Share

Bab 18

Semakin Winda dengar, hatinya semakin sesak. Tadi Yuna sudah sengaja menantangnya dengan sengaja mendekatkan diri pada Hengky. Dia ingin menunjukkan bahwa mereka berdua adalah pasangan, sedangkan Yuna adalah pihak luar.

Perempuan itu sengaja memberi tahu Winda bahwa dialah pemilik Hengky. Dia ingin mendapatkan pengakuan dari Hengky, tetapi ternyata lelaki itu justru tidak ingin mengakui hubungan mereka. Kalau bukan karena khawatir Hengky marah besar, Winda ingin sekali langsung mengatakan bahwa dia adalah istrinya lelaki itu!

Julia yang menyadari ekspresi Winda yang semakin keruh merasa sedikit curiga. Dengan perlahan dia berkata, “Tapi yang aku dengar katanya Hengky sudah menikah. Hanya saja nggak tahu kebenarannya berapa persen. Nggak pernah ada yang lihat istrinya seperti apa, dia juga nggak pernah mempublikasikannya ke publik. Makanya ….”

Perempuan itu menahan kalimatnya dan mengangkat kedua bahunya sambil melanjutkan, “Yang penting kamu tahu saja, jangan sembarangan bersikap. Kalau sampai ada gosip yang aneh-aneh dan dia konfirmasi sudah menikah, yang celaka adalah kamu!”

“Pokoknya orang seperti Hengky ini bukan orang yang bisa kita gapai. Menurutku Yuna juga sembarangan ngomong saja.” Mereka berdua berjalan bersisian menuju tempat parkir. Dan selama itu, ucapan Julia tidak berhenti satu detik pun.

“Pokoknya kamu sama dia-“

“Kak Julia,” potong Winda yang tiba-tiba berhenti.

“Kak Julia bisa cari tahu malam ini Hengky datang ke acara apa?”

Julia menoleh ke arahnya dan bertanya, “Untuk apa kamu nanya ini?”

“Aku ….”

Baru saja Winda hendak menjawab, dia mendengar sebuah suara klakson dari arah depannya. Sebuah mobil berwarna silver berhenti di tepi jalan. Kaca jendelanya bergerak turun dan wajah Martin menyembul dari sana.

“Halo, kita bertemu lagi!” sapa Matin sambil mengangkat kedua alisnya. Senyum lebar terukir di bibir lelaki itu.

“Kamu mau ke mana? Mau aku antar?”

Winda melirik ke arah Martin sekilas dan mengangkat sebelah alisnya merasa aneh. Kenapa orang ini sok kenal sekali? Winda menilai pakaian lelaki itu dan tersenyum sambil menolak lelaki itu.

“Nggak perlu repot-repot, Pak Martin. Saya naik mobil manajer saya saja.”

Martin baru menyadari kehadiran Julia di sana. Dia tersenyum pada Julia dan menyapanya, tetapi tidak ada niat untuk pergi dari sana sama sekali. Dalam hati Winda merasa sedikit aneh, entah kenapa dia merasa Martin bukan seperti orang yang hanya kebetulan lewat.

Dia berpikir sejenak dan bertanya, “Ada hal lain yang bisa dibantu lagi, Pak Martin?”

“Sejujurnya malam ini aku mau menghadiri sebuah acara. Aku sedang bingung mencari pasangan untuk datang ke acara itu.” Lelaki itu memasang ekspresi kebingungan.

“Kalau Bu Winda nggak keberatan untuk menemani aku, berarti Bu Winda sudah membantu saya.”

Winda ingin langsung menolaknya, tetapi detik selanjutnya dia menyadari sesuatu. Apakah acara yang akan dihadiri oleh Martin sama dengan Hengky?

Martin tersenyum sambil melihat ke arah Winda. Antara dia tahu apa yang dipikirkan oleh Winda atau hanya kebetulan saja, Martin berkata, “Sejujurnya aku juga nggak gitu suka acara seperti ini. Aku pergi karena lihat nama Pak Hengky dalam daftar tamu. Soalnya kebetulan keluargaku ada sebuah bisnis yang mau bekerja sama dengan dia.”

Dia dan Martin baru kenal satu jam yang lalu. Kenapa lelaki itu mau memberi tahu hal ini padanya?

“Pak Martin, sepertinya kita baru saling kenal satu jam yang lalu. Kenapa Pak Martin mengajak saya?” tanya Winda yang merasa sangat aneh.

Martin hanya menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal dan dengan mata berbinar berkata, “Terlalu nggak sopan, ya?”

Winda hanya diam saja. Melihat perempuan itu yang tidak menjawab membuat Martin tampak sedikit kecewa. Satu detik kemudian dia tersenyum pada Winda dan berkata, “Kalau Bu Winda nggak bersedia, aku juga nggak akan paksa.”

“Nggak, aku bersedia,” jawab Winda sambil tersenyum tipis.

