Share

Bab 2

Winda duduk di tepi ranjang memijat kakinya sambil menghela napas yang cukup panjang. Waktu di mana dia terlahir kembali sungguh memalukan. Bisa-bisanya dia kembali ke momen ketika hubungannya dengan Hengky sedang sangat canggung. Melihat Hengky yang hendak menandatangani surat perceraian mereka tanpa rasa ragu sedikit pun membuat Yuna merasa perjalanannya dalam memperbaiki hubungan ini akan sangat memakan waktu.

Keesokan harinya, Hengky yang baru saja bangun dan berjalan melewati kamar tidur utama terkejut ketika mendapat di dalam tidak ada orang. Seketika itu dia pun tersenyum sinis. Apakah lagi-lagi Winda pergi menemui Jefri?

“Pak Hengky, sarapannya sudah …,” ujar pelayan rumah yang melihat majikannya baru saja turun.

“Aku nggak makan,” jawab Hengky ketus sembari berjalan ke arah pintu depan.

“Hari ini Bu Winda yang bikin sarapan.”

Sontak langkah Hengky terhenti dan dia pun menatap pelayannya kebingungan.

“Tadi Bu Winda sudah bikinin sarapan dari jam enam pagi. Pak Hengky yakin nggak mau makan?”

Rupanya … Winda benar-benar rela melakukan apa pun hanya demi Jefri. Padahal selama ini Winda tidak pernah satu kali pun mau makan bersama Hengky, tapi hari ini dia malah membuatkan sarapan demi Jefri? Ternyata Winda mencintai Jefri sejauh itu.

Ini terakhir kalinya ….

Hengky hanya terdiam selama beberapa saat dan berjalan ke arah dapur. Di dalam dapurnya yang luas itu dia melihat seorang perempuan dengan rambut hitam diikat ekor kuda sedang fokus menggoreng telur.

“Kamu ngapain?” tanya Hengky.

Winda pun mendongak dan melihat Hengky sedang berdiri tak jauh darinya.

“Sayang! Aku ada bikinin sarapan buat kamu, cobain ….”

Namun sebelum Winda selesai berbicara, Hengky langsung menyelanya, “Kita sudah punya pelayan, kamu nggak perlu ngerjain yang beginian.”

Senyuman di wajah Winda sontak menegang, diikuti oleh perasaan sedih yang mencuat dari lubuk hatinya. Dulu Winda belajar memasak demi Jefri karena dia memiliki masalah lambung. Meski sudah lama menikah, tidak pernah satu kali pun Winda membuatkan sarapan untuk Hengky. Sekarang Winda ingin memperlakukan Hengky dengan baik untuk memperbaiki hubungan mereka, tapi sayangnya Hengky tidak percaya padanya.

Seraya mengendalikan rasa kecewa yang dirasakan, Winda menyajikan sarapan yang sudah dia buat ke meja makan dan mengajak Hengky untuk sarapan.

“Ayo dimakan, aku ambilin susu dulu buat kamu.”

Hengky menatap telur mata sapi berbentuk hati yang sudah tersajikan di depannya dengan ekspresi seolah sedang menyindir. Tiba-tiba ponsel Winda bergetar, dan dari layarnya Hengky melihat identitas si pemanggil bertuliskan “Kak Jefri”. Spontan nafsu makan Hengky pun langsung hilang. Sekali lagi dia hanya bisa tersenyum sinis dan pergi dari rumahnya.

Ketika Winda kembali membawakan segelas susu, dia mendapati Hengky sudah tidak berada di meja makan. Si pelayan pun bilang kalau Hengky sudah pergi. Winda merasa sedih melihat sarapan yang sudah dia buat dengan sepenuh hati tak disentuh sedikit pun oleh Hengky. Lantas, Winda meraih ponselnya yang terletak di atas meja dan berpikir apakah dia harus menghubungi Hengky. Di tengah kegalauannya itu tiba-tiba dia mendapatkan panggilan dari ayahnya.

“Pa.”

“Hmph, ternyata kamu masih ngakuin aku sebagai papa kamu!” bentak ayahnya, James, dengan nada yang penuh amarah, “Kenapa, ya, Papa punya anak kayak kamu? Papa nggak peduli sekarang kamu ada di mana, Papa kasih kamu waktu setengah jam untuk pulang sekarang. Kalau nggak, jangan harap kamu bisa menginjakkan kaki di rumah lagi!”

