Ia hanya melengos pergi tanpa sepatah kata apapun.
***
Aku tak pernah menyangka dengan reaksi Nadia. Dia menolak permintaanku. Dia tidak mau dimadu. Dia memilih mundur dan berpisah dariku dari pada dipoligami. Benar, wanita lemah seperti Nadia berani-beraninya membantahku? Aku tercengang dengan semua pernyataan yang ia lontarkan. Ini pertama kalinya dia menolak permintaanku, memang mungkin ini terlalu berat untuknya.
Nadia, istri penurut yang penuh kelembutan, kini berubah bagai singa betina yang sedang membela diri. Bahkan kedatangan ibu yang tak kusangka-sangka justru memperkeruh suasana. Mereka berdebat tak ada habisnya. Membuat telingaku pengang.
Aku tak habis pikir dengan sikap Nadia yang tak mau kalah dengan ibu. Dimana rasa hormatmu pada ibuku, Nadia? pekikku dalam hati. Aku ingin marah tapi tidak bisa. Yang diucapkan Nadia tidak sepenuhnya salah, dia memang benar, aku yang sudah tega mengkhianatinya, aku yang tidak tahu diri dan tak pandai bersyukur. Namun ibu juga benar, sudah menunggu lima tahun, istriku tak juga hamil. Aku kadang jenuh bila terus menerus memikirkannya.
Lebih tak kusangka lagi, dia berani mengusirku dari rumahku sendiri. Aku tak bisa berkutik, ketika dia meminta hak untuk rumah ini. Walau bagaimanapun sebagian besar pembangunan rumah ini menggunakan uang tabungannya ketika dia masih sendiri.
Tak segan-segan juga dia mengusir Keysha, keponakannya sendiri. Nadia kali ini benar-benar sangat tegas. Aku sampai terperangah melihat perubahan sikapnya.
Keysha menangis, mungkin dia tidak menyangka akan diperlakukan seperti ini oleh tantenya. Tante yang sangat menyayanginya, dulu.
"Kamu yakin dek, mau pisah dari aku? Kamu yakin, bisa hidup tanpa aku?" tanyaku lagi.
"Aku yakin mas, meskipun hatiku sakit, tapi keputusanku takkan berubah, lebih baik aku mundur, mas. Silahkan kau menikah dengan Keysha, dan semoga kebahagiaanmu bisa terwujud."
"Tapi, dek... Kamu kan tidak bekerja? Bagaimana kamu bisa menghidupi dirimu sendiri? Selama ini aku yang selalu memberikan uang gajiku padamu. Apa kamu tidak menyesal berpisah denganku?" tanyaku memastikan lagi. Aku berpikir dia bisa apa hidup tanpa aku? Selana ini aku yang selalu memenuhi kebutuhannya.
Namun lagi-lagi dia menjawabnya begitu mantap. Oke, nanti kita lihat Nadia, aku yakin kamu pasti akan kesusahan setelah ditinggal aku pergi. Dan menyesal karena ingin berpisah dariku. Dan sampai kapanpun aku tak pernah mau untuk menceraikan kamu. Kecuali kamu yang menggugatnya terlebih dahulu. Tapi uang dari mana? Bahkan usahapun kau tidak punya.
Kurelakan rumah ini untuknya, ya, sebenarnya aku kasihan padanya, kalau dia yang pergi, dia akan tinggal dimana?
Dengan sangat terpaksa aku meninggalkan rumah ini bersama Keysha dan juga ibuku. Sepanjang jalan ibuku terus menggerutu tanpa henti. Dia menyumpahi Nadia dengan ucapan sumpah serapah yang tak patut didengar.
Wanita mandul, menantu kurang ajar, wanita tidak tahu diri dan tidak tahu terima kasih, semua kata-kata itu muncul dari mulut ibuku. Sedangkan Keysha hanya terdiam, namun air matanya meleleh tanpa henti, kulihat dia ketakutan mendengar ocehan ibu yang terus menerus mengomeli Nadia.
***
Sesampainya di rumah ibu.
"Sebenarnya apa yang terjadi sampai Nadia marah-marah seperti tadi? Kamu beneran mau menikahi ponakan Nadia?" tanya ibu dengan tatapan penuh tanya.
Keysha menunduk.
"Iya Bu, aku akan menikahi Keysha," jawabku sambil menggenggam tangan Keysha. Aku yakin dia butuh kekuatan.
Ibu mengernyitkan keningnya penuh tanda tanya. "Kenapa?" tanya ibu penuh selidik.
"Maafkan aku bu, aku sudah khilaf. Aku..."
"Apa maksudmu?"
"Keysha sekarang sedang hamil, bu."
Ibu terdiam untuk beberapa saat. Ia nampak berpikir.
Kurasakan tangan Keysha semakin dingin. Entahlah, mungkin dia gugup.
