Share

Bab 9

Pantulan cahaya di bola mata Winda membuatnya terlihat begitu lugu dan tak bersalah. Alhasil, Hengky tidak tega untuk memarahinya, dan hanya melepaskan Winda dari tangannya.

“Kamu yang suruh pelayan buat ngomong kamu nggak enak badan? Mau kamu apa mancing aku masuk ke kamar mandi?”

“Kalau aku nggak ngomong begitu, memangnya kamu bakal masuk ke dalam? Aku cuma mau kamu, itu saja.”

Winda mengulurkan tangannya bermaksud memeluk pinggang Hengky, tapi Hengky langsung mundur secara mendadak dan tidak memberikan kesempatan bagi Winda untuk menyentuhnya.

“Kalau kamu sudah nggak apa-apa, aku keluar dulu.”

“Tunggu! Sayang, kakiku keseleo,” kata Winda seraya meluruskan kaki kanannya yang ramping itu ke Hengky.

Hengky menggenggam pergelangan kaki Winda dan membalikkan badannya.

“Sayang … sakit …,” ujar Winda memelas manja dan senyumannya yang menggoda.

Hengky mengalihkan matanya dari wajah Winda ke pergelangan kaki yang dia genggam.

“Bilang saja, apa lagi yang kamu mau sekarang?”

“Apa masih kurang jelas? Aku ngajak kamu buat tidur bareng.”

“Kamu lagi menghina aku? Winda, kamu bahkan mau berbuat sejauh ini demi dia?

Menghina? Dia? Dia siapa?

Winda tidak mengerti apa yang Hengky bicarakan dan hanya menatapnya kebingungan.

“Aku nggak ….”

Sebelum Winda selesai berbicara, Hengky melepaskan kakinya dan membalas perkataannya dengan raut wajah yang sangat dingin, “Kamu pikir aku mau tidur sama kamu?”

“Hengky, apa perlu kamu nyakitin perasaan aku? Aku tahu selama ini aku banyak berbuat salah, tapi aku sungguh-sungguh berniat baik sama kamu. Aku mau memperbaiki-”

“Hubungan kita nggak butuh diperbaiki, mau itu sekarang atau di masa depan!”

Hengky pun langsung keluar dari kamar tidur setelah dia mengatakan hal itu, sementara Winda hanya melamun cukup lama melihat sosok Hengky yang perlahan menjauhi dirinya. Selamanya Winda tidak akan lupa saat di mana Hengky berlari menembus kobaran api untuk menyelamatkannya. Winda pikir Hengky aan menerimanya setelah dia terlahir kembali. Akan tetapi sepertinya luka yang Hengky rasakan sudah terlalu dalam dan tidak mungkin luka itu bisa sembuh hanya dalam satu dua hari.

Hengky berhenti sejenak di depan pintu dan menuruni tangga ke lantai bawah.

“Den Hengky, Non Winda nggak apa-apa?” tanya si pelayan menghampiri.

“Bi Citra, kakinya Winda keseleo. Di ruang kerjaku ada obat, tolong bawain ke atas.”

“Nggak Bapak sendiri saja yang bawain?”

Bi Citra sudah sangat lama menjadi pelayan di rumah ini dan dulu bekerja di bawah ibunya Hengky. Bisa dibilang Bi Citra jugalah yang melihat Hengky tumbuh dari seorang anak kecil menjadi pria dewasa. Tentu saja dia berharap bisa melihat majikannya akur dengan istrinya.

“Nggak,” jawab Hengky datar tanpa menunjukkan perasaan apa pun.

“Den Hengky, maaf kalau saya bawel,” kata Bi Citra. “Saya rasa sekarang Non Winda sudah berubah. Kelihatan banget kalau Non Winda benar-benar peduli sama Den. Waktu tadi Non Winda baru pulang, dia langsung nanya Den ada di rumah atau nggak. Waktu dia tahu Den nggak di rumah, dia kelihatannya sedih banget. Kalau Den masih sayang sama Non Winda, kenapa nggak coba lagi saja?”

Hengky tampak sedikit murung ketika mengingat kembali apa yang baru saja terjadi di kamar.

“Lain kali, Bi Citra nggak usah kayak begitu lagi.”

Setelah itu, Hengky naik ke lantai atas sementara Bi Citra mengambilkan kotak obat dan pergi ke kamar Winda.

“Kenapa, Bi Citra?” tanya Winda, “Ini Hengky yang minta Bi Citra bawain?”

Bi Citra mengangguk dan menaruh kotak obatnya di samping ranjang, lalu melihat kondisi kaki Winda. Di bagian pergelangan kakinya terlihat sangat jelas bengkak dan memerah.

“Non Winda tolong maklumin sifatnya Den Hengky, ya. Sebenarnya Den sayang sama Non. Tadi dia yang minta Bibi untuk datang bawain kotak obatnya kemari,” ujar Bi Citra sambil mengeluarkan sebotol minyak gosok dari kotak obat.

“Dia khawatir sama aku? Sudah kuduga, dia masih sayang sama aku,” sahut Winda dengan mata berbinar.

Bi Citra ikut tersenyum melihat Winda begitu bahagia. Saat Bi Citra baru saja membuka botol minyak dan hendak menggosokkannya ke kaki Winda, tiba-tiba Winda langsung melompat dari kasur.

“Aku mau ngomong sesuatu sama dia!”

Gerakan Winda begitu cepat sampai dia nyaris saja terjatuh. Akan tetapi, dia tidak peduli dengan itu dan langsung berlari ke kamar tamu. Pintunya tidak dikunci, jadi dia langsung membukanya. Wajahnya memerah ketika mendengar suara percikan air dari dalam kamar mandi. Meski sudah menikah selama beberapa tahun, hanya saat minumannya ditaburi obat saja Winda pernah melakukan hubungan intim dengan Hengky. Dia masih malu-malu ketika membayangkan dirinya tidur seranjang dengan Hengky.

Winda langsung melompat ke ranjang yang ada di depanya dan mencium aroma badan Hengky yang masih menempel. Dia kemudian masuk ke dalam selimut dan memejamkan matanya.

“Ngapain kamu?” tanya Hengky yang baru saja keluar dari kamar mandi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status