Seusai berkata demikian, James langsung menutup telepon tanpa menunggu jawaban dari anak perempuannya.

Kebencian yang tersimpan dalam hati Winda menjadi tak terbendung lagi membayangkan dirinya harus pulang untuk menghadapi ibu tiri dan adik tirinya yang bermuka dua itu. Suasana hati yang bagus di pagi hari seketika langsung hancur tak karuan.

Winda pun segera berberes dan mengemudikan mobilnya pulang ke rumah keluarganya. Ketika baru saja masuk melalui pintu utama, Winda sudah merasakan hawa yang sangat menyesakkan. Bahkan para pelayan rumah pun tak hentinya memberikan tatapan aneh saat menyerahkan sandal untuknya.

“Pa, aku sudah pulang,” sahut Winda seraya menatap Clara, ibu tirinya,dan juga Luna, adik tirinya.

Mata Winda secara samar-samar melirik ke arah perut Clara yang masih terlihat rata, tapi jika tidak salah ingat, seharusnya dia sudah mengandung selama tiga bulan.

“Eh, akhirnya Kakak pulang juga,” ujar Luna sambil berpura-pura ramah menarik tangan Winda, “Kemarin Kakak nggak apa-apa, ‘kan, waktu pergi ke acara ulang tahunnya Jefri?”

Namun, wajah Luna ditampar oleh Winda sebelum Luna sempat mendekat.

“Luna, dasar nggak tahu malu.”

Tamparan itu tentunya membuat kedua orang tuanya terkejut, bahkan James langsung mengamuk.

“Winda, adik kamu khawatir sama kamu, kenapa kamu malah nampar dia? Kamu benar-benar sudah gila gara-gara si Jefri itu!”

Winda hanya bisa tertawa masam melihat tatapan kecewa dari sang ayah. Semenjak Clara dan Luna tinggal di rumah ini, hubungan antara Winda dengan ayahnya semakin memburuk. Bahkan, ayahnya tega memutus hubungan dengan Winda demi anak di perut Clara yang masih belum lahir. Winda sudah menyaksikan langsung apa yang Clara dan Luna lakukan di kehidupan sebelumnya, jadi kali ini dia tidak akan terjebak untuk kedua kalinya!

“Khawatir? Luna, harusnya kamu sendiri yang paling tahu apa yang terjadi sama aku kemarin! Bukannya kamu yang maksa aku buat pergi kemarin?”

“Aku …. Kakak, kok, ngomong begitu? Aku cuma ngajak Kakak buat ikut ke acara ulang tahunnya Jefri. Aku nggak nyuruh Kakak buat … begituan sama dia.”

Luna menyadari ada bekas kecupan di leher Winda. Kecupan mesra itu dengan sangat jelas membuktikan bahwa pasti terjadi sesuatu kemarin malam. James juga menyadari kecupan itu dan seketika rona wajahnya langsung memuram.

“Dasar anak setan, cepat berlutut kamu!” seru James.

“Kenapa aku harus berlutut?” balas Winda.

“Sudah berani kurang ajar kamu? Kamu sudah lupa ngapain saja kemarin malam? Tadinya Papa masih nggak percaya. Papa benar-benar nggak nyangka kamu sudah menikah tapi masih saja selingkuh sama cowok lain! Kalau dari awal Papa tahu kamu begini, seharusnya Papa nggak lahirin kamu!”

“James, jangan marah-marah, nggak bagus buat badan kamu. Kemarin malam Winda pasti mabuk … dia pasti nggak bermaksud begitu,” ujar Clara berusaha menenangkan situasi, tapi kedua matanya itu memancarkan perasaan puas yang tersembunyi dengan baik, “Winda, cepat akui kesalahan kamu dan minta maaf sama Papa.”

“Kamu siapa?” bentah Winda sambil menatap remeh Clara, “Ini rumah keluargaku. Kamu punya hak apa buat ngomong di sini?”

Dulu Winda dibutakan oleh kasih sayang buatan yang diberikan oleh Clara. Dia mengira Clara berkata demikian dengan maksud membantunya, tapi sebenarnya itu hanyalah akting belaka. Sontak, raut wajah Clara pun langsung menegang dan dari sorot matanya terpancar kebencian yang sangat jelas terasa.

“Winda, Clara itu mama tiri kamu. Kamu nggak boleh ngomong begitu sama dia!” tegur James.

“Pa, Papa sudah lupa gimana Mama meninggal?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status