Share

Bab 8

“Kurang ajar, ngomong apa kamu?”

Dengan ganasnya Clara menyambar pelayan itu, tapi James berhasil menahan Clara tepat waktu dan menampar wajahnya.

“Masih nggak cukup kamu mempermalukan diri sendiri?!” bentak James, “Dari dulu aku selalu memperlakukan kalian berdua dengan baik, tapi kalian malah berbuat kayak begini. Kalian benar-benar bikin aku kecewa! Besok kalian berdua angkat kaki dari rumahku!”

Kenapa malah jadi begini? Berdasarkan rencana yang sudah dibuat oleh Clara dan Luna, yang seharusnya diusir dari rumah adalah Winda. Kenapa sekarang malah jadi mereka berdua yang diusir? Tidak … Luna tidak akan bisa bertahan hidup tanpa identitasnya sebagai putri keluarga Atmaja!

“Pa! Aku salah! Tolong jangan usir aku dari rumah!” pinta Luna sambil sembah sujud di hadapan James, “Aku sama Mama selalu hidup susah. Dari kecil aku nggak pernah ngerasain punya papa. Tolong jangan usir aku!”

Clara pun ikut bersujud di depan James sambil menarik-narik tangannya, “James, aku ngaku salah. Aku nggak bakal ngulangin kesalahan ini lagi. Tolong maafin aku, ya?”

Tiba-tiba James jadi tidak tega melihat mereka berdua menangis seperti anak gelandangan. Sebelumnya James pernah mengabaikan mereka berdua demi pernikahan dengan keluarga Hanjaya, jadi selama ini dia berusaha untuk menebus kesalahannya. Namun, siapa yang menyangka bahwa ternyata perempuan yang James kira begitu lugu dan baik hati ternyata jadi seperti ini.

“Pa, kalau tadi aku nggak bisa ngebuktiin aku nggak bersalah dan berlutut di depan Papa kayak begini, Papa bakal maafin aku?”

Tentu tidak, dan itulah yang membuat James merasa bersalah kepada anak perempuannya.

“Kalian berdua harus tanggung akibatnya karena sudah berbohong. Pergi dari rumahku dan renungkan kesalahan kalian!” kata James.

Luna masih berusaha meminta belas kasihan kepada ayahnya, tapi James tidak menghiraukan mereka dan langsung pergi meninggalkan aula. Luna dan Clara pun hanya terduduk di lantai seperti anjing hilang dan dicaci maki oleh para tamu yang datang.

“Dasar nggak tahu malu. Sudah menipu, masih mencelakai orang lain pula. Memang pantas kalian berdua diusir!”

“Setuju! Orang nggak punya moral kayak kalian berdua apa layak dibandingin sama Winda?”

Luna menggertakkan giginya dengan api amarah yang berkobar di hatinya. Semua ini gara-gara Winda. Dialah yang membuat Luna dan ibunya menderita. Luna juga anak perempuannya James, lantas atas dasar apa mereka diusir?!

“Nggak sudi? Tenang saja, ini baru permulaan. Semua utangmu bakal kutagih satu per satu!”

Setelah berkata demikian, Winda menampar wajah Luna dengan sangat keras dan langsung pergi meninggalkan aula. Sementara itu Hengky masih menyaksikan semua kejadian dengan rasa puas di kamar VIP miliknya.

Willy yang baru saja masuk ke kamar dan kebetulan melihat Hengky sedang tersenyum puas pun bertanya padanya, “Senang amat? Kenapa nggak kamu sendiri yang turun e bawa tadi? Buat apa malah sembunyi di balik CCTV?”

Senyuman di wajah Hengky langsung sirna mendengar itu dan dia pun membalas dengan nada sinis, “Kamu pikir aku peduli sama mereka?”

“Kalau nggak peduli, ngapain kamu repot-repot datang kemari? Kamu sendiri yang setuju buat masang CCTV di sana!”

“Santo, hubungi Pak Nathan!”

“Pfft! Uhuk-uhuk ….”

Willy mengelap minuman yang bercecerah di mulutnya dan berkata, “Sudah bagus aku bantuin kamu tadi, tapi kamu malah mengkhianati aku. Nggak heran Winda lebih suka sama cowok memble itu, ka-”

Mendengar itu, Hengky langsung melayangkan tatapan tajam ke arah Willy yang membuatnya tutup mulut dan berubah pikiran.

“Nggak salah dia jadi istri kamu. Harusnya kamu lihat kayak apa ekspresi mama tiri dan adik tirinya.”

“Sebentar lagi sudah bukan,” kata Hengky.

“Eh, apa maksudnya? Kamu mau cerai sama Winda?”

“Iya.”

“Hah?! Kok, bisa?” tanya Willy sambil melirik Santo.

Santo pun hanya menggelengkan kepalanya dan mengikuti Hengky keluar dari kamarnya.

Setibanya di rumah, Winda sudah tidak sabar untuk menceritakan apa saja yang dia alami di acara ulang tahun Luna ke Hengky. Ketika membuka pintu kamar tidur dan mendapati tidak ada orang di dalam, tiba-tiba Winda jadi merasa kecewa. Sejak dulu tidak pernah dia merasa seheboh ini untuk bertemu dengan Hengky.

Winda pun memikirkan sebuah ide yang cemerlang. Dia berlari ke bawah untuk mendiskusikan sesuatu dengan pelayannya, lalu kembali lagi ke lantai atas ….

Hengky yang baru pulang setelahnya tampak sedikit murung ketika dia tidak melihat Winda di rumah.

“Winda belum pulang?” tanyanya.

“Sudah. Bu Winda ada di kamar. Waktu tadi baru sampai rumah, muka Bu Winda kelihatannya kurang sehat. Mungkin Ibu lagi sedih atau nggak enak badan. Pak Hengky coba tengok saja ke atas.”

Tanpa banyak bicara, Hengky langsung naik ke atas dan ketika baru saja berjalan melewati kamar tidur, dia teringat dengan apa yang dikatakan oleh pelayan rumahnya tadi. Dia pun membuka pintu kamar dan masuk ke dalam, tapi di dalam sana tidak ada sosok perempuan ataupun suara sedikit pun.

Ketika Hengky hendak keluar, tiba-tiba dia mendengar suara benda berat yang terjatuh ke permukaan air dari dalam, disertai oleh jeritan perempuan.

“Winda!” seru Hengky sembari membuka pintu kamar mandi.

Di dalam dia melihat Winda terjatuh di dalam bak mandi dengan wajah pucat pasi. Hengky pun segera mengambil handuk yang tergantung di rak guna menutupi tubuh Winda. Setidaknya, Hengky merasa sedikit lega setelah memastikan tidak ada luka di kepalanya.

“Winda, bangun!”

Namun Linda masih tidak memberikan reaksi, maka Hengky langsung menggendong tubuh Winda keluar dari bak mandi. Ketika baru saja mau membaringkannya di ranjang, tiba-tiba Winda memeluk leher Hengky dan menciumnya.

“Sayang!” seru Winda.

Hengky langsung terdiam, tatapan mata dan nada bicaranya berubah menjadi sangat mengerikan, “Kamu ngerjain aku? Kamu pikir yang tadi itu lucu?”

Winda pun termangu dengan perasaan bersalah seketika melihat raut wajah kesal Hengky.

“Iya, aku salah. Aku cuma mau kamu lebih perhatian sama aku. Kenapa kamu galak begitu?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status