Share

6. Mari Kita Coba!

"Kerja yang bener, ya. Nanti aku jemput," katanya sambil mengacak rambut. Aku menatapnya dengan malas lalu kembali duduk di meja kasir.

"Yang diacak rambutnya siapa, yang berantakan siapa." Lilis meracau, aku mendongak. Dia masih menatap punggung Mas Arga yang sudah menjauh.

"Awas naksir!" sahutku.

"Hatiku berantakan, Ra. Kamu serius gak suka sama dia? Good looking gitu."

"Ambil ajalah kalah suka."

"Serius? OTW jadi pelakor!" Lilis mengambil sesuatu dari dalam saku.

Aku makin mengernyit melihat Lilis mengoleskan lipstik merah menyala di bibirnya.

"Dah pantes jadi pelakor belum?" tanya Lilis yang kujawab dengan toyoran di kepalanya.

***

Jam dua sore. Satu jam lagi waktu pergantian sif, aku menghitung jumlah uang dan menyamakannya dengan nominal di komputer. Sebelum pergantian sif begini, uang yang terkumpul selama sif pertama akan dipisahkan dengan jadwal sif berikutnya.

Setelah memastikan jumlah uang dengan yang tertera di layar monitor itu sama, aku mengikat pendapatan sejak pagi tadi dan memasukkannya ke dalam pouch. Tak lupa juga untuk menguncinya di dalam laci. Setelah selesai, aku dan Lilis biasanya bergantian makan sebelum pulang.

"Udah dijemput, tuh, Ra!" Lilis menyikut lenganku.

"Biarin. Masih sepuluh menit lagi."

"Makan dulu sana, biar aku yang jaga."

Aku pun beringsut ke dapur dan mengambil jatah makanan. Semua karyawan yang bekerja di sini mendapatkan fasilitas makan gratis selama tiga kali. Untuk sayur, kita bebas mau makan sayur apa saja. Beda dengan lauk, biasanya cuma telor, tempe dan tahu yang boleh dimakan. Sementara ayam dan semacamnya kita dikenakan biaya lima ribu per potongnya.

"Ra, duluan, ya." 

Aku mengacungkan jempol sambil terus melahap ca kangkung di piring. Masa bodoh dengan Mas Arga yang sudah menunggu di luar, aku justru menambah nasi dan sambal di piring. Satu per satu karyawan yang masuk sif pagi mulai berpamitan, digantikan dengan karyawan lain yang akan bekerja sampai jam sebelas malam.

"Sini bagi dua."

Aku tersedak ketika Mas Arga tiba-tiba duduk di depanku sambil mengambil alih makananku dan mulai melahapnya. Setelah susah payah menelan nasi yang belum terkunyah sempurna, aku pun menenggak air putih di botol.

"Ditungguin malah asyik makan," cibirnya.

Aku memperhatikan cara makannya. Kayak orang kesurupan. Baru semenit piring berpindah tangan, tapi isinya langsung habis seketika.

"Laper apa doyan?" tanyaku.

"Laper. Kalau doyannya, kan, sama kamu."

Dih!

"Pulang duluan aja, aku masih mau muter-muter." Aku berdiri.

"Muter-muter aja. Di sini? Aku lihatin."

"Maksudnya jalan-jalan, elah! Mau ke Taman Denggung dulu."

"Pulang ajalah. Gak suka keramaian aku."

"Lah, siapa yang ngajakin Mas Arga? Aku mau berangkat sendiri."

"Mau ketemu sama selingkuhan, ya?"

Kalau bukan karena harga diri, sudah kujambak rambut Mas Arga sekarang juga. Nyebelin banget. Bikin naik darah aja!

***

Mobil Mas Arga menepi di bawah pohon besar, lalu memintaku turun duluan karena dia harus mencari tempat untuk parkir. Aku bergeming, malas rasanya kalau harus bersama Mas Arga ke manapun perginya. Seharusnya enggak kayak gini.

"Sebentar doang. Segitunya sampai gak mau pisah sama aku, Ra."

Aku mengusap wajah. Sampai malu mau melototin dia tiap hari. Tetapi, kalau enggak dipelototi dia enggak ngerti-ngerti.

"Mas Arga pulang aja, deh. Aku malu kalau harus jalan berduaan."

"Solusinya cuma satu. Kita harus punya anak dulu biar bisa jalan bertiga."

"Enggak gitu juga maksudnya, Ronaldo! Aku mau sendirian. Gak mau berdua atau bertiga apalagi bersepuluh!" Aku langsung turun dan berlari menjauh.

