Share

Bab 6

“Dengar-dengar si Winda ini memang kurang bagus kelakuannya. Sebelumnya dia banyak bertingkah cuma demi seorang cowok. James sampai kecewa banget sama Winda, makanya James punya anak baru. Pesta ulang tahun ini juga sebenarnya buat membekali anak tirinya.”

“Ckckck, ternyata si Winda orangnya kayak begitu. Pantas saja dia tega nyakitin mama tirinya. Mungkin Pak James dari awal sudah tahu kelakuan anaknya begitu, makanya dia cari anak baru.”

Kritikan demi kritikan terus masuk ke telinga Winda, tapi Winda tidak menunjukkan ekspresi apa pun di wajahnya. Di mata orang lain terlihat seperti dia pasrah menerima semua kritikan itu. Alhasil, Luna pun merasa bangga pada dirinya sendiri merasa telah menang dari Winda. Mulai malam ini, hanya akan ada satu anak perempuan, yaitu Luna! Reputasi Winda akan hancur dan tidak dianggap lagi oleh keluarganya.

“Kakak sungguh mengecewakan. Kenapa Kakak sekejam itu?” tanya Luna sambil menaruh tangan di depan mulut untuk menutupi senyum liciknya.

“Kejam?” Winda yang dari tadi terdiam akhirnya membuka suara dan menatap wajah adik tirinya, “Sebenarnya siapa yang kejam? Kamu atau aku? Mama kamu bukannya keguguran? Kenapa kamu nggak langsung panggil ambulans, tapi malah sibuk nuduh aku yang salah? Apa perlu aku beberin apa tujuan kamu sebenarnya?”

“Jadi, Kakak ngaku kalau Kakak yang dorong Mama dari tangga?”

“Aku nggak bilang begitu,” kata Winda, lalu dia beralih ke Clara yang sudah pucat pasi dan berkata sambil tersenyum sinis, “Tenang saja. Anak kamu lupa panggilin ambulans kemari, jadi biar aku saja yang panggilin.

“Nggak perlu, biar aku saja yang panggil. Kakak nggak perlu repot-repot.”

Luna tampak begitu waswas khawatir Winda memiliki siasat tersembunyi yang berpotensi merugikan mereka.

“Kok, kamu panik begitu? Sudah nggak apa-apa, biar aku saja,” ujar Winda seraya mengeluarkan ponsel dan menghubungi nomor ambulans.

Seketika itu pun Luna merasa ada firasat buruk yang mengintainya. Tanpa disadari, dia langsung mengulurkan tangannya untuk menghentikan Winda.

“Kondisi Mama sekarang sudah kayak begini, Kakak mau apa lagi? Kalau Kakak masih belum puas juga, tunggu sampai di rumah nanti baru Kakak marahin aku juga nggak apa-apa. Tapi sekarang tolong jangan bikin masalahnya tambah runyam lagi, kasihan Papa,” kata Luna seraya menatap kedua orang tuanya dengan raut wajah bersedih. Sandiwara Luna yang sangat meyakinkan ini membuatnya mendapat dukungan dari banyak orang.

“Wah, aku baru tahu anak tirinya Pak James ternyata baik banget. Pantas saja dia begitu disayang.”

“Iya, si Winda juga keterlaluan. Di acara begini bisa-bisanya dia malah bikin masalah. Jangan-jangan dia sengaja mau bikin papanya malu?”

Mendengar itu, James jadi semakin murka dan berkata kepada Winda, “Cepat minta maaf sama mama kamu!”

Akan tetapi, Winda tidak sedikit pun memedulikan ucapan ayahnya. Dia kembali menoleh ke layar ponselnya yang kini sudah tersambung dengan pelayanan darurat.

“Halo, tolong kemari sekarang juga,” ujar Winda di telepon.

“Winda! Sebenarnya apa mau kamu?” tanya James.

“Aku cuma mau Papa sadar kayak gimana sifat asli dua orang yang Papa sayang ini. Atau … Papa mau selamanya ditipu sama mereka?”

“Apa maksud kamu?”

“Sebentar lagi juga Papa bakal ngerti apa maksudku.”

Perlahan-lahan rasa takut mulai mengisi hati Luna. Serangkaian kejadian ini tidak berjalan sesuai rencana. Seakan bukan Winda yang terjerat dalam perangkap mereka, melainkan merekalah yang masuk ke dalam perangkap Winda. Tidak! Luna tidak bisa membiarkan hal ini terus berlangsung, dia harus memikirkan cara untuk menghentikan semua ini!

“Pa, kita antar Mama ke rumah sakit dulu, ya?” ujar Luna.

Clara juga berlagak seperti mau pingsan di dalam dekapan Luna. James yang tidak kuat melihat Clara bersimbah darah mau tidak mau harus menahan amarahnya terlebih dahulu.

Tiba-tiba pintu aula terbuka lebar dan masuklah seorang pria paruh baya yang mengenakan jubah putih. Kedua mata pria itu berbinar ketika melihat ada bercak darah di gaun Clara. Semua itu terjadi begitu cepat, tapi tetap tak luput dari pengawasan James. Lantas, James pun menoleh ke wajah Clara dengan tatapan matanya yang tajam.

“Dokter Joe? Kok, Dokter bisa ada disini?” tanya Luna terkejut.

“Aku yang minta dia datang,” jawab Winda. “Papa kenal sama Dokter Joe, ‘kan? Dia yang menangani Mama dari awal masa kehamilan. Setiap kali ke rumah sakit untuk pemeriksaan, pasti Dokter Joe yang pegang. Papa boleh nggak percaya sama aku, tapi Papa pasti percaya sama Dokter Joe, ‘kan?”

Akhirnya James merasa ada sesuatu yang janggal dan bertanya, “Sebenarnya apa yang mau kamu sampaikan?”

“Dokter yang paling tahu soal kondisi mamaku. Aku harap Dokter bisa jelasin kondisinya sekarang sejujur-jujurnya,” kata Winda.

Joe pun mengeluarkan selembar laporan pemeriksaan dan menyerahkannya kepada James. Luna panik setengah mati ketika melihat laporan itu diberikan kepada ayahnya dan muncul dorongan sesaat untuk merebut dan merobek-robek laporan itu hingga tak bersisa. Hanya dia dan Clara yang tahu bahwa surat itu tidak boleh sampai diketahui oleh James.

“Pa! Pendarahan Mama sudah parah begini, mending sekarang kita ke rumah sakit secepatnya!”

“Dia nggak hamil. Dan jatuh dari tangga seharusnya nggak mengalami pendarahan sebanyak itu,” kata Winda.

Ucapan Winda bagaikan sambaran petir yang membuat seisi aula terkejut. Perhatian semua orang langsung tertuju ke Joe dengan harapan dapat menyaksikan sebuah drama menarik.

“Benar apa yang tadi Winda bilang. Bu Clara nggak hamil. Sewaktu muda dia sudah keguguran terlalu sering, jadi janinnya sudah lemah dan susah untuk hamil lagi. Apalagi di usianya yang sudah cukup tua, nggak mungkin dia hamil!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status