Share

Bab 4

Entah karena alasan apa tiba-tiba saja Winda merasa ada sesuatu yang aneh, dia pun menatap perut Clara dengan penuh rasa curiga dan bertanya, “Sudah tiga bulan lebih tapi perutnya masih nggak kelihatan kayak lagi hamil. Apa anaknya nggak apa-apa?”

Mendengar itu, Clara langsung panik dan tidak berani menatap Winda. Dia hanya mencengkeram tangan James dan berkata lirih, “James, aku ngerasa nggak enak badan. Aku mau istirahat sebentar di kamar.”

Meskipun James sendiri masih curiga dan tidak senang dengan apa yang Luna lakukan, untuk sementara waktu dia mengesampingkan semua itu demi anak yang ada di dalam perut Clara sekarang.

“Luna, bawa mama kamu ke kamar untuk istirahat. Terus telepon dokter minta dia untuk datang sekarang juga,” perintah James.

“Papa kenapa malah membela Luna?” tanya Winda.

“Kalau bukan gara-gara kamu sendiri yang bikin kesalahan dari awal, masalahnya nggak bakal jadi separah ini.”

“Oh, bahkan Luna mau ngejebak aku pun masih tetap aku yang salah?”

“Mama tiri kamu sekarang lagi hamil. Sekarang siapa yang salah nggak penting, cukup sampai di sini dulu.”

Walau sudah menduga ayahnya pasti akan lebih membela Luna daripada dirinya, tetap saja Winda merasa sangat kecewa saat mendengarnya langsung. Ternyata posisi Winda di hati ayahnya masih lebih rendah daripada seorang anak haram yang terlahir dari wanita simpanan. Sungguh menggelikan.

“Kalau begitu berharap saja dia ngelahirin anak cowok!” kata Winda sambil menatap sinis ayahnya.

James bertingkah seolah tidak mendengar apa yang Winda ucapkan tadi, dan dia hanya berkata, “Malam ini ulang tahun adik kamu acaranya di Wharton Hotel, kamu harus datang.”

Winda sudah menduga ini semua pasti adalah kemauannya Clara. Walau tidak bisa dengan terang-terangan mengakui Luna sebagai penerus keluarga, setidaknya dia harus membuat orang lain tahu bahwa keluarga Atmaja masih memiliki seorang anak perempuan selain Winda. Maka itu Clara memanfaatkan kehamilannya untuk membujuk James mengadakan pesta ulang tahun dengan tujuan memperkenalkan Luna secara resmi.

“Oke, aku pasti datang,” jawab Winda.

James cukup terkejut dengan jawaban Winda yang semudah itu menyetujui permintaannya. Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi segera menariknya kembali dan naik ke lantai atas untuk memeriksa kondisi Clara.

Dalam perjalanan Winda pulang ke rumah, dia menyempatkan diri untuk menghubungi Hengky.

“Ada apa lagi?” tanya Hengky dengan nada yang dingin.

“Sayang, papaku bilang hari ini Luna ulang tahun di Wharton Hotel, kamu ….”

“Aku nggak ada waktu,” balas Hengky.

Ketika Winda baru saja mau berbicara, teleponnya sudah ditutup oleh Hengky. Dia pun hanya menghela napasnya sambil menatap layar ponsel. Selama perjalanannya ke rumah sakit, Winda juga terus memikirkan cara bagaimana dia harus membujuk Hengky nanti untuk ikut dengannya. Waktu Winda sudah tidak banyak, masih ada beberapa hal yang perlu dia urus sebelum menghadiri acara ulang tahun nanti malam.

Malam harinya di Wharton Hotel ….

Luna sibuk menyambut para tamu yang datang sambil menggandeng lengan ayahnya.

“Pak James, ini yang namanya Winda? Cantik banget, ya,” ujar salah seorang teman James yang bernama Gino.

Senyuman di wajah Luna langsung sirna dan tergantikan dengan raut wajah kesal, tapi dengan segera dia menutupi perasaan kesalnya dan tersenyum ramah, “Pak Gino salah paham. Aku Luna, anak kedua.”

