Share

4. Kedatangan Mantan

"Mas Arga, ada kecoa!" Aku menggoncang tubuh Mas Arga. Tetapi, bukannya bangun, dia malah menarik selimut. Ish! Ini orang lagi cosplay jadi batu apa gimana? Masa ada orang teriak-teriak dia enggak denger?

"Dasar manusia setengah bonsai! Enggak ada peduli-pedulinya sama orang!"

Merasa usahaku telah sia-sia, akhirnya aku pun menarik selimut yang membungkus tubuhnya dan membaringkan tubuh di sebelah Mas Arga dengan meletakkan guling sebagai pembatasnya.

***

"Hoam!" Aku menguap sambil merenggangkan otot tangan. Matahari sudah meninggi, jam di HP pun sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Aku menoleh ke sisi kiri, tapi suamiku tidak ada, mungkin Mas Arga sudah bangun sejak pagi tadi.

Aku berjalan dengan gontai ke luar kamar sambil memperhatikan sekeliling. Kosong. Kamar mandi kosong, dapur, dan ruang keluarga juga kosong. Di mana Mas Arga?

Meja makan pun masih kosong. Tidak ada roti atau apa pun yang bisa kumakan pagi ini. Ah, jadi kangen Ibu. Setiap pagi-pagi sekali pasti beliau sudah menyiapkan nasi goreng dan segelas teh hangat untuk kami. Namun, pagi ini?

Aku mengambil HP lalu memencet nomor Ibu. Setelah terhubung, aku pun langsung menjauhkan HP dari telinga karena sambutan beliau.

"Pagi-pagi udah telepon Ibu aja kamu, Ra. Masak!"

Aku menepuk kening.

"Aku mau sarapan di rumah ibu aja. Di sini gak ada bahan masakan," kataku.

"Ya ampun, Yura. Jangan aneh-aneh. Cepat masak, jangan bikin malu ibu."

Panggilan dimatikan secara sepihak. Aku mendengkus, lantas meletakkan kepala di atas meja dan kembali memejamkan mata.

"Ngantuk banget kayak abis ngapain aja."

Aku membuka mata, terlihat Mas Arga sedang mengambil air dingin di kulkas lalu menenggaknya.

"Udah sarapan?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Belumlah. Udah dibilangin kalau aku gak bisa masak juga."

"Mau diajarin?"

"Males."

Mas Arga mendekat. "Biar kayak di sinetron, Ra. Masak bareng, tidur bareng, mandi bareng."

Aku melotot. "Gak!"

Mas Arga terkekeh. "Ya udah, kita beli aja. Aku juga belum belanja sama sekali. Nanti sore, ya, sama kamu."

Aku menarik napas panjang. "Aku belum bisa jadi istri. Kenapa, sih, Mas Arga harus nikahin aku segala?"

Dia tak menjawab. Namun, justru berjalan ke arah pintu sambil berteriak. "Aku mau beli bubur ayam. Ikut, nggak?"

***

Sore ini, aku benar-benar diajak Mas Arga belanja bulanan. Aku masih melongo di depan pintu swalayan sambil menenteng keranjang.

"Jangan di situ! Ngalangin orang mau lewat."

Aku maju selangkah, lalu berhenti lagi.

"Kenapa, sih?" tanyanya.

"Kita mau belanja apa? Aku gak ngerti."

"Segitunya, Ra? Serius kamu gak pernah belanja bulanan sama sekali?"

"Nganterin ibu doang, tapi cuma duduk di parkiran," jawabku sambil berjalan ke deretan camilan.

Tanganku bergerak mengambil beberapa bungkus makanan ringan berbagai macam rasa. Tanpa sadar keranjang kecil yang kupegang sudah penuh dengan jajanan.

Mas Arga mendekat. Mengambil beberapa jajanan di keranjang, lalu meletakkan ke tempatnya kembali. "Bukan beli beginian juga, Ra. Nih, daftar belanjaan yang harus kita beli." Laki-laki itu menyerahkan HP.

Aku membaca daftar belanjaan yang harus dibeli dan mulai berjalan mendekati rak yang harus dituju.

"Sini keranjangnya, aku aja yang bawa. Biar romantis."

Aku benar-benar dibuat melongo dengan sikap Mas Arga. Umurnya sudah tua tapi kenapa masih kayak seumuranku gini, ya?

"Yura?" Aku menoleh pada sumber suara. Mbak Aida?

