Share

6. Ketemu Rival

Aku dan dia sama-sama terkejut karena dipertemukan disaat yang tak terduga.

"Apa kabar, Bro?" tanyanya sembari meninju pelan lenganku. Dia melirik kearah Keysha, akupun segera merangkulnya. Mungkin ada banyak pertanyaan dibenaknya, juga tentang Nadia.

"Baik, kamu gimana?"

"Alhamdulillah, aku juga baik."

"Ehm ehm, yang baru pulang dari luar negeri, tambah sukses aja nih," sindirku.

Dia tersenyum. "Alhamdulillah. Oh iya, dia siapa? Nadia apa kabarnya?"

"Hmmm, kenalin Has, ini calon istriku yang baru."

"Calon istri yang baru?" ucapnya mengulangi pertanyaanku. "Kamu pisah sama Nadia?" tanyanya lagi dengan rona wajahnya berubah serius.

"Ya, begitulah," jawabku santai.

Lelaki itu nampak menggelengkan kepalanya seakan tak percaya. Namanya Hasbi, teman lama sekaligus rivalku dulu.

Awalnya, Hasbi dan Nadia sudah hampir menikah, karena suatu hal Hasbi harus pergi keluar negeri, ia meminta Nadia untuk menunggu, namun Hasbi seperti hilang ditelan bumi, ia tak memberi kabar apapun terhadap Nadia. Ah bukan, kejadiannya bukan seperti itu, sebenarnya aku yang sengaja tak menyampaikan pesan  Hasbi untuk Nadia. 

Hubungan mereka pun kandas tanpa status yang jelas. Dan perlahan aku masuk dalam kehidupan Nadia menjadi pelipur laranya.  Hingga Nadia luluh dan bersedia menerimaku. Entah kenapa saat itu aku jadi benar-benar jatuh cinta pada calon istri sahabatku. 

Makanya saat Hasbi pergi, itu membuat peluang besar untukku meraih hati Nadia. Singkatnya aku dan Nadia menikah. Akupun mengabari Hasbi bahwa Nadia sudah menjadi istriku. Sejak saat itu, kami putus kontak, sebelumnya dia bilang semoga aku dan Nadia bisa berbahagia. Hingga iapun benar-benar menghilang tanpa kabar apapun.

Lalu sekarang dia datang lagi? Untuk apa dia pulang ke Indonesia? 

"Hasbi, maaf ya, aku cabut dulu," ujarku padanya. 

"Oke."

Didalam perjalanan, aku masih memikirkan Hasbi. Kenapa dia datang disaat aku dan Nadia dalam masalah? Kalau Hasbi tahu yang sebenarnya bahwa akulah yang menyebabkan mereka berpisah, bisa tamat riwayatku. Apalagi sekarang aku sudah mencampakkan Nadia.

Kupukul stir bundar itu. Hingga membuat Keysha kaget.

"Om, om kenapa?" tanyanya. Aku melirik kearahnya sembari mengambil nafas dalam-dalam.

"Tidak apa-apa, Key."

"Nyetirnya hati-hati, Om."

"Iya, Key."

"Tadi siapa? Teman Om?" tanya Keysha ingin tahu.

"Iya, dia teman lama Om."

"Sepertinya Keysha juga pernah lihat deh, tapi dimana ya?" tanyanya kembali.

Ya iyalah pernah lihat, sebelum berangkat ke luar negeri dia pernah datang ke rumah orang tuamu untuk bertemu dengan Nadia. Kamu pasti gak ingat, karena saat itu kamu baru lulus SMP.

"Mungkin orang yang mirip saja. Sudahlah gak usah dipikirin, gak penting juga," sahutku asal.

***

"Kamu beli apa aja?" tanya ibu dengan tatapan tak suka.

 Keysha memberikan tas-tas belanjaan itu kepada ibu. 

"Kau beli baju sebanyak ini? Buat apa? Kamu cuma morotin anak saya ya?" bentak ibu. Keysha menunduk tanpa mampu bersuara.

