Share

Bab 5

Ditatap seperti itu oleh Winda membuat Luna merinding dan merasa tidak aman seolah Winda mengetahui sesuatu. Bahkan Luna sampai berpikir untuk mencegah ibunya diantar ke ruang ganti oleh Winda.

Aula ini memiliki dua lantai. Kamar rias dan ruang istirahat berada di lantai atas yang bisa diakses dengan menaiki tangga spiral. Dari lantai atas Winda memantau acara yang berlangsung di bawah. Dia merasa sedikit kecewa karena tidak menemukan Hengky di antara para tamu. Sepertinya Hengky tidak akan datang untuk hari ini. Akan tetapi ….

Dari sudut matanya Winda bisa melihat Clara. Meski dari luar sekilas masih terlihat tenang, ekspresi di wajah Clara menunjukkan sebaliknya. Meski begitu, Winda tidak begitu peduli dan hanya fokus mengantar Clara ke ruang istirahat.

Guna mempermudah mereka dalam menjaga Clara yang sedang hamil, keluarga Atmaja membawa kedua pelayan mereka di rumah kemari. Seketika melihat Winda dan Clara masuk, mereka pu langsung membawakan pakaian ganti untuknya.

“Aku sudah selesai ganti baju. Winda, ayo kita turun?” tanya Clara seraya berniat menggenggam tangan Winda. Namun, Winda langsung menarik tangannya dan keluar dari ruang ganti begitu saja tanpa menunggu Clara. Clara pun segera mengikuti Winda dan berkata, “Winda, yang tadi pagi jangan dimasukkin ke hati, ya. Gimanapun juga kita ini kan satu keluarga.”

Mendengar itu, Winda langsung menghentikan langkahnya dan menatap balik kedua mata Clara dengan ekspresi yang aneh. Melihat Winda berhenti, sikap Clara pun langsung berubah 180 derajat menjadi angkuh. Dia memegangi perutnya dan berkata, “Mama kamu sudah lama nggak ada, dan perhatian papa kamu sekarang terfokus ke anak yang ada di perutku sekarang. Kalaupun kamu kesal sama aku, kamu cuma bisa menahan diri.”

Kematian ibu kandung Winda selalu menjadi topik yang sensitif, dan Clara pandai memanfaatkan itu untuk memancing emosi Winda.

“Coba ngomong sekali lagi!” bentak Winda.

Kali ini Clara tidak lagi berpura-pura baik kepada Winda, dia dengan lantangnya menantang, “Memangnya kamu bakal ngapain kalau aku ngomong itu sekali lagi? Mama kamu memang hidupnya pendek, punya latar belakang keluarga yang bagus juga buat apa? Papa kamu sama sekali nggak suka sama dia, makanya papa kamu diam saja ngelihat mama kamu menderita!”

Winda mengepalkan tangannya dengan erat berusaha menahan kebencian yang dia rasakan. Dia terus menerus mengingatkan dirinya kalau ini hanyalah perangkap.

“Mau kamu ngelahirin anak cowok buat papaku, tetap saja selamanya kamu itu cuma simpanan!” sindir Winda.

Setelah itu dia pun langsung turun ke bawah meninggalkan Clara yang tercengang mendengar perkataannya. Dengan temperamen yang Winda miliki, seharusnya dia akan langsung main tangan ketika mendengar ibunya dihina. Lantas, mengapa situasinya sekarang berbeda dengan apa yang Clara prediksi? Tidak! Clara tidak bisa menunggu lebih lama lagi ….

Clara pun memejamkan matanya dan hendak menjatuhkan dirinya ke tangga ketika Winda baru saja menuruni tangga. Di saat itu pula kedua pelayan yang tadi membawakan baju ganti menjerit, “Waduh, Non Winda ngedorong Bu Clara sampai jatuh dari tangga!”

Kondisi aula yang semula ramai seketika langsung hening menyaksikan apa yang terjadi di depan mata mereka. Clara terkapar di lantai dengan tubuh berlumuran darah. Dia juga memegangi perutnya sambil menjerit kesakitan, “Anakku! Tolong anakku!”

Luna langsung berlari memeluk ibunya dan menuduh Winda yang masih berdiri di atas tangga, “Kakak kenapa dorong Mama sampai jatuh? Apa Kaka begitu nggak relanya punya adik laki-laki?”

Semua orang langsung menyadari apa yang telah terjadi begitu mendengar tuduhan Luna, dan mereka pun cukup terkejut akan hal itu. Hal semacam ini sudah sering terjadi dalam lingkungan pergaulan mereka, tapi hanya Winda seorang yang berani terang-terangan mendorong ibu tirinya dari tangga di hadapan banyak orang. Sontak, mereka langsung mengerumuni tempat kejadian perkara karena tidak ingin melewatkan gosip hangat.

Selagi Winda perlahan berjalan menghampiri Luna, James juga mendatangi mereka berdua dan bersiap menampar wajah Winda.

“Dasar anak sial*n, beraninya kamu-!”

Dengan sigap Winda menangkap tangan James dan berkata padanya, “Papa langsung nyalahin aku sebelum tahu duduk perkaranya dengan jelas?”

Sorot kedua bola mata Winda begitu jernih seolah tidak merasa bersalah ataupun takut.

“Mau alasan apa lagi kamu? Memangnya Clara bakal guling-guling sendiri cuma demi ngejebak kamu?” tanya James.

“Kenapa nggak mungkin? Dia kan orangnya ….”

“Kak, gimanapun juga anak yang ada di perut mama adik Kakak sendiri. Dia nggak bersalah! Kok, Kakak tega nyakitin dia?” sela Luna.”Aku tahu Kakak benci sama aku karena merasa aku ngerebut Papa dari Kakak, dan takut nanti rebutan warisan kalau adik kita sudah lahir. Tapi dari dulu aku nggak pernah niat untuk itu. Kalau nggak percaya, aku bisa bikin surat untuk angkat kaki dari keluarga ini sekarang juga.”

“Kamu punya bukti apa yang yang dorong dia dari tangga?” tanya Winda, tanpa ada rasa panik sedikit pun.

Sikap Winda yang begitu tenang justru membuat Luna jadi makin gentar. Kegelisahan yang dia rasakan makin menjadi dan dia Luna pun segera memberi isyarat kepada pelayannya.

“Aku saksinya!” seru salah satu pelayan sambil menunjuk Winda, “Tadi aku lihat sendiri Non winda mendorong Bu Clara dari tangga! Non Winda juga bilang kalau anak yang Bu Clara kandung itu anak setan yang bakal ngerebut hartanya nanti! Padahal selama ini Bu Clara selalu menganggap Non Winda kayak anak sendiri. Apalagi Bu Clara sudah hamil tiga bulan, tapi Non Winda tega mendorong Bu Clara sampai jatuh!”

Pengakuan dari si pelayan semakin memperkuat tuduhan bahwa Winda-lah yang mendorong Clara, dan juga sekaligus mengonfirmasi apa yang tadi dikatakan oleh Luna. Spontan, semua orang langsung melirik Winda dengan tatapan penuh rasa kebencian dan hina yang bercampur aduk menjadi satu.

“Aku nggak nyangka ternyata Winda sejahat itu. Teganya dia nyakitin adiknya yang belum lahir!”

“Kejam banget! Padahal tampangnya cantik, tapi aku nggak ngira ternyata dia sadis.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status