"Hasbiiii, siapa yang datang? Apa kurir pengantar makanan?" tanya suara seorang perempuan dari dalam. Kemudian wanita cantik itu datang menghampiri kami yang sedari tadi terdiam.
"Hei, ada orang kok bengong aja!" tukas wanita itu sambil menepuk lengannya. Mas Hasbi hanya tersenyum sambil sesekali melirikku. Senyumannya masih sama, seperti dulu. Tak ada yang berubah darinya.
"Berapa semuanya, Mbak?" tanya wanita itu, setelah dia tahu aku membawa makanan yang mereka pesan.
"Ini mba." Kuserahkan nota itu, diapun menerimanya. "Tunggu sebentar ya, aku ambil uangnya dulu."
Aku mengangguk.
"Oh iya mbak, bisa minta tolong sekalian dibawakan ke dalam, soalnya anak-anak sudah menunggu," pintanya.
"Baik, mbak," jawabku gugup. Dagdigdug, debaran jantungku berirama makin tak menentu, rasanya begitu canggung.
"Hasbi, tolong ya, bantu mbaknya ke dalam," pinta wanita cantik itu.
"Ayo ikut," ajak Mas Hasbi, ia menenteng dua kresek besar s
Dia berjalan mendekat ke arah kami. "Maaf pak, saya mau bicara sama istri saya," ujar Mas Rizki, ekspresi wajahnya terlihat tidak suka. "Istri? Bukankah kalian sudah berpisah?" sela Mas Hasbi. "Kami belum resmi bercerai, pak. Jadi kami masih sah suami istri," jawab Mas Rizki lagi penuh penekanan. Ia menarik tanganku menjauh dari Mas Hasbi. Mas Hasbi hanya terdiam dan memandang kami dengan tatapan penuh tanya. "Kenapa sih kamu sering datang ke kantor?" tanyanya bersungut-sungut kesal. "Kamu gak lihat mas, aku sedang bekerja?" "Bekerja atau menggoda pria lain? Ingat ya, kamu ini masih istri sahku!" Deg! Mas Rizki setega itukah memfitnahku? "Astaghfirullah aku gak sepicik kamu, mas! Aku sedang bekerja, mengantarkan pesanan." "Berapa? Kamu butuh berapa? Apa kamu benar-benar sudah kekurangan uang sampai rela melakukan hal memalukan seperti ini?" tanyanya lagi. "Memalukan? Tidak, aku tidak malu, aku melakukan
"Keysha gak suka ya, om datang lagi ke tempat Tante Nadia. Ingat om, kita akan segera menikah!" Keysha menarik lenganku dan kami masuk ke mobil. Aku sempat menoleh dan memandang ke arah Nadia. Dia memandang kami dengan tatapan nanar. Sepanjang perjalanan Keysha mengomeliku tanpa henti. "Om udah gak sayang lagi sama Key?" "Om udah gak cinta lagi sama Key?" "Kenapa Om pulang ke rumah Tante Nadia?" "Om jahat! Om gak menghargai perasaan Keysha!" "Om kenapa lakukan ini sama Keysha? Bukankah om sudah berjanji akan menikah dengan Keysha dan menceraikan tante?!" "Keysha, diaamm!!!" bentakku hingga membuatnya terbungkam. Dia menunduk sambil terisak. Air matanya tumpah. Aaarghhh, lagi-lagi senjatanya hanya menangis. Telingaku sangat berisik mendengar rengekannya yang seperti anak kecil hingga membuatku membentaknya. Sampai di rumah ibu, Keysha langsung turun dan menuju kamarnya. Dia hanya meny
Sore itu aku menjemput Keysha pulang kuliah, wajahnya terlihat lesu, seperti ada masalah yang disembunyikan. Sejak kemarin Keysha ngambek, kami memang belum saling berbicara lagi setelah kubentak kemarin. Makanya aku berinisiatif untuk menjemputnya kuliah. Aku ingin berdamai dengannya. Apalagi besok pernikahanku digelar, masa iya pengantin baru diem-dieman? Keysha naik ke mobilku, dengan wajah yang ditekuk, cemberut. "Mau jalan-jalan?" tanyaku memecah keheningan. Dia hanya menatapku lalu menggeleng perlahan. "Lho kenapa lesu gitu? Biasanya semangat kalau diajak jalan-jalan?" tanyaku lagi. Dia menatap ke arahku lagi, sepertinya ia sangat takut untuk berbicara. "Ada apa? Kenapa diam aja?" aku benar-benar penasaran, biasanya dia sangat ceriwis dan ceria, sekarang dia diam saja jadi seperti ada yang hilang darinya. "Takuuut..." ucapnya lirih. "Takut? Takut apa?" tanyaku penasaran. "Takut om marah lagi kayak kemarin,