Aku langsung berjalan mendekatinya. "Mbak Aida, ngapain di sini?"

"Biasa. Belanja bulanan."

Aku mengangguk, meski merasa aneh. Kenapa Mbak Aida belanja bulanan sampai ke sini? Padahal di dekat rumah kami juga ada swalayan.

"Sama siapa, Ai?" tanya Mas Arga.

"Sendirian aja, Mas. Suami udah kerja. Kamu nggak kerja?"

"Belum. Besok baru mulai kerja. Kasihan Yura juga masih kangen kayaknya." Mas Arga tertawa.

Aku melotot. Sudah berapa kali aku melotot hari ini, ya? Heran. Kelakuan Mas Arga kenapa aneh-aneh banget, sih?

Mbak Aida hanya tersenyum sekilas, lalu meletakkan keranjang bawaannya di tangan Mas Arga dan berjalan sambil menggandeng lenganku.

"Mau beli apa aja, Ra?" tanya Mbak Aida.

"Enggak tahu, Mbak. Bingung."

"Beda banget, ya, Mas. Yura sama aku." Mbak Aida terkekeh sambil menoleh ke belakang. Sementara aku? Udah mirip banget sama obat nyamuk elektrik. Nyala, tapi gak ada asapnya sama sekali.

***

Semenjak pulang dari swalayan sampai sekarang di dalam mobil menuju rumah pun aku lebih banyak diam. Pura-pura mendengarkan obrolan mereka padahal aslinya tidak peduli sama sekali.

Mbak Aida yang katanya kangen dengan adiknya itu pun ikut pulang bersama kami. Awalnya Mas Arga menolak, tapi karena aku takut Mbak Aida marah. Aku pun membujuk Mas Arga agar dia mengizinkan.

Mobil menepi di depan pagar, aku langsung turun dan membuka pagar besi lantas menguncinya kembali saat mobil sudah parkir di garasi.

Mas Arga membuka bagasi untuk mengambil belanjaan dan memintaku membuka pintu utama. Aku sedikit melirik, sejak tadi Mbak Aida masih mencuri-curi pandang kepada mantan pacarnya. Itu membuatku curiga.

"Aku masakin, ya. Pasti Yura belum masak, kan?" Mbak Aida berjalan ke dapur tanpa diminta.

Aku dan Mas Arga saling bertatapan. Alis kunaikturunkan, tapi malah Mas Arga menarik tangan dan membawaku masuk ke dalam kamar.

"Suruh pulang!" perintahnya.

"Gak."

"Ya udah, biar aku yang suruh dia pulang."

"Jangan diusir. Dia kakakku, loh."

"Tapi, gak seharusnya dia di sini, Ra."

"Kenapa? Mas Arga masih cinta?"

Dia menyugar rambut. "Aku telepon Bapak sekarang."

Aku hendak merebut HP dari tangan Mas Arga, tapi adegan yang terjadi setelah kejadian itu sungguh memalukan. Kami sama-sama terjatuh di ranjang dengan posisi tubuhku berada di bawah tubuhnya. Harus disensor!

Mas Arga terlihat menelan ludah sambil menyeringai. Kini giliran dia yang menaikturunkan alis. Apes!

"Waktunya sarapan," katanya.

Aku menutup mata dan menahan napas dengan spontan. Pasrah dengan adegan yang akan terjadi setelah ini sambil menghitung dalam hati.

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam. Tujuh. Delapan. Sembilan. Sepuluh. Kenapa belum dicium juga? Eh.

"Wajah kamu merah banget, Ra. Aku jadi bingung harus cium bagian mana dulu."

Bug!

Aku menendang perutnya menggunakan lutut. Napas masih tersengal-sengal ketika aku berlari ke luar dan meninggalkan Mas Arga yang masih blingsatan di kamar.

"Woi, Ra! Jangan kabur kamu, ya!" teriak Mas Arga dari kamar.

Aku yang kepalang ngos-ngosan cuma bisa mesem saat ketemu sama Mbak Aida di luar.

"Kenapa, Ra? Berantakan banget rambutnya? Kalian berantem?" tanya Mbak Aida.

Tuhan, pengen ditelan bumi saja aku rasanya! Kenapa, sih, aku harus dapat suami kayak dia? Bisa enggak kalau ditukar sama Kim Young Dae aja? Atau paling enggak yang lain, deh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status