Semilir angin yang berembus langsung menenangkan. Namun, aroma bakso ternyata lebih menyenangkan. Aku langsung berlari ke dalam tenda bakso dan memesan satu porsi bakso jumbo.

"Udah laper lagi?"

Aku langsung memonyongkan bibir. Kenapalah harus muncul lagi orang ini?

"Bayar sendiri kalau mau ikutan makan!" protesku ketika Mas Arga ikut duduk.

Dia menjentikkan jari. Sombong!

"Kayaknya Aida gak rakus banget sama makanan. Kok, bisa beda sama kamu, ya?"

Aku langsung berdiri dan berteriak. "Bang, baksonya jadi tiga porsi! Dia yang bayar!"

Mas Arga menelan ludah. Syukurin!

***

Entah sudah berapa kali aku bolak-balik kamar mandi gara-gara makan bakso di taman tadi. Mas Arga juga sedari tadi masih mengomel panjang pendek, tapi tak kupedulikan.

"Besok-besok jangan cuma tiga porsi. Sekalian aja sama abang-abangnya dipesen."

Aku melengos sambil menahan nyeri di perut.

"Ke klinik aja kita, Ra."

Aku semakin meringis kesakitan. Niat hati ingin ngerjain suami malah aku sendiri yang kena sialnya. Emang pembawa sial itu Mas Arga!

"Aku teleponin Ibu aja, ya." Mas Arga meraih HP di meja. Aku sudah tak tahan lagi, lalu terbirit-birit ke kamar mandi.

"Ra, buruan. Ibu mau bicara." Suara ketukan pintu dari luar membuat hajatku berhenti di tengah jalan. Aku memang tipe orang yang kalau ke kamar mandi enggak boleh ada satu orang pun yang mengganggu. 

Akhirnya setelah selesai, aku pun berjalan hingga membuka pintu sambil memegangi perut.

"Halo, Bu."

"Alhamdulillah, Yura. Kamu hamil, Nak? Ya Allah bahagianya hati ibu, Ra. Kamu ngidam apa? Jangan nyusahin suamimu, ya."

Aku mengusap telinga setelah menjauhkan benda itu dari sana.

"Siapa yang hamil? Orang Yura kebanyakan makan sambel," jawabku.

"Pokoknya besok Ibu ke sana sama Bapak, ya. Ibu bawakan nasi gudeg komplit kesukaan kamu."

Wah, rejeki nemplok, eh, rejeki nomplok ini namanya. Sikat!

"Pagi-pagi banget, ya, Bu," pintaku.

"Siap! Delapan enam!"

Yes! Aku mematikan sambungan telepon lalu kembali meringis. Mas Arga yang sempat menghilang pun kembali datang dengan membawa segelas air dan juga obat.

"Minum obatnya, Ra."

Aku memicing. "Obat apaan, nih? Jangan-jangan obat tidur biar Mas Arga bisa cari kesempatan dalam ketiduran lagi."

"Kamu pikir kita lagi main sinetron? Besok juga kamu bakalan mau sendiri tanpa dipaksa. Mau diminum gak ini obatnya?"

Demi kesehatan cacing di perut, akhirnya aku menerima obat dari tangan Mas Arga dan menelannya.

Aku baru sadar kalau sejak pulang tadi sudah buang angin di depan Mas Arga berkali-kali. Mana aromanya aduhai sekali, terbukti karena sekarang pun Mas Arga sedang menutup hidungnya.

Baguslah. Dengan begitu akan makin ilfeel dia lama-lama.

"Mas Arga tidur di luar aja kalau gak mau mabok," suruhku.

"Yaelah. Gagal lagi, dong, malam ini?"

"Sana! Sana!"

Aku mendorong tubuhnya hingga berhasil keluar dari kamar. Setelah Mas Arga pergi, aku pun menelepon Lilis. Mengabarkan betapa sedihnya para cacing di perutku karena ulah Mas Arga.

"Lagian ngapain juga nyiksa diri sendiri? Pinter amat jadi orang!" cerocosnya.

"Biar dia ilfeel aja. Dia dah tua tapi kayak ABG labil tahu, gak?"

"Heleh. Kulitnya doang itu. Biasanya orang begitu malah nyalinya ciut, Ra. Coba aja."

"Apanya yang dicoba?"

"Coba aja ladenin kalau dia ngegoda. Pasti bakal kicep, dah!"

Emang iya, ya? Baiklah. Mari kita cobaaa ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status