"Habis dikerjain, ya?" Mbak Aida tertawa. "Arga emang suka gitu," lanjutnya.
Aku hanya nyengir kuda. Tak paham dan tak mau paham apa maksudnya. Lagian males juga nanggepinnya. Pasti setelah ini Mbak Aida bakal cerita kenangan waktu pacaran sama Mas Arga dulu."Nyebelin gitu, Arga orangnya romantis, kok, Ra. Dulu sering banget lupa jemput, tapi paginya beli bunga. Aku tadinya mau marah jadi nggak bisa."Kan, kaaan!"Tapi, kamu kan nggak suka bunga, Ra. Jadi, kayaknya beda cerita kalau di kamu. Gagal romantis gitu."Aku hanya mengangguk sambil memakan camilan di toples sembari memperhatikan Mbak Aida yang mencuci sayuran yang terdiri dari kubis, wortel, brokoli, dan juga sawi hijau di baskom. Bisa kutebak kalau dia akan memasak capcay."Lupa gak beli udang. Mau masak capcay, kan?" tanyaku sambil membantu mengupas bawang."Arga alergi sama udang. Jangan masakin dia seafood, ya. Dia juga gak suka pedes."Aku mengangguk."Arga suka banget capcay buatan aku, Ra. Sini aku ajarin masak.""Enggak, ah. Beda tangan beda rasa," jawabku."Yang penting, kan, udah belajar resepnya. Pokok jangan terlalu banyak merica, dia pasti suka."Aku mulai malas. Dari dulu memang tidak suka diatur-atur begini. Lagi pula enggak ada yang minta Mas Arga nikahin aku juga, otomatis dia yang harus menerima kurangnya aku apa adanya. Iya, kan?HP yang diletakkan di meja oleh Mbak Aida berbunyi, setelah mengeringkan tangannya, Mbak Aida menjawab panggilan yang kutebak dari Bapak."Iya, Pak. Ini di rumah Yura, ngajarin dia masak. Kasihan suaminya bisa kelaparan kalau Yura gak bisa masak."Entah bapak berbicara apa lagi, aku pura-pura tak peduli."Iya, Pak. Aida pulang."Mbak Aida kembali menghampiriku, lalu mulai menghidupkan kompor."Disuruh pulang, ya, Mbak? Pulang aja sana, nanti dicariin lagi." Entah kenapa jadi secanggung ini ngomongnya sama Mbak Aida. Padahal biasanya juga blak-blakan."Nanti setelah capcaynya mateng.""Pulang aja. Yura pasti bisa." Mas Arga menghampiri kami berdua.Aku menoleh ke arahnya, dia mengedipkan mata. Idih!"Biar Mas Arga yang anter, Mbak," kataku."Aku udah pesenin taksi online. Dah nyampai tuh," sela Mas Arga.Mbak Aida terlihat menarik napas dalam, lalu mengambil barang belanjaannya dan berpamitan."Besok aku ke sini lagi, ya, Ra," kata Mbak Aida sambil melambaikan tangan dan masuk ke dalam mobil."Besok rumah kosong, Ai. Aku sama Yura udah kerja lagi, gak bisa cuti lama."Aku menyenggol lengan Mas Arga, tapi lagi-lagi dia hanya mengedipkan mata. Cacingan atau gimana?"Ya udah, lain kali aja kalau gitu."Aku melambai ketika mobil mulai berjalan, sedangkan Mas Arga sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah. Setelah mobil hitam itu benar-benar menghilang, aku pun ikut masuk dan berjalan ke arah dapur yang berantakan. "Ah, elah! Males banget harus masak sama beresin beginian!" gerutuku."Masukin kulkas aja. Aku lagi males makan capcay."Aku mengernyit. "Baguslah. Aku juga males masak capcay. Ribet!""Kamu bisa masak apa?""Mie instan."Dia membulatkan mata. Aku ketawa.***Sudah jam delapan malam, tapi dua teman Mas Arga belum juga pulang. Aku yang sedari tadi harus duduk di sebelahnya sambil garuk-garuk kepala mulai bosan dengan gerakan yang begitu-begitu saja."Aku masuk kamar duluan aja, ya. Ngapain juga cengo di sini?" bisikku."Ehm. Kayaknya Yura udah ngantuk. Besok lagi, Bro!" seru Mas Arga yang membuatku melotot padanya. Dasar!Dua teman Mas Arga yang sedari tadi serius membicarakan pekerjaan pun akhirnya ngakak semua. Suami gak ada akhlak emang!"Jangan kebanyakan, Bro. Besok sif pagi, nanti ngantuk melulu," jawab salah satu dari mereka. Sementara aku menutup muka."Pamit, ya. Jangan lupa matikan lampu sama kunci pintunya." Mereka tergelak bersama. Aku pura-pura tersenyum sambil menganggukkan kepala, setelah kedua orang itu pergi aku langsung ke kamar meninggalkan Mas Arga sendiri.Sambil berbalas pesan dengan teman-teman, aku membaringkan tubuh di ranjang. Mengabarkan pada Lilis kalau besok sudah masuk kerja seperti biasa.