Share

5. Nyebelin!

"Habis dikerjain, ya?" Mbak Aida tertawa. "Arga emang suka gitu," lanjutnya.

Aku hanya nyengir kuda. Tak paham dan tak mau paham apa maksudnya.  Lagian males juga nanggepinnya. Pasti setelah ini Mbak Aida bakal cerita kenangan waktu pacaran sama Mas Arga dulu.

"Nyebelin gitu, Arga orangnya romantis, kok, Ra. Dulu sering banget lupa jemput, tapi paginya beli bunga. Aku tadinya mau marah jadi nggak bisa."

Kan, kaaan!

"Tapi, kamu kan nggak suka bunga, Ra. Jadi, kayaknya beda cerita kalau di kamu. Gagal romantis gitu."

Aku hanya mengangguk sambil memakan camilan di toples sembari memperhatikan Mbak Aida yang mencuci sayuran yang terdiri dari kubis, wortel, brokoli, dan juga sawi hijau di baskom. Bisa kutebak kalau dia akan memasak capcay.

"Lupa gak beli udang. Mau masak capcay, kan?" tanyaku sambil membantu mengupas bawang.

"Arga alergi sama udang. Jangan masakin dia seafood, ya. Dia juga gak suka pedes."

Aku mengangguk.

"Arga suka banget capcay buatan aku, Ra. Sini aku ajarin masak."

"Enggak, ah. Beda tangan beda rasa," jawabku.

"Yang penting, kan, udah belajar resepnya. Pokok jangan terlalu banyak merica, dia pasti suka."

Aku mulai malas. Dari dulu memang tidak suka diatur-atur begini. Lagi pula enggak ada yang minta Mas Arga nikahin aku juga, otomatis dia yang harus menerima kurangnya aku apa adanya. Iya, kan?

HP yang diletakkan di meja oleh Mbak Aida berbunyi, setelah mengeringkan tangannya, Mbak Aida menjawab panggilan yang kutebak dari Bapak.

"Iya, Pak. Ini di rumah Yura, ngajarin dia masak. Kasihan suaminya bisa kelaparan kalau Yura gak bisa masak."

Entah bapak berbicara apa lagi, aku pura-pura tak peduli.

"Iya, Pak. Aida pulang."

Mbak Aida kembali menghampiriku, lalu mulai menghidupkan kompor.

"Disuruh pulang, ya, Mbak? Pulang aja sana, nanti dicariin lagi." Entah kenapa jadi secanggung ini ngomongnya sama Mbak Aida. Padahal biasanya juga blak-blakan.

"Nanti setelah capcaynya mateng."

"Pulang aja. Yura pasti bisa." Mas Arga menghampiri kami berdua.

Aku menoleh ke arahnya, dia mengedipkan mata. Idih!

"Biar Mas Arga yang anter, Mbak," kataku.

"Aku udah pesenin taksi online. Dah nyampai tuh," sela Mas Arga.

Mbak Aida terlihat menarik napas dalam, lalu mengambil barang belanjaannya dan berpamitan.

"Besok aku ke sini lagi, ya, Ra," kata Mbak Aida sambil melambaikan tangan dan masuk ke dalam mobil.

"Besok rumah kosong, Ai. Aku sama Yura udah kerja lagi, gak bisa cuti lama."

Aku menyenggol lengan Mas Arga, tapi lagi-lagi dia hanya mengedipkan mata. Cacingan atau gimana?

"Ya udah, lain kali aja kalau gitu."

Aku melambai ketika mobil mulai berjalan, sedangkan Mas Arga sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah. Setelah mobil hitam itu benar-benar menghilang, aku pun ikut masuk dan berjalan ke arah dapur yang berantakan. 

"Ah, elah! Males banget harus masak sama beresin beginian!" gerutuku.

"Masukin kulkas aja. Aku lagi males makan capcay."

Aku mengernyit. "Baguslah. Aku juga males masak capcay. Ribet!"

"Kamu bisa masak apa?"

"Mie instan."

Dia membulatkan mata. Aku ketawa.

***

Sudah jam delapan malam, tapi dua teman Mas Arga belum juga pulang. Aku yang sedari tadi harus duduk di sebelahnya sambil garuk-garuk kepala mulai bosan dengan gerakan yang begitu-begitu saja.

"Aku masuk kamar duluan aja, ya. Ngapain juga cengo di sini?" bisikku.

"Ehm. Kayaknya Yura udah ngantuk. Besok lagi, Bro!" seru Mas Arga yang membuatku melotot padanya. Dasar!