“Ooh, ternyata kamu adiknya, ya. Maaf, ya,” kata Gino, dengan sorot mata menghina.

Hal semacam ini lazim terjadi dalam pergaulan masyarakat kelas atas. Anak yang terlahir bukan dari istri pertama tidak akan pernah dipandang sederajat dengan anak pertama. Luna tidak suka mendapatkan perlakuan seperti itu, tapi dia mau tidak mau tetap memasang wajah senyum ramah. Tidak mudah baginya meminta sang ayah mengadakan acara ulang tahun di hotel besar untuk memperkenalkan dirinya kepada banyak orang, dan Luna tidak ingin semua itu rusak hanya karena masalah kecil.

“Pa, tamu-tamunya sudah pada datang. Kita mulai saja acaranya sekarang?” tanya Luna.

James melihat jam di arlojinya dan mengangguk dengan berat hati. Sepertinya James salah telah menaruh harapan kepada Winda. Padahal tadi pagi Winda sudah berjanji akan datang, tapi sampai sekarang batang hidungnya saja masih belum terlihat. James pun menggandeng Luna naik ke podium diikuti oleh Clara yang berada di sebelah kanannya.

“Terima kasih kepada para hadirin yang sudah menyempatkan waktunya untuk datang ke acara ulang tahun anakku ….”

Tiba-tiba pintu aula terbuka lebar, membuat sambutan James terhenti seketika.

“Kayaknya aku datang terlambat, nih.”

Semua orang menengok ke arah asal suara itu dan melihat wajah yang luar biasa jelita. Kulitnya pun putih seputih salju dipadu dengan alis mata yang tebal. Kedua bola matanya pun memancarkan cahaya kekuningan seperti batu perhiasan. Mermaid dres warna hijau yang dia kenakan juga semakin menonjolkan keelokan tubuhnya yang ramping, dan rambut lebatnya dibiarkan terurai sampai ke bahu.

Dalam sekejap mata, suasana aula yang semula ramai langsung sunyi senyap hingga suara napas terdengar jelas. Perhatian semua orang tertuju ke Winda yang baru saja tiba di lokasi. Winda berjalan dengan santai ke tengah-tengah aula menuju panggung yang ada di depan matanya.

Tiba-tiba Luna merasa ada rasa takut yang muncul dalam dirinya ketika melihat tatapan mata Winda yang dingin itu, dan tanpa sadar dia pun menggenggam tangan Clara semakin erat.

Dengan tinggi badan sekitar 170 cm, Winda berdiri persis di hadapan Luna sambil memancarkan auranya yang sangat mencekam.

“Kamu takut?” tanyanya.

“Akhirnya Kakak datang juga.”

“Ada banyak orang yang lihat, jangan bikin onar kamu,” ujar James mengingatkan.

“Selamat ulang tahun, ya, ‘adikku sayang’!” tutur Winda menegaskan setiap kata yang dia ucapkan sembari mengangkat gelasnya. Kemudian dia meneguk habis minumannya dan kembali menatap Luna.

Luna melambaikan tangannya meminta pramusaji untuk membawakan segelas minuman untuknya, dan ketika pramusaji datang, dia dengan sengaja menumpahkan wine ke gaun Clara.

“Ah!”

Luna berseru kaget dan buru-buru mengelap noda yang menempel di gaun ibunya. Clara mengenakan gaun putih, tumpahan wine yang menempel di gaunnya tidak bisa dilap sampai bersih. Justru makin dilap yang ada hanya akan makin kotor.

Winda hanya diam saja melihat sandiwara murahan sepasang ibu dan anak ini. Dalam hati dia sungguh menyesal kenapa waktu itu dia bisa termakan oleh jebakan mereka.

“Sudah, jangan dilap lagi. Ganti gaun lain saja,” kata James yang jadi sedikit kesal dengan Luna akibat kecerobohannya. “Winda, antar mam kamu ke ruang ganti.”

Winda sempat menatap sekilas wajah Luna dengan tatapan yang mencurigakan, kemudian barulah dia menghampiri Clara dan menuntunnya pergi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status