Aku beralih pada Mbak Aida, tapi sejak tadi, dia masih saja menatap Mas Arga. Mungkin memang benar, Mbak Aida belum move on.

"Daaa ...."

Aku melambaikan tangan, lantas masuk ke dalam mobil dan duduk di samping kemudi.

Kendaraan roda empat ini mulai berjalan, menjauhi pekarangan rumah dan semakin jauh hingga bangunan itu kini tak terlihat lagi.

Aku mengembuskan napas panjang. Hari baru harus dimulai, apa yang harus aku lakukan setelah jadi istri Mas Arga nanti? Aku masih ingin lanjut bekerja, membahagiakan diri sendiri dan juga orang tua.

Setelah membalas pesan dari teman kerja, aku membuka obrolan di antara kami.

"Eum, ada siapa di rumah?" tanyaku sok tegar, padahal gemetar.

"Gak ada siapa-siapa."

Gawat! Aku baru ingat dari cerita Mbak Aida, Mas Arga ini piatu. Sementara ayahnya sudah menikah lagi dan tinggal bersama istri barunya.

"Pembantu atau apa gitu? Gak punya? Aku gak bisa masak, gak bisa nyuci, gak bisa nyapu, gak bisa beres-beres rumah, gak bisa—"

"Yang penting bisa diem. Jangan ngoceh terus."

Bibirku terkatup sempurna. Asli nyebelin!

"Masih jauh, ya?" tanyaku memecah keheningan di antara kami.

"Enggak."

Aku melempar pandangan pada jendela.

"Kenapa putus sama Mbak Aida? Pasti Mas Arga selingkuh, ya?"

Dia tak menjawab.

"Aku makin curiga. Pasti bener, ya?" Aku mengubah posisi duduk hingga menghadapnya.

"Kalau aku selingkuh gak bakal nikah sama kamu. Dah nikah sama selingkuhan."

Bener juga. Aku manggut-manggut.

"Terus kenapa putus?"

"Kan, Aida yang minta."

"Terus kenapa mau?"

Mas Arga menarik napas dalam. "Bapak kalian gak setuju."

Bapak? Terus kenapa aku malah dinikahkan sama Mas Arga kalau dulu aja hubungan mereka tidak diberi restu?

Dahiku berkerut ketika mobil tiba-tiba berhenti di pinggir jalan sempit yang lumayan sepi. Jangan-jangan kehabisan bensin?

"Kok, berhenti?" tanyaku.

"Kayaknya kalau begituan di mobil menantang juga, ya, Ra."

Begituan? Astaga, aneh-aneh juga ini orang pikirannya. Sepertinya aku harus segera mencari Kyai agar Mas Arga bisa secepatnya diruqyah.

"Buka baju, Ra."

"Hah?!"

Lalu, Mas Arga mulai membuka kancing bajunya. Bahaya!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status