"Jadi kalian sudah berhubungan sejauh itu? tanya ibu kembali.
Aku mengangguk. "Maaf Bu, aku benar-benar khilaf," sahutku lagi.
Ibu terlihat mengembuskan nafas dalam-dalam lalu menghempaskannya secara perlahan. "Kalian nikah saja," tukas ibu.
Mendengar ucapan ibu membuat hatiku kembali berbunga. "Jadi ibu merestui kami?" tanyaku untuk memastikan.
"Ya, dari pada dia hamil tanpa suami. Tapi yakin dia sedang mengandung anakmu?"
Aku menoleh kearah Keysha yang sedari tadi terdiam. Wajahnya semakin pucat. Mungkin ia takut dengan hardikkan ibu.
"Yakin lah bu, bayi yang ada dikandungannya pasti anakku. Benarkan, sayang?"
Gadis cantik itu hanya mengangguk.
"Kalian nikah siri aja, yang penting sah kan? Lagian, kamu sama Nadia kan belum bercerai," tukas ibu lagi.
"Bu, tolonglah jangan ketus gitu, jangan buat Keysha takut."
Ibu kembali mengambil nafas dalam-dalam.
"Kenapa kamu harus takut? Ibu tidak akan memakanmu," ucap ibuku kembali.
Keysha yang nampak gugup mencoba untuk tersenyum. "Tenanglah, jangan takut, ibu tidak akan marah-marah padamu, apalagi kamu sedang mengandung, justru dia akan sayang padamu. Jangan takut, ada aku disini," bisikku di telinganya.
"Jadi ibu benar-benar merestui kami?" tanyaku lagi dengan senyum mengembang.
"Tentu saja. Lagi pula dia sedang mengandung cucu ibu. Akhirnya ibu akan jadi seorang nenek." Ibu tampak bahagia. "Berarti benarkan bukan kamu yang mandul? Tapi wanita itu! Ibu bilang juga apa!" dengusnya lagi begitu kesal.
Aku hanya tersenyum.
"Kenapa kamu gak mau menceraikan Nadia?" tanya ibu kembali.
"Emmh, sebenarnya aku masih mencintai Nadia, Bu,"
"Halaaah, cinta-cinta doang buat apa. Kalau gak bisa kasih keturunan! Eh tapi bagus juga sih ide kamu yang gak mau ceraikan Nadia. Biar dia urus sendiri surat gugatan cerainya, jadi kamu gak perlu repot-repot keluar uang lagi untuk biaya pengadilan," pungkas ibu lagi.
"Dia uang dari mana coba kalau gak dari kamu?! Paling-paling besok dia datang kesini nangis-nangis minta balikan. Udah biarkan aja dia jadi janda gantung, jadi gak ada yang mau nikahin dia karena statusnya gak jelas," ungkap ibu lagi.
Aku hanya terdiam mendengar ucapan ibu. Sebenarnya aku merasa kasihan juga sama Nadia. Tapi biarlah dia yang memilih jalannya sendiri.
"Jangan lupa buat undangan untuk beberapa kerabat saja. Nadia juga diundang biar dia makin panas. Biarpun nikah siri tapi jangan malu-maluin, kamu kan seorang manager," tutur ibu lagi.
"Baik, Bu. Ibu urus saja, nanti aku kasih uangnya untuk persiapan pernikahan kami."
"Nah, gitu dong," sahut ibu.
Sejenak kemudian ibu nampak sibuk telepon kesana kemari untuk mempersiapkan pernikahanku.
***
"Rencanamu gimana, Key? Masih mau lanjut kuliah?" tanyaku.
"Iya, Om. Nanti Key cuti kuliahnya kalau perut Key mulai membesar," jawabnya.
Sebenarnya aku tidak suka dia tetap kuliah kalau aku sudah menikahinya. Dia gadis yang cantik, pasti banyak lelaki yang suka padanya. Tapi aku tidak ingin mengekangnya.
"Jujur om keberatan sih, kalau kamu tetap kuliah. Om bakalan cemburu nih, kamu kan cantiik. Kalau bisa sih nanti di rumah saja. Om akan memenuhi semua kebutuhanmu seperti yang sudah-sudah," tukasku lagi membujuknya.
Keysha nampak tersenyum dengan mata berbinar. "Dua bulanan lagi ya, om. Sayang kan uang kuliahnya yang udah dibayarkan untuk semester ini."
"Ya sudah, pokoknya kalau ada masalah kamu harus ngomong sama om, oke?"
"Baik, om."
"Emmh, kita jalan-jalan yuk, ke butik cari gaun pengantin buat kita," ajakku.
Keysha mengangguk dan langsung merangkul lenganku.
***
Aku melajukan mobilku menuju Butik Kinita, butik milik Mirna, sahabat Nadia. Aku sengaja melakukannya. Pasti Mirna akan melaporkan semuanya pada Nadia. Akan kubuktikