Aku tak peduli mereka menganggapku tak berperasaan.
"Dasar menantu kurang ajar! Wanita tidak tahu diri!" ibu balas membentakku.
"Yang kurang ajar dan gak tahu diri itu anakmu, Bu! Tega-teganya dia berselingkuh bahkan dengan keponakan istrinya sendiri!"
Mas Rizki hanya diam, dia terlihat marah namun tak dapat mengungkapkannya.
"Kamu juga, Key, kemasi barang-barangmu! Tante beri waktu 10 menit, kalau tidak tante yang akan melemparkan baju-bajumu ke jalanan!" hardikku lagi.
Keysha menatapku dengan tatapan tidak suka. Ia kemudian pergi berjingkat ke kamarnya.
"Dek, tolonglah jangan seperti ini. Kita masih bisa bicarakan baik-baik," tukas Mas Rizki dengan tatapan menghiba.
"Sudahlah Rizki, buat apa kamu memelas seperti itu! Baguslah kalau kamu lepas dari wanita licik ini! Lagipula kamu juga bukan wanita yang sempurna! Kamu tidak bisa memberikan keturunan untuk Rizki! Biarkan Rizki memilih jalannya sendiri!" pungkas Ibu mertuaku.
Luka sayatan di hatiku bertambah menganga karena ungkapan ibu. Seorang ibu yang seharusnya menjadi penengah ketika ada masalah dalam rumah tangga kami, justru makin memperkeruhnya.
"Kamu yakin dek, mau pisah dari aku? Kamu yakin, bisa hidup tanpa aku?" tanya Mas Rizki seakan tak percaya dengan keputusanku.
"Aku yakin mas, meskipun hatiku sakit, tapi keputusanku takkan berubah, lebih baik aku mundur, mas. Silahkan kau menikah dengan Keysha, dan semoga kebahagiaanmu bisa terwujud."
"Tapi, dek... Kamu kan tidak bekerja? Bagaimana kamu bisa menghidupi dirimu sendiri? Selama ini aku yang selalu memberikan uang gajiku padamu. Apa kamu tidak menyesal berpisah denganku?" tanya Mas Rizki.
Hah, lucu sekali kau ini mas? Apa kau ini terlalu sombong? Mentang-mentang jabatanmu tinggi, seorang manager? Jadi memandang rendah aku yang hanya seorang ibu rumah tangga?
"Insyaallah Allah akan membantuku, mas. Kamu gak usah khawatir," lanjutku lagi.
Kau belum tahu saja mas, apa yang aku lakukan selama ini. Kamu itu terlalu merendahkanku sebagai seorang wanita. Dikira aku tak mampu untuk berusaha? Kamu salah besar mas. Bukan aku yang akan menyesal, tapi justru aku yang akan membuat hidupmu menyesal.
"Tante...." panggil Keysha. Dia sudah menenteng tas berisi pakaiannya, wajahnya terlihat sendu seperti enggan untuk meninggalkan rumah ini.
"Tolong maafin Key, Tan..." ujarnya. "Bolehkan kalau Keysha bilang ini? Key mencintai Om Rizki. Maafin Key, tante..."
Aku hanya tersenyum kecut. Aku tak pernah menyangka, gadis selugu kamu bisa setega ini sama tantemu sendiri. Padahal, almarhumah ibumu sangat baik pada tante. Ah sudahlah! Biarlah aku mengalah, tapi bukan berarti aku kalah. Aku hanya tidak mau bertahan dengan seorang pengkhianat. Aku tidak mau dimadu. Lebih baik aku yang mundur dari pada harus menelan pil sakit hati.
Mereka bertiga pergi meninggalkan rumah ini. Aku benar-benar sendirian sekarang. Benarkah keputusan yang kuambil sudah tepat?
Segera kututup pintu rumah. Hatiku tersayat begitu perih melihat Mas Rizki merangkul Keysha. Bahkan tidak segan-segan di hadapan ibunya. Keysha pun nampak menggelayut manja di lengannya. Aku benar-benar dikhianati.
***
Aku membereskan kamar Keysha mencari tahu apakah ada barangnya yang tertinggal di kamar?
Deg!