"Apa maksud ibu?""Halaaah jangan pura-pura tidak tahu deh! Kamu kan yang nyuruh preman-preman untuk menculik Keysha?!""Tidak, Bu. Aku tidak tahu menahu tentang itu. Aku bahkan baru tahu karena ibu ngomong ini. Jadi bener mas, Keysha diculik?" Nadia balik bertanya dengan nada khawatir.Aku mengangguk. Hah, dia hanya bertanya keponakannya saja, bahkan wajahku yang babak belur begini tidak ia tanyakan.Prok ... Prok ... Prok ..."Aktingmu benar-benar bagus, Nad! Hebat kamu!" sindir ibu. "Kamu sengaja kan lakukan ini agar Rizki dan Keysha tidak jadi nikah?""Astaghfirullah hal'adzim, aku gak punya pikiran licik seperti itu, bu. Mas Rizki mau nikah, nikah saja, aku gak peduli. Buat apa aku repot-repot nyuruh preman buat nyulik Keysha. Gak ada untungnya buat aku. Dan kamu yang bilang sendiri kan mas? Aku kekurangan uang? Terus aku punya uang dari mana untuk bayar para preman itu?" ujarnya dengan menatapku tajam."Iya Bu, Nadia benar, dia
"Lalu Rizki harus gimana, Bu? Dari pada Keysha dan bayiku kenapa-napa." "Terus kamu mau dapat uang dari mana dengan waktu sesingkat itu? Kamu punya tabungan?" Aku menghela nafas dalam-dalam. Itu juga yang aku pikirkan. Uang di rekening tabungan hanya ada 70 juta, sisanya harus kucari kemana? "Hishh, semenjak kamu sama bocah itu, hidup kita jadi gak tentram gini!" "Sudah Bu, Rizki mau pergi dulu." "Kemana?" "Cari pinjaman Bu, kalau gak ada terpaksa Rizki akan jual mobil." "Apaaaa...?" Kutinggalkan ibu yang masih tercengang dengan ucapanku. Ya mau bagaimana lagi. Jual mobil juga gak semudah dan secepat jualan gorengan yang langsung habis. Aku bergegas menuju ke bengkel dengan naik ojek. Beruntung, sampai di bengkel, mobil sudah diservis karena tidak ada kerusakan yang berarti. Setelah membayar tagihan itu, aku bergegas ke rumah Nadia. Aku akan desak dia, supaya dia bisa membantuku. Aku sangat yakin
Aku mulai membuka mata. Kepalaku terasa begitu pening. Kulihat sekeliling, aku berada di sebuah ruangan kamar. "Akhirnya kau sadar juga, sayang," ujarnya. Aku menoleh ke asal suara. Lelaki itu tersenyum kemudian menyesap minumannya. Aroma kopi tercium begitu wangi. "Andhika, kau?" pekikku. Jadi dia yang sudah membawaku kesini dan membuat om Rizki babak belur? Dia tersenyum kecil. "Jadi kau yang lakukan semua ini?" tanyaku lagi. Dia menaruh kembali gelas itu dan mendekat ke arahku. "Sudah kubilang kan sayang, aku akan buat perhitungan padanya karena dia sudah merebut kekasihku," jawabnya dengan nada lembut tapi penuh penekanan. Dia membelai rambutku. "Kau jahat sekali, Andhika!" ketusku, heran kenapa dia bisa tahu Om Rizki, bagaimana caranya dia mencari tahu semua ini? "Bukan aku yang jahat, sayang. Tapi kamu ..." "Apa maksudmu?" "Kamu yang sudah menduakan cintaku, aku sungguh tak r
Tiinn ... Tiinn ... Suara klakson mobil mengagetkanku yang sedang sibuk di dapur. Kulirik jam yang bertengger di dinding, waktu sudah menunjukkan ke angka sepuluh, pagi menjelang siang. Dengan segera aku bergegas ke depan, untuk memeriksa keadaan disana. Apa itu mobil Mas Rizki? Ada apa sih, dia terus-terusan menggangguku? Seorang pemuda berpakaian rapi, sudah menungguku di teras rumah. Ia tersenyum dengan ramah. "Dengan Ibu Nadia?" tanyanya. "Iya, saya sendiri." "Ini silahkan diterima. Tanda tangan di sebelah sini Bu." Ia menyerahkan sebuah map berisi surat-surat kendaraan yang sudah berganti nama menjadi Nadia Asmarini. Mataku seketika membulat, tapi bukankah ini mobil Mas Rizki? Kenapa jadi berganti namaku? Siapa yang melakukannya? Kalau Mas Rizki, rasanya tidak mungkin. "Ayo Bu, silahkan tanda tangan disini," ujarnya lagi mengejutkanku. "Maaf kalau boleh tahu, siapa yang mengirim mobil itu kes
"Pesan? Pesan apa?" Aku balik bertanya. Tiba-tiba handphonenya berbunyi, memecah ketegangan diantara kami. "Maaf Nadia, aku angkat telepon dulu ya," ujarnya yang dijawab oleh anggukan kepalaku. "Halo, Waalaikum salam, iya. Ah oke, aku segera kesana," ucapnya. Entahlah apa yang dibicarakan. Mendadak ia terlihat buru-buru. Mungkin ada masalah yang serius. "Maaf Nadia, aku harus pamit dulu. Kapan-kapan ya kita ngobrol lagi," ujarnya kemudian. "Kamu gak makan dulu, Mas?" "Gak usah, ini udah ditungguin orang. Maaf ya, lain kali saja." "Iya, hati-hati dijalan mas. Dan terima kasih atas bantuannya." Mas Hasbi tersenyum. "Iya, sama-sama. Aku pulang ya. Assalamualaikum." "Waalaikum salam ..." Diapun pergi melesat dengan mobil mewahnya. Aku tertegun, menatapnya hingga hilang dari pandangan. Pertanyaannya yang tadi, membuatku berpikir kembali. Apa maksud ucapan Mas Hasbi? Pesan, pesan a