Share

Bab 10

Hengky hanya mengenakan jubah mandi longgar yang memperlihatkan dada bidangnya. Rambutnya yang hitam tebal pun dibiarkan terurai sampai leher. Belum pernah sebelumnya Winda melihat penampilan Hengky seperti ini. Dia jadi terlihat jauh lebih seksi dan menggoda.

“Bangun. Balik ke kamar kamu sendiri,” kata Hengky dengan nada bicara yang datar dan cuek seperti biasanya.

Winda terdiam sesaat sebelum akhirnya dia bangkit dari kasur dan memperlihatkan pergelangan kakinya yang terluka. Lantas, dia mengeluarkan minyak yang dia ambil dari Bi Citra dan berkata, “Sayang, bisa tolong olesin minyak buat aku?”

Tanpa banyak bicara, Hengky menuangkan minyak gosok ke telapak tangan, lalu mengusapkan kedua tangannya agar terasa sedikit hangat dan menempelkannya ke kaki Winda. Dengan gerakan yang halus dan tenaga yang pas, dia mengusapkan tangannya di permukaan kulit kaki Winda.

Winda tak bisa menahan senyumannya melihat Hengky begitu serius. Aroma sabun yang bercampur dengan bau obat bercampur menjadi satu secara mengejutkan ternyata cukup enak untuk dihirup.

“Hengky, kamu masih marah sama aku?” tanya Winda. “Waktu itu aku pergi ke acara ulang tahunnya Jefri nggak seperti yang kamu bayangin. Sebenarnya ….”

“Soal itu nggak perlu kamu jelasin ke aku. Toh, dari dulu kamu memang nggak pernah jelasin apa-apa ke aku,” sela Hengky dengan nada yang sinis disertai sedikit sindiran.

Seketika itu Winda teringat dengan berbagai macam hal bodoh yang dulu dia lakukan demi Jefri. Winda tidak bisa berkata-kata lagi mengingat sudah berapa kali Winda membuat Hengky merasa malu. Dia pun langsung melompat ke belakang dan memeluk pinggang Hengky.

“Lepasin.”

“Nggak mau. Aku nggak mau lepas sampai kamu janji mau tidur bareng aku.”

“Winda, kamu masih mau bikin aku malu kayak gimana lagi? Kamu mau bawa-bawa urusan ranjang?”

“Aku ….”

Winda sampai terheran-heran apa dia salah bicara lagi sampai Hengky bereaksi seperti itu. Terbakar amarah, Hengky pun melepaskan tangan Winda darinya dan langsung keluar. Winda yang masih terdiam kaku di tempatnya sama sekali tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Sorot matanya yang semula bercahaya seketika memadam.

Winda merasa sedih ketika melihat botol minyak yang masih berada di mejanya. Dilihat dari kelakuan Hengky malam ini, Winda pikir Hengky masih sayang dan peduli padanya. Namun setelah dipikirkan kembali, sepertinya Winda yang terlalu percaya diri. Apakah Hengky sama sekali tidak menyukainya? Mungkinkah adegan di mana Hengky berlari menembus kobaran api itu hanyalah khayalan Winda sesat sebelum dia meninggal? Perasaan sedih yang dia rasakan hanya terus menguat seiring dia memikirkannya. Akhirnya dia pun hanya membenamkan kepala ke bantal Hengky dan tertidur sambil meneteskan air mata.

Keesokan harinya, Winda terbangun dengan kondisi mata merah membengkak seperti buah persik. Dia langsung melihat sekeliling, tapi sayangnya tidak ada tanda-tanda Hengky di sana. Bahkan ranjang di sebelahnya juga terasa dingin. Winda tidak mengira ternyata Hengky sebenci itu padanya. Dia bahkan tidak pulang hanya karena tidak ingin tidur bersama istrinya.

Winda pun kembali ke kamar tidurnya dan masuk ke kamar mandi. Betapa terkejutnya dia ketika melihat pantulan dirinya di cermin. Wajahnya pucat pasi seolah tidak ada darah yang mengalir di wajahnya. Matanya juga bengkak serta ada kantong mata yang hitam pekat seperti orang sakit parah. Dia pun segera membasuh wajah dan turun ke bawah.

“Eh, Non Winda sudah bangun,” sapa Bi Citra sambil menyajikan sarapan. Dia langsung kaget ketika melihat kondisi wajah Winda, “Non Winda kenapa? Sakit? Waduh, badannya hangat pula, harus makan obat, nih.”

Namun, Winda hanya menggelengkan kepalanya dengan lemas dan bertanya, “Kemarin malam Hengky pulang ke rumah?”

Bi Citra menggelengkan kepalanya, dan seketika itu dia berkata, “Biar saya kasih tahu Den Hengky dulu.”

“Sudahlah, Bi Citra. Dia juga pasti nggak mau tahu.”

“Non Winda ….”

Winda hanya tersenyum masam dan langsung kembali ke kamarnya.

Saat itu Hengky sedang menghadiri rapat di kantornya. Suasana di ruang rapat tersebut terasa sangat menyesakkan, dan semua orang yang ada di sana bisa melihat suasana hati bos mereka sedang sangat tidak baik. Tiba-tiba ponsel Hengky berdering. Ketika melihat panggilan itu berasal dari nomor telepon rumahnya, dia langsung menghentikan rapat untuk sementara waktu. Dia pergi ke ruang sebelah untuk mengangkatnya.

“Ada apa, Bi Citra?”

“Gawat, Den Hengky … Non Winda sakit.”

“Kenapa bisa?”

“Kayaknya, sih, masuk angin. Badannya panas. Matanya Non Winda juga bengkak kayak habis nangis.”

“Ya sudah, nanti aku minta tolong Willy buat datang ke sana. Jangan kasih tahu Winda, bilang saja Bi Citra yang telepon ke Willy langsung.”

“Den Hengky nggak pulang buat jengukin Non Winda?”

Percakapan antara mereka berdua sempat terhenti sejenak, sebelum akhirnya Hengky menolak pertanyaan Bi Citra dengan ketus. Tak lama kemudian, Willy pun tiba di rumahnya Hengky.

“Non Winda, Den Willy datang, nih,” ujar Bi Citra sambil mengetuk pintu kamar Winda.

Winda yang sedang masih setengah tertidur spontan terbangun mendengar ketukan pintu itu. Dia segera mengenakan pakaian dan membuka pintu.

“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Winda terkejut melihat kedatangan Willy.

Willy tak sanggup menahan tawanya ketika melihat wajah dan kedua mata Winda yang bengkak, “Kamu habis dipukulin sama Hengky, ya?”

“..., nggak lucu.”

“Aku cuma nggak habis pikir saja kamu bisa nangis kayak begini gara-gara Hengky.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status