Ketemukan bungkus alat tes kehamilan yang sudah terpakai. Namun tak ada isinya. Tenggorokanku makin tercekat. Kelu. Mereka benar-benar sudah sejauh ini? Apakah Keysha benar-benar hamil?Air mataku meleleh lagi, bahkan mereka sudah pergi, tapi kenapa rasa sakitnya masih tertinggal disini?
***
Kubasuh wajahku dan kembali memoles make up tipis-tipis, setidaknya agar sembabku tak begitu kentara. Kupandangi wajahku di depan kaca rias. Apakah wajah ini sudah terlihat tak menarik? Makanya Mas Rizki berpaling dariku?
Kuembuskan nafas dalam-dalam, mencoba mengurangi penat yang ada.
Aku segera memesan taksi online, dan menuju ke rumah Mirna, sahabatku. Dia juga pernah mengalami hal yang sama seperti ini. Dikhianati oleh sang suami. Padahal dia wanita yang sempurna. Diapun sudah memberikan dua anak yang lucu-lucu. Entahlah bagaimana dia bisa bertahan. Justru sekarang dia bisa hidup mandiri dengan usahanya.
"Nadia, kamu kenapa?" tanya Mirna dengan tatapan cemas.
"Mas Rizki mengkhianatiku, Mir," sahutku terisak.
"Astaghfirullah. Sama siapa, Nad?"
"Keponakanku sendiri,"
"Maksudmu Keysha? Gadis cantik itu? Anaknya almarhumah Mbak Niah?"
Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaan Mirna. Hatiku rasanya ngilu.
"Astaghfirullah hal'adzim. Kenapa mereka tega menusukmu dari belakang sih! Keterlaluan!" gerutunya lagi. Dia memelukku. Ya, saat ini aku memang butuh sandaran.
"Aku akan selalu dukung keputusanmu, Nad. Jangan menyerah ya, kamu harus tetap semangat!" ujar Mirna lagi memberiku semangat.
"Mas Rizki mau menikahi Keysha, tapi dia gak mau menceraikanku, Mir."
"Dasar laki-laki tidak tahu diri. Aku tahu perasaanmu, Nad. Aku juga pernah merasakan hal yang sama. Tapi lebih baik, kau relakan saja mereka menikah, paling-paling hanya bisa nikah siri, tidak bisa nikah secara hukum negara karena tidak ada izin dari istri pertama," terang Mirna lagi.
"Ada yang membuatku lebih sakit dari sekedar itu, Mirna. Kemungkinan Keysha hamil, aku menemukan bungkus testpack di kamarnya."
"Astaghfirullah hal'adzim, mereka memang sudah benar-benar keterlaluan. Kau gugat cerai saja, Nad. Biar cepat lepas dari baj*ngan itu!"
Aku mengangguk. Aku juga sudah tidak sudi untuk jadi istrinya lagi. Hatiku terlalu sakit. Aku tak pernah menyangka, mereka tega mengkhianatiku. Keponakan yang aku sayangi, menjadi duri dalam rumah tanggaku. Pun suamiku, suami yang dulunya lembut padaku justru berkhianat menorehkan luka yang begitu dalam.
"Bagaimana kalau kamu ikut mengelola Butik Kinita?" tukas Mirna menghenyakkanku pikiranku. Aku menoleh memandang paras wajah sahabatku itu. Ia nampak sumringah meskipun pernah patah hati. Mungkin aku perlu mencontoh semangatnya.
"Tidak usah Mir, itu kan butik kamu."
"Tapi kamu juga punya andil dalam berdirinya butik itu. Kalau saja tidak ada tambahan uang modal dari kamu, mungkin Butik Kinita tidak bisa berdiri," ujar Mirna lagi.
"Itu usaha kamu, Mirna. Insyaallah aku akan berwirausaha sendiri. Aku masih punya uang tabungan dari bagi hasil yang kamu berikan," jawabku.
Dia hanya mengangguk sembari berusaha untuk menguatkan. "Baiklah, kalau itu keputusanmu. Aku akan selalu mendukungnya."
Dulu, aku memang memberikannya modal tambahan, karena saat itu Mirna sedang kesulitan keuangan. Pasca perceraiannya, sang suamipun angkat tangan tak pernah memberi anak-anaknya nafkah. Aku tidak tega, akhirnya kuberikan sebagian tabunganku padanya.