Dua teman Mas Arga yang sedari tadi serius membicarakan pekerjaan pun akhirnya ngakak semua. Suami gak ada akhlak emang!

"Jangan kebanyakan, Bro. Besok sif pagi, nanti ngantuk melulu," jawab salah satu dari mereka. Sementara aku menutup muka.

"Pamit, ya. Jangan lupa matikan lampu sama kunci pintunya." Mereka tergelak bersama. Aku pura-pura tersenyum sambil menganggukkan kepala, setelah kedua orang itu pergi aku langsung ke kamar meninggalkan Mas Arga sendiri.

Sambil berbalas pesan dengan teman-teman, aku membaringkan tubuh di ranjang. Mengabarkan pada Lilis kalau besok sudah masuk kerja seperti biasa.

[Demi apa kamu belum iya-iya sama Arga sampai sekarang, Ra?]

[Demikian.] Balasku asal.

[Wah, rugi. Dah ngerasain sekali ketagihan nanti.]

Aku tak membalas lagi karena tiba-tiba lampu kamar dimatikan.

Klek! Pintu juga dikunci.

"Apa-apaan, sih? Ngapain dikunci?" protesku sambil berdiri. Berjalan pelan-pelan hendak menjangkau saklar, tapi Mas Arga menghalangi.

"Kan, emang harus gitu biar kamu gak malu." Mas Arga berjalan maju, jadilah aku yang mundur.

"Aku gak bisa tidur kalau gelap gini. Engap. Gak bisa napas juga. Nyalain!"

"Enggak." Dia mulai buka baju. Dia yang polosan kenapa malah aku yang kepanasan?

"Ngapain lagi, nih? Pakai, gak!"

"Dikit aja, Ra."

"Ogah!"

Mas Arga melewatiku lalu mengempaskan tubuhnya di kasur dengan posisi tengkurap. "Kerokin. Aku masuk angin kayaknya."

Ish. Dasar! Bikin gerah aja!

***

"Berangkat bareng aja, Ra." Kami sedang sarapan di tempat berbeda. Dia di meja makan, aku di ruang tamu. Sengaja. Biar dia ilfeel dengan sikapku lama-lama.

"Aku udah dijemput sama Lilis."

Suara klakson motor berbunyi. Aku langsung berlari ke depan sambil menarik tas selempang tanpa berbicara apa-apa lagi, bahkan tanpa membereskan piring sisa sarapan tadi.

"Udah pamit?" tanya Lilis.

"Nanti aja nanyanya. Kita berangkat dulu."

Lilis menarik gas sesuai aba-aba. Setelah motor kami jauh dari rumah Mas Arga, aku mulai bicara.

"Gimana, ya, caranya biar bisa cerai sama Mas Arga?"

"Hust! Dosa, woy. Sarapan pakai apaan, sih, kok, ngelantur gini?"

"Sarapan pakai kenyataan pahit. Serius mau cerai aja aku, Lis. Emang kamu pikir nikah tanpa cinta itu enak?"

"Kamu atau Mas Arga yang gak cinta?"

"Dua-duanya."

"Lah, ngapain nikah kalau gak cinta?"

Aku tak menjawab. Percuma ngasih tahu juga, Lilis enggak akan percaya. Mana mungkin seseorang nikah cuma gara-gara sumpah? Aneh, 'kan?

Sesampainya di warung, aku langsung berdiri di meja kasir dan menghitung uang receh untuk kembalian pembeli bersama Lilis. Setelah dirasa cukup, aku meminta Lilis menyimpannya. Sementara aku bergerak mengambil serbet dan juga alat semprot yang sudah diisi dengan cairan anti lalat. 

Rutinitas pagi adalah mengelap semua meja sebelum pembeli berdatangan. Selesai dengan itu, aku pun membantu Lilis mengepel ruangan. Saat pembeli mulai berdatangan, aku dan Lilis harus kembali standby di depan kasir.

"Sayang, HP kamu ketinggalan."

Merasa kenal dengan suara itu, aku yang awalnya sibuk mengabsen karyawan pun mendongak. Lilis menyemburkan tawa, begitu juga dengan Mas Arga dan tatapan menyebalkannya.

Aku meraih HP dari tangannya dengan ketus.

"Cium tangan!" pintanya sambil mengulurkan tangan. Seketika semua karyawan yang berada di warung pun memperhatikan kami. Malu-maluin!

"Buruan, Ra. Malu dilihatin banyak orang," katanya.

Aku mendengkus, lantas mencium tangan Mas Arga dengan malas. Namun, baru saja hendak mendongak, keningku berbenturan dengan hidungnya.

Aih! Pinter banget nyari kesempatan sih ini orang!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status