Dia baru saja bingung karena tidak tahu bagaimana cara menemui Hengky. Akan tetapi tiba-tiba Martin muncul dan menawarkannya kesempatan emas. Meski maksud Martin masih tidak jelas, setidaknya Winda merasa lelaki itu tidak seperti orang jahat. Apalagi Julia juga mengetahui hal ini, seharusnya tidak akan terjadi sesuatu yang buruk.

Julia langsung menarik tangan Winda ketika mendengar jawaban perempuan itu. Dengan suara berbisik dia berkata, “Kenapa kamu setuju? Gimana kalau ada yang fotoin kalian?”

“Tenang saja, Kak Julia. Aku tahu batasan,” ujar Winda. Dia langsung masuk mobil tanpa menunggu balasan Julia lagi.

“Kak Julia tenang saja, aku bakalan antar Kak Winda pulang ke rumah dengan selamat,” ujar Martin sambil menyunggingkan senyum tipis.

Mata Julia memancarkan kekhawatiran. Akan tetapi Martin sudah menutup jendela dan melajukan mobilnya dengan cepat.

Kak Winda? Winda melirik Martin tanpa berbicara karena tidak tahu harus berkata apa.

“Aku merasa panggilan ‘Ibu’ terlalu kaku. Kebetulan kamu lebih tua dua tahun dibandingkan aku, makanya aku putuskan panggil kamu ‘Kakak’ saja. Kamu nggak keberatan, kan?” tanya Martin sambil tersenyum lebar tanpa rasa berdosa.

Meski sikapnya terlalu sok kenal dan terkesan menggampangkan, setidaknya dia tidak membuat orang lain menyebalkan sikapnya. Ucapan lelaki itu membuat Winda tidak bisa berbuat apa-apa lagi/

Mobil mereka melaju hingga masuk dalam kawasan pegunungan. Langit perlahan berubah gelap, tetapi mereka baru melewati setengah perjalanan. Beberapa saat kemudian hujan mulai turun dan menabrak kaca mobil Martin.

Saat mereka tiba di tempat, langit sudah berubah gelap sepenuhnya. Mereka datang ke sebuah vila pribadi yang terletak di kaki gunung. Lingkungan di sekitarnya sangat asri dan indah sekali. Vila tersebut dikelilingi lampu-lampu dan terdengar alunan musik dari dalam sana.

Setelah mobilnya berhenti, dua orang petugas memberikan payung padanya. Martin menerima payung tersebut dan menjemput Winda dari dalam mobil. Ketika dia hendak masuk ke dalam, langkah Martin tiba-tiba berhenti.

“Ponsel dan undanganku ketinggalan di mobil. Aku ambil sebentar,” kata Martin.

Tanpa berpikir panjang Winda mengangguk dan melanjutkan langkahnya untuk masuk. Di depan pintu dia ditahan oleh petugas di sana.

“Ibu, tolong tunjukkan undangannya,” ujar seorang perempuan yang mengenakan jas padanya.

“Saya datang dengan Pak Martin. Dia lagi ambil barang dan akan datang sebentar lagi,” ujar Winda menjelaskan. Setelah itu dia mencoba masuk dan ditahan oleh petugas perempuan itu lagi.

Petugas tersebut memandang Winda penuh penilaian dan sorot matanya berubah tajam.

“Ibu, Ibu nggak boleh masuk kalau nggak ada undangan. Di dalam sana semuanya tamu penting, kalau Ibu menyinggung satu di antara mereka, saya nggak sanggup tanggung akibatnya. Karena Ibu bilang ada yang menemani Ibu datang, mohon tunggu orang tersebut dulu untuk masuk.”

Winda merasa kesal ketika mendengar nada bicara petugas tersebut. Apakah mereka pikir Winda sengaja datang untuk mencari mangsa laki-laki kaya?

“Aku nggak-“ Ucapan Winda terhenti ketika matanya menangkap sosok Hengky. Lelaki itu berdiri di antara kumpulan tamu yang lain dan sedang berbincang dengan orang sekitar. Sedangkan Yuna tampak berdiri di sisinya dengan patuh. Kedua orang itu mirip seperti sepasang kekasih.

Winda melihat dirinya sendiri yang bahkan tidak bisa masuk ke dalam sana. Rasa sesak mendadak menyerangnya lagi dengan hebat. Mungkin karena tatapan Winda yang terlalu tajam, Hengky yang ada di dalam sana merasakan sesuatu. Dia menoleh ke arah Winda!

Di antara para tamu yang lain, mereka berdua saling bertatapan dan berbicara melalui mata mereka. Kening Hengky seketika berlipat. Kenapa Winda ada di sini?

“Hengky? Pak Yanto sedang bicara dengan kamu,” kata Yuna sambil berbisik. Hengky langsung menarik pandangannya dan berbicara dengan lelaki di sebelahnya.

Yuna menoleh ke arah pandang Hengky tadi dan dia menemukan sosok Winda. Sudut bibirnya seketika terangkat ke atas. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status