Tidak hanya itu, setiap bulannya aku mendapatkan 30% dari penghasilan bersih yang ia terima, sedangkan dia mendapatkan 70% karena Mirna yang mengelolanya sendiri serta dia banyak kebutuhan untuk menghidupi anak-anaknya. Aku sudah bilang tidak usah, aku ikhlas membantunya, tapi dia tetap saja memberiku uang bagi hasil. Dan selama ini uang itu kutabung tanpa sepengetahuan Mas Rizki.
Selama menikah dengan Mas Rizki, dia selalu mencukupi kebutuhanku. Aku sama sekali tidak kekurangan. Pola hidupku sederhana, membeli ketika butuh bukan karena keinginan atau gengsi. Justru sering kali aku kelebihan uang belanja, dan itu aku tabung juga, untuk dana yang tak terduga.
Mas Rizki tak pernah mengungkit-ungkit apakah uang belanja itu lebih atau kurang. Setiap bulannya Mas Rizki selalu memberiku 5 juta rupiah untuk uang dapur dan kebutuhanku. Sedangkan uang kuliah Keysha, listrik dan air dia yang membayarkannya, serta jatah uang untuk ibu dan uang pegangannya sendiri.
Kalau ditotal mungkin gaji Mas Rizki diatas 10 juta rupiah, dia tak pernah transparan mengenai gajinya. Jatahku hanya 5 juta, cukup atau tidak Mas Rizki tidak peduli, yang penting ada lauk di meja makan.
Bagiku yang masih belum punya anak, uang segitu lebih dari cukup untuk makan satu keluarga, aku, Mas Rizki dan Keysha. Selebihnya aku tabung di rekeningku sendiri. Untungnya Mas Rizki pun tak pernah tahu dan mengungkit ada berapa uang tabunganku.
Makanya tadi, dengan congkaknya dia mengatakan apakah aku bisa hidup tanpa dia? Secara selama ini dia yang menghidupiku. Dia pula yang memenuhi semua kebutuhanku. Oke, sepertinya mulai saat ini aku harus bangkit. Bangkit dengan kelebihan yang kumiliki. Akan kubuktikan pada Mas Rizki, bahwa akupun bisa hidup tanpamu.
Aku beranjak bangkit, setelah mencurahkan isi hatiku pada sahabatku itu, rasanya hatiku sedikit lega. Aku juga jadi punya semangat untuk menjalani hari-hariku.
"Aku pamit pulang ya Mir, terima kasih sudah menjadi teman curhatku."
"Iya, Nad. Kamu yang sabar ya dan harus tetap semangat!"
"Makasih, Mir,"
"Hati-hati dijalan ya, Nad," ujar Mirna lagi.
"Assalamualaikum,"
"Waalaikum salam."
***
Sesampainya di rumah aku lihat ada seorang pemuda seumuran Keysha sedang berdiri dengan gelisah. Ia nampak berjalan mondar-mandir di depan teras.
"Maaf mas, cari siapa ya?" tanyaku.
Ia nampak kaget dengan kedatanganku, lalu diapun tersenyum.
"Oh mbak, maaf, aku cari Keysha, apa Keysha'nya ada? Keysha tinggal disini, kan?" tanyanya dengan senyum seakan dipaksakan.
"Keysha'nya sudah gak tinggal disini lagi. Memangnya mas ini siapa?"
"Aku teman kuliahnya, mbak,"
"Teman apa teman? Terus ada perlu apa datang kesini?" tanyaku memancing.
"Ah anu, sebenarnya...."