"Bu, sudahlah bu. Tidak apa-apa sekali-kali begini. Kan gak tiap hari."

"Belum juga jadi istrimu dia sudah boros begini, apa jadinya nanti kalau dia dah resmi jadi istrimu? Bisa-bisa kau tidak punya tabungan!" seru ibu lagi.

"Tenanglah Bu, tenang, dia sedang mengandung anakku lho bu. Dia gak boleh stress, tolong ibu mengerti dia ya." 

Aku berusaha menenangkan ibu. Memang terkesan boros sih, Keysha mengambil semua baju-baju yang dia suka dan harganya mahal-mahal pula. Tapi tadi aku juga yang bilang, untuk mengambil semua yang dia sukai. Tapi ternyata tak habis pikir, sekali belanja tadi habis lebih dari lima juta, jatah yang kuberikan untuk Nadia selama sebulan habis dalam sekejap.

Ibu mendengkus kesal. "Kalau kamu kayak gini lagi, mending gak usah nikah sama anakku!" 

Keysha tersentak mendengar bentakan ibu.

"Lho, kok gitu, Bu?" pungkasku tak percaya ibu bilang seperti itu. 

"Dari sini aja udah kelihatan, dia cuma mau foya-foya aja. Dia cuma morotin kamu! Kalau kayak begitu sih mending bayar aja dia. Biayai dia selama hamil dan melahirkan, nanti kalau anak itu lahir biar ibu yang urus. Dari pada ngurusin istri boros modelan kayak dia!"

"Ibu, jaga ucapan ibu. tolonglah bu hargai Keysha!"

"Halaaah, dia aja sudah mau memberikan kehormatannya sendiri sebelum nikah, buat apa repot-repot untuk menghargai. Gadis baik-baik tidak mungkin menyerahkan mahkota kehormatannya sebelum dia dinikahi!" lagi-lagi ibu menghina Keysha. Aku jadi sangat geram melihatnya.

"Rizki yang sudah khilaf, Bu."

"Bukan kamu saja tapi dia juga!"

Keysha nampak berlari keluar rumah.

"Ibu! Kata-kata ibu benar-benar keterlaluan!" seruku pada ibu.

"Rizki, kamu berani ya sama ibu!" teriak ibu lagi.

Tak kupedulikan ocehan ibu, aku segera berlari mengejar Keysha. Hah, dasar ibu, kenapa ibu tak pernah akur dengan para menantunya. Sama Nadia juga suka marah-marah. Dan ini, sama Keysha juga. Sebenarnya apa sih mau ibu?

Kulihat Keysha terduduk di ujung jalan. Aku menghampirinya. Kompleks perumahan elit ini sangat sepi. Semua pintu rumah mewah tertutup. 

"Key..."

Gadis cantik itu mendongak. "Om..."

Aku duduk disampingnya. "Yuk kita pulang, jangan ngambek kayak anak kecil begini," ajakku.

Dia menggeleng. "Ucapan ibu sangat menyakiti hatiku, Om. Aku berbuat seperti itu juga karena om berjanji akan menikahiku."

"Om akan tetap menikahimu, dengan atau tanpa restu ibu."

"Benar?"

"Ya, tentu saja!"

"Tapi..."

"Ayo kita pulang dulu."

"Gak mau om."

"Hei, kamu harus pandai mengambil hati ibu, percayalah ibu akan luluh."

"Kenapa ibu bisa tiba-tiba berubah?" tanyanya lagi.

"Emmh begini Keysha, ibu paling benci sama perempuan yang boros, karena menurutnya itu akan membuang-buang uang, tidak bisa berhemat."

Keysha mengangguk. "Tapi setelah nikah nanti, aku gak mau tinggal sama ibu," rajuk Keysha lagi.

"Iya, nanti kita sewa rumah sendiri."

"Cuma sewa? Gak beli om?"

"Ya, untuk sementara. Udah ayo kita pulang dulu," ajakku lagi sambil menarik tangannya.

***

"Bu, kami mau minta maaf," ujarku seraya menuntun Keysha agar dia mau meminta maaf pada ibu. Mendadak Keysha berlari dan berlutut di kaki ibu. Dia memeluk kaki ibu sambil menangis.

"Bu, maafin Keysha ya, bu. Keysha janji gak akan mengulanginya lagi. Keysha mohon bu, maafin Keysha," rajuknya sambil terus terisak.

Ibu menunduk dan mengamati Keysha. Sepertinya Keysha memang pandai merajuk. Buktinya ibupun luluh dengan sikapnya. Dan akhirnya ibu memaafkan kami, ia hanya meminta agar Keysha tidak mengulangi hal yang sama. 

"Kamu yakin mau menikahi bocah itu?" tanya ibu lagi memastikan, saat Keysha izin ke toilet.

"Iya Bu, aku sangat yakin."

"Tapi ingat ya, kamu harus tetap kasih jatah ibu. Seperti yang selama ini kamu lakukan. Kamu tahu sendiri kan, tidak ada lagi yang bisa menjadi sandaran ibu selain kamu."

"Iya Bu, pasti."

Obrolanku dengan ibu terhenti ketika Keysha kembali hadir di tengah-tengah kami.

***

"Pak, tolong datang cepat ke kantor. Pak Direktur yang baru sebentar lagi akan datang. Kami semua sudah sampai, tinggal menunggu bapak," ucap suara dari seberang telepon.

"Kenapa tidak menghubungiku semalam?"

"Maaf pak, dari semalam bapak tidak bisa dihubungi," tukasnya lagi. Dia salah satu staffku di kantor. Aku baru ingat, semalam memang aku mematikan ponselku karena tidak ingin diganggu.

"Baik, baik, aku segera kesana," sahutku sembari mematikan telepon.

Aku beranjak dari meja makan, belum sempat kunikmati sarapan sudah ada kejutan pagi-pagi. Bisa gawat kalau aku terlambat di hari pertama pak direktur datang. Disangkanya aku orang malas, apalagi terdengar rumor kalau direktur yang baru itu sangat disiplin, ia akan menindak tegas para staff maupun pekerjanya bila terlambat. 

"Lho, Riz, kamu gak sarapan dulu?" tegur ibu.

"Tidak, bu. Lain kali saja. Ini sudah ditunggu," jawabku sambil menyalami tangan ibu. Sedangkan Keysha, sepertinya dia masih di kamar. Sangat disayangkan, kalau kamu seperti ini bisa-bisa ibu tidak merestui hubungan kita, gerutuku dalam hati. Tapi apa boleh buat, pagi ini aku ada urusan yang lebih penting.

Kulajukan mobilku dengan kecepatan tinggi, namun sayang ditengah perjalanan aku terjebak macet. Ramai kendaraan karena ini jam berangkat ngantor. Lagi-lagi aku menghempaskan nafas kasar. Kalau kayak begini terus aku bisa telat nih!

Sesampainya di kantor, benar apa yang aku takutkan, semua sudah datang dan menyambut direktur baru, hanya aku yang terlambat. Apakah aku akan dihukum?

"Pak direktur sudah datang?" tanyaku pada salah satu staff.

"Sudah pak, sudah ada di ruangannya."

Aku mengangguk. Aku harus meminta maaf dan harus bisa mengambil hati direktur. Aku beranjak menemui atasanku itu. Segera ku ketuk pintu kaca itu. 

"Masuk," jawab suara dari dalam.

Aku masuk ke ruangannya yang dingin full udara AC. Seseorang nampak duduk membelakangi meja. Yang nampak hanya rambutnya yang hitam

"Maaf pak, tadi saya tidak ikut penyambutan kedatangan bapak, saya terjebak macet di jalan, mohon bapak bisa memakluminya," ujarku dengan hati-hati, paling tidak aku harus mengakui kesalahan terlebih dahulu.

Ia memutar kursinya hingga duduknya lurus berhadapan denganku.

Hasbi? Untuk apa dia duduk di kursi direktur?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
rasain tuh Rizki gk menyangka klu rival nya yg jd direktur baru di perusahaan yg Rizki krj
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status