[Demi apa kamu belum iya-iya sama Arga sampai sekarang, Ra?][Demikian.] Balasku asal.[Wah, rugi. Dah ngerasain sekali ketagihan nanti.]Aku tak membalas lagi karena tiba-tiba lampu kamar dimatikan.Klek! Pintu juga dikunci."Apa-apaan, sih? Ngapain dikunci?" protesku sambil berdiri. Berjalan pelan-pelan hendak menjangkau saklar, tapi Mas Arga menghalangi."Kan, emang harus gitu biar kamu gak malu." Mas Arga berjalan maju, jadilah aku yang mundur."Aku gak bisa tidur kalau gelap gini. Engap. Gak bisa napas juga. Nyalain!""Enggak." Dia mulai buka baju. Dia yang polosan kenapa malah aku yang kepanasan?"Ngapain lagi, nih? Pakai, gak!""Dikit aja, Ra.""Ogah!"Mas Arga melewatiku lalu mengempaskan tubuhnya di kasur dengan posisi tengkurap. "Kerokin. Aku masuk angin kayaknya."Ish. Dasar! Bikin gerah aja!***"Berangkat bareng aja, Ra." Kami sedang sarapan di tempat berbeda. Dia di meja makan, aku di ruang tamu. Sengaja. Biar dia ilfeel dengan sikapku lama-lama."Aku udah dijemput sama Lilis."Suara klakson motor berbunyi. Aku langsung berlari ke depan sambil menarik tas selempang tanpa berbicara apa-apa lagi, bahkan tanpa membereskan piring sisa sarapan tadi."Udah pamit?" tanya Lilis."Nanti aja nanyanya. Kita berangkat dulu."Lilis menarik gas sesuai aba-aba. Setelah motor kami jauh dari rumah Mas Arga, aku mulai bicara."Gimana, ya, caranya biar bisa cerai sama Mas Arga?""Hust! Dosa, woy. Sarapan pakai apaan, sih, kok, ngelantur gini?""Sarapan pakai kenyataan pahit. Serius mau cerai aja aku, Lis. Emang kamu pikir nikah tanpa cinta itu enak?""Kamu atau Mas Arga yang gak cinta?""Dua-duanya.""Lah, ngapain nikah kalau gak cinta?"Aku tak menjawab. Percuma ngasih tahu juga, Lilis enggak akan percaya. Mana mungkin seseorang nikah cuma gara-gara sumpah? Aneh, 'kan?Sesampainya di warung, aku langsung berdiri di meja kasir dan menghitung uang receh untuk kembalian pembeli bersama Lilis. Setelah dirasa cukup, aku meminta Lilis menyimpannya. Sementara aku bergerak mengambil serbet dan juga alat semprot yang sudah diisi dengan cairan anti lalat. Rutinitas pagi adalah mengelap semua meja sebelum pembeli berdatangan. Selesai dengan itu, aku pun membantu Lilis mengepel ruangan. Saat pembeli mulai berdatangan, aku dan Lilis harus kembali standby di depan kasir."Sayang, HP kamu ketinggalan."Merasa kenal dengan suara itu, aku yang awalnya sibuk mengabsen karyawan pun mendongak. Lilis menyemburkan tawa, begitu juga dengan Mas Arga dan tatapan menyebalkannya.Aku meraih HP dari tangannya dengan ketus."Cium tangan!" pintanya sambil mengulurkan tangan. Seketika semua karyawan yang berada di warung pun memperhatikan kami. Malu-maluin!"Buruan, Ra. Malu dilihatin banyak orang," katanya.Aku mendengkus, lantas mencium tangan Mas Arga dengan malas. Namun, baru saja hendak mendongak, keningku berbenturan dengan hidungnya.Aih! Pinter banget nyari kesempatan sih ini orang!"Kerja yang bener, ya. Nanti aku jemput," katanya sambil mengacak rambut. Aku menatapnya dengan malas lalu kembali duduk di meja kasir."Yang diacak rambutnya siapa, yang berantakan siapa." Lilis meracau, aku mendongak. Dia masih menatap punggung Mas Arga yang sudah menjauh."Awas naksir!" sahutku."Hatiku berantakan, Ra. Kamu serius gak suka sama dia? Good looking gitu.""Ambil ajalah kalah suka.""Serius? OTW jadi pelakor!" Lilis mengambil sesuatu dari dalam saku.Aku makin mengernyit melihat Lilis mengoleskan lipstik merah menyala di bibirnya."Dah pantes jadi pelakor belum?" tanya Lilis yang kujawab dengan toyoran di kepalanya.***Jam dua sore. Satu jam lagi waktu pergantian sif, aku menghitung jumlah uang dan menyamakannya dengan nominal di komputer. Sebelum pergantian sif begini, uang yang terkumpul selama sif pertama akan dipisahkan dengan jadwal sif berikutnya.Setelah memastikan jumlah uang dengan yang tertera di layar monitor itu sama, aku mengikat pendapatan sejak pagi tad