Aku tidak tahu sejak kapan benih-benih cinta ini muncul pada gadis muda itu. Ia terlihat sangat menarik apalagi pakaiannya yang modis, memperlihatkan lekuk tubuhnya membuatku terkadang menelan saliva. Ia terlihat begitu sempurna, seperti bunga yang baru mekar, harumnya semerbak mewangi. Bibirnya selalu dipoles dengan lipstik berwarna pink merona. Ia terlihat seperti bidadari yang turun dari langit. Apalagi rambutnya yang lurus panjang seringkali tergerai, namun aku juga sering melihat rambutnya dikuncir ke atas memperlihatkan leher jenjangnya yang putih dan mulus. Bukan, bukan karena istriku tidak menarik. Diapun begitu cantik, ia selalu merawat penampilannya. Meskipun sederhana dan selalu tertutup gamis panjang dan jilbabnya, senyumannya begitu manis dan mendamaikan hati. Keseksian tubuhnya hanya diperlihatkan saat di depanku. Sebagai seorang istri, iapun mampu menyenangkanku dalam segala hal. Bahkan masakannya terasa begitu luar b
Ia hanya melengos pergi tanpa sepatah kata apapun.***Aku tak pernah menyangka dengan reaksi Nadia. Dia menolak permintaanku. Dia tidak mau dimadu. Dia memilih mundur dan berpisah dariku dari pada dipoligami. Benar, wanita lemah seperti Nadia berani-beraninya membantahku? Aku tercengang dengan semua pernyataan yang ia lontarkan. Ini pertama kalinya dia menolak permintaanku, memang mungkin ini terlalu berat untuknya.Nadia, istri penurut yang penuh kelembutan, kini berubah bagai singa betina yang sedang membela diri. Bahkan kedatangan ibu yang tak kusangka-sangka justru memperkeruh suasana. Mereka berdebat tak ada habisnya. Membuat telingaku pengang.Aku tak habis pikir dengan sikap Nadia yang tak mau kalah dengan ibu. Dimana rasa hormatmu pada ibuku, Nadia? pekikku dalam hati. Aku ingin marah tapi tidak bisa. Yang diucapkan Nadia tidak sepenuhnya salah, dia memang benar, aku yang sudah tega mengkhianatinya, aku yang tidak tahu diri dan tak pandai bersyuk
Aku dan dia sama-sama terkejut karena dipertemukan disaat yang tak terduga. "Apa kabar, Bro?" tanyanya sembari meninju pelan lenganku. Dia melirik kearah Keysha, akupun segera merangkulnya. Mungkin ada banyak pertanyaan dibenaknya, juga tentang Nadia. "Baik, kamu gimana?" "Alhamdulillah, aku juga baik." "Ehm ehm, yang baru pulang dari luar negeri, tambah sukses aja nih," sindirku. Dia tersenyum. "Alhamdulillah. Oh iya, dia siapa? Nadia apa kabarnya?" "Hmmm, kenalin Has, ini calon istriku yang baru." "Calon istri yang baru?" ucapnya mengulangi pertanyaanku. "Kamu pisah sama Nadia?" tanyanya lagi dengan rona wajahnya berubah serius. "Ya, begitulah," jawabku santai. Lelaki itu nampak menggelengkan kepalanya seakan tak percaya. Namanya Hasbi, teman lama sekaligus rivalku dulu. Awalnya, Hasbi dan Nadia sudah hampir menikah, karena suatu hal Hasbi harus pergi keluar negeri, ia meminta Nadia untu
"Kita putus!!" tegasku yang membuat dia tersentak. Ia yang semula berjibaku dengan handphonenya, main game online, langsung beralih menatapku dengan pandangan penuh tanya. "Apa maksudmu, Key?" "Kamu gak dengar? Kita putus!!" "Tapi Key, tunggu...!" Ia masih mencegah langkahku dengan mencekal pergelangan tanganku. "Apa?" Aku masih bersikap ketus padanya. "Kenapa tiba-tiba kamu mengajakku putus? Apa salahku?" Aku tak menanggapinya dan berlalu begitu saja meninggalkannya. "Key, tunggu Key ...!" teriaknya mengejarku. "Kamu gak dengar? Kita putus! Mulai hari ini aku gak mau jadi pacarmu lagi!" "Tapi kenapa? Apa salahku?" "Introspeksi sendiri kenapa aku minta putus dari kamu!" Ia terpaku, mungkin dia tak menyangka aku akan mengakhiri hubungan ini. Aku segera menaiki mobil Om Rizki yang sudah menungguku di parkiran. Yup, Om Rizki sudah menungguku sedari tadi.
Entah sejak kapan perlakuan Andhika sedikit berubah. Dia mempunyai hobi baru, main game online yang sedang viral dan terkenal itu. Hingga aku diabaikan. Dia memang masih mengajakku jalan tapi tidak seperti dulu.Sore itu aku masih menunggu Andhika di depan kampus. Tapi dia tak kunjung muncul padahal sudah lewat satu jam dari waktu janjian. Aku menghubunginya namun tidak direspon.Hingga kulihat sebuah mobil mendekat. Mobil Om Rizki. Dia berhenti tepat di depanku berdiri."Key, sedang nunggu siapa? Ayo pulang," ajak Om Rizki. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, namun tak ada tanda-tanda Andhika akan muncul."Ayo naik, udah sore lho," sergah Om Rizki lagi. Akhirnya akupun naik ke dalam mobilnya.Sejak hari itu Om Rizki jadi sering mengantar jemputku. Aku merasa justru akhir-akhir ini perhatian Om Rizki terlalu berlebihan. Diapun sering mencuri-curi pandang ke arahku. Diam-diam aku juga sering memperhatikannya ketika dia sedang bersama Tante Nadia, terl
Aku tak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Kini, saatnya aku bangkit. Balas dendam? Tidak, bukan itu yang akan kulakukan. Untuk apa aku mengotori tanganku dengan balas dendam. Aku yakin semua akan terbalaskan suatu saat nanti. Yang akan aku lakukan hanya membuktikan pada suamiku, bahwa aku bukan perempuan lemah, yang merengek meminta bantuan untuk dikasihani. Oh, tidak. Akan kubuat suamiku menyesal dengan cara yang elegan. Ya, caranya aku harus menjadi wanita sukses, justru lebih sukses dari dia. Meskipun awal-awal pasti akan ada banyak halangan dan rintangan, tidak, sekali lagi aku tidak akan menyerah. Air mata ini terlalu mahal untuk menangisi lelaki pengkhianat seperti dia. Saat itu tatapannya yang penuh ejekan, serta memandang rendah aku yang seorang ibu rumah tangga. Seolah aku tidak bisa hidup tanpa nafkah darinya, itu yang membuatku semakin sakit. Baiklah mas, ayo kita buktikan, hidup siapa yang akan lebih bahagia. Aku atau kamu? Aku sudah mengurus
"Hasbiiii, siapa yang datang? Apa kurir pengantar makanan?" tanya suara seorang perempuan dari dalam. Kemudian wanita cantik itu datang menghampiri kami yang sedari tadi terdiam."Hei, ada orang kok bengong aja!" tukas wanita itu sambil menepuk lengannya. Mas Hasbi hanya tersenyum sambil sesekali melirikku. Senyumannya masih sama, seperti dulu. Tak ada yang berubah darinya."Berapa semuanya, Mbak?" tanya wanita itu, setelah dia tahu aku membawa makanan yang mereka pesan."Ini mba." Kuserahkan nota itu, diapun menerimanya. "Tunggu sebentar ya, aku ambil uangnya dulu."Aku mengangguk."Oh iya mbak, bisa minta tolong sekalian dibawakan ke dalam, soalnya anak-anak sudah menunggu," pintanya."Baik, mbak," jawabku gugup. Dagdigdug, debaran jantungku berirama makin tak menentu, rasanya begitu canggung."Hasbi, tolong ya, bantu mbaknya ke dalam," pinta wanita cantik itu."Ayo ikut," ajak Mas Hasbi, ia menenteng dua kresek besar s
Dia berjalan mendekat ke arah kami. "Maaf pak, saya mau bicara sama istri saya," ujar Mas Rizki, ekspresi wajahnya terlihat tidak suka. "Istri? Bukankah kalian sudah berpisah?" sela Mas Hasbi. "Kami belum resmi bercerai, pak. Jadi kami masih sah suami istri," jawab Mas Rizki lagi penuh penekanan. Ia menarik tanganku menjauh dari Mas Hasbi. Mas Hasbi hanya terdiam dan memandang kami dengan tatapan penuh tanya. "Kenapa sih kamu sering datang ke kantor?" tanyanya bersungut-sungut kesal. "Kamu gak lihat mas, aku sedang bekerja?" "Bekerja atau menggoda pria lain? Ingat ya, kamu ini masih istri sahku!" Deg! Mas Rizki setega itukah memfitnahku? "Astaghfirullah aku gak sepicik kamu, mas! Aku sedang bekerja, mengantarkan pesanan." "Berapa? Kamu butuh berapa? Apa kamu benar-benar sudah kekurangan uang sampai rela melakukan hal memalukan seperti ini?" tanyanya lagi. "Memalukan? Tidak, aku tidak malu, aku melakukan