Semenjak minum obat dari Mas Arga tadi, perutku sudah mulai membaik. Namun, sudah hampir jam sebelas malam, tapi mataku masih belum bisa diajak terpejam juga. Aku berguling ke kanan dan ke kiri, tapi cuma gerah doang yang ada.Sayup aku mendengar suara nada dering dari luar kamar. Ini sudah hampir tengah malam, tapi kenapa Mas Arga masih menerima panggilan?Aku berjalan ke dapur karena perut terasa kosong, sepertinya bakso tiga porsi tadi benar-benar sudah tidak menempati ruang di lambungku lagi. Tanpa memedulikan Mas Arga yang sedang berbicara entah dengan siapa, aku melewatinya begitu saja tanpa bertanya.Aku mengambil air dari dispenser lalu menarik kursi di meja makan. Tanganku terulur hendak menjangkau apel di piring, tapi terhalang oleh cekalan Mas Arga. Aku menyentak, tapi dia justru terbahak."Laper lagi?" tanyanya."Masalah buat situ?" Aku kembali meraih apel dan langsung menggigitnya.Mas Arga duduk di depanku sambil memperhatikan. Matanya tidak berkedip sama sekali, membua
Aku membelalak. Ini salah. Bukan. Bukan karena aku suka sama Mas Arga, tapi ucapan Mbak Aida ini benar-benar bibit masalah."Mbak, sadar. Kamu udah nikah sama Mas Imran. Jangan ngadi-adi ngomongnya, dosa!""Aku serius, Ra. Aku gak rela kamu nikah sama dia." Mbak Aida tiba-tiba tergugu."Udah! Udah!Mending Mbak Aida pulang. Jangan ke sini lagi, bahaya. Bibit dosa jangan makin dipupuk, nanti malah subur kayak jenggot bapak. Mbak, jangan main-main sama pernikahan, Mas Imran itu orang baik. Rela gak rela emang udah kayak gini kenyataannya.""Kamu gak tahu gimana rasanya kehilangan, Ra. Kamu gak tahu, kan, gimana rasanya sayang sama orang, tapi orang itu udah bukan milik kamu lagi.""Ya emang aku gak tahu dan gak mau tahu. Kalau mau mungkin udah dari dulu aku pacaran juga. Gak usah makin ngelantur gitu ngomongnya," kataku mulai kalut. Bisa-bisa aku kepancing emosi juga kalau begini urusannya."Aku nginep di sini. Semalam aja.""Enggak! Ayo, Yura anter pulang." Aku mengambil tas miliknya da
Aku sengaja menunggu. Benar saja, Mas Arga pasti hanya menggoda, tapi dia sama sekali tidak berani menyentuhku. Jangan-jangan memang benar ucapan Lilis, bahwa sebenarnya Mas Arga ini pura-pura mau padahal aslinya hanya untuk menutupi malu. Ah, aku jadi penasaran.Aku membalikkan tubuh. Posisi Mas Arga masih seperti malam-malam biasanya. Terpejam dengan tangan yang diletakkan di atas kening. Pelan-pelan kupindahkan guling di antara kami dan mulai merapatkan tubuh."Dingin, ya, Mas." Meski gemetar, tapi tanganku akhirnya berhasil melingkar di atas perutnya. Ini namanya uji nyali!Bisa kurasakan kalau Mas Arga terkejut, karena setelah itu dia terlihat gugup. Sementara aku berusaha menahan tawa dengan sekuat tenaga."Katanya gak boleh pegang-pegang dulu." Tangannya memindahkan tanganku.Namun, aku kembali melingkarkan tangan dan merapatkan tubuh, memeluknya."Dingin," kataku. "Ah, elah. Bikin gagal ngantuk aja, Ra. Ya udah sini, kita saling menghangatkan."Aku gelagapan ketika Mas Arga
10.Aku kembali menunduk karena merasa tidak kenal dengan laki-laki yang celingukan di depan sana. Lilis menyenggol lengan, memberi isyarat agar aku menemui orang itu sebelum warung penuh."Samperin, gih. Bukan pengemis dia."Aku tertawa. Lalu, menghampiri laki-laki itu."Masnya siapa, ya?" tanyaku ketika menghampirinya."Ah, iya. Kenalin, nama saya Edo."Aku menjabat tangannya. "Ada keperluan apa, Mas Edo?""Ternyata kamu cantik banget, ya." Dia menggelengkan kepala sambil tersenyum.Bau-bau buaya."Maksudnya apa, ya? Maaf banget, Mas, soalnya saya sibuk. Ini jam kerja." Intonasiku mulai meninggi."Eh, iya, astaga. Maaf. Aku ke sini karena disuruh sama Aida. Sore nanti, kamu disuruh ke rumah. Oh, iya. Aku temen kerjanya dulu, kebetulan tempat kerjaku deket-deket sini juga. Pulang jam tiga, kan? Nanti bisa bareng. Bye!" Dia melambai tanpa menunggu jawabanku.Meresahkan. Bukan Lilis namanya kalau tidak langsung menanyakan tentang siapa laki-laki tadi. Aku hanya menjawab sekenanya karen
11Tubuhku bersentuhan dengan benda lembut. Aku membuka mata, lalu memejam kembali ketika harus melihat wajah Mas Arga, lagi dan lagi.Rupanya Mas Arga membaringkan tubuhku di kasur. Badanku rasanya seperti tak bertulang. Lemas dan pusing."Boleh, ya, Ra?" bisik Mas Arga.Aku menggulingkan tubuh. "Gak!""Puasa terooos!"Bibirku tertarik ke atas. Emang enak?!Aku bisa merasakan kalau Mas Arga ikut berbaring di belakangku. Tubuhku menegang ketika tangan Mas Arga melingkar di pinggang. Dia benar-benar memelukku dari belakang."Please, jangan marah. Sebentar aja, Ra," bisiknya. Anehnya, aku benar-benar tidak marah dan tidak bergerak. Hanya diam dan menikmati embusan napasnya yang hangat menjalar di punggung. Ada sensasi aneh yang terasa saat Mas Arga mengeratkan pelukannya.Jantungku berdebar kencang. Rasanya mirip banget kayak waktu disuruh Ibu menemui kang kredit lingerie. Ngeri-ngeri sedap."Unboxing, ya, Ra?"Aku menyikut perutnya hingga laki-laki itu tertawa dan menarik tangan yang
12"Mas Arga ngomong apaan, sih? Yang sakit siapa yang ngelantur siapa."Aku melewatinya. Lalu, kembali duduk dan meletakkan dagu di meja.Mas Arga mendekat, lantas melakukan hal yang sama."Ra, maaf. Semalam aku ngelakuin itu tanpa sepengetahuan kamu. Aku minta maaf." Wajahnya tidak bercanda."Mas, bohong, kan?"Dia menggeleng. Aku mulai panik, jangan-jangan obat yang aku minum semalam itu obat tidur? Jadi, aku sudah ternodai? Sudah tidak suci lagi?Namun, tiba-tiba saja Mas Arga menyemburkan tawa. Kencang sekali. Aku memutar bola mata dengan malas, lalu melempar celemek pada laki-laki mesum yang sedang memegangi perutnya itu."Wajah kamu lucu."Aku mencebik. Lucu katanya?Dasar otak mesum!Mas Arga kembali pada kompornya. Tangannya cukup lihai ketika mulai memasukkan bumbu di wajan. Aku mendekat, lalu melongok pada wajan di atas kompor."Lah, gak usah pakai daun jeruk, ah. Aku gak suka. Bumbuin bawang ama cabe aja udah!" protesku."Nasi goreng daun jeruk, kan, enak.""Gak enak, aneh
13"Ra."Aku mendongak. "Iya, Pak?""Di sini gak ada gula?"Aku menyemburkan tawa. "Ada, kok. Mau ditambahin?"Bapak menggeleng sambil terkekeh. "Jangan terlalu tegang begitu. Kayak lagi ngomong sama tukang kredit langganan Ibu saja."Kami terbahak bersama. Namun, senyumku langsung memudar ketika Bapak kembali bicara."Arga banyak berubah selepas putus dengan Aida. Sepertinya dia jadi banyak bicara sekarang.""Memangnya dulu enggak banyak bicara, Pak?"Aku mencoba mengingat saat Mas Arga sering mengantar Mbak Aida pulang. Aku yang tidak pernah peduli pada mereka atau memang saat berpacaran dengan Mbak Aida, Mas Arga itu tidak banyak bicara? Entahlah.Beliau hanya tersenyum kecil. "Masuk sore, ya? Bapak jadi kangen jemput kamu waktu pulang malam lagi."Kali ini aku benar-benar dibuat mellow. Ah, Bapak. Sepertinya baru kemarin kita berangkat kerja bersama. Aku yang selalu ketiduran saat menunggu jemputan dari Bapak. Lalu, akhirnya kita akan berhenti di pasar malam hanya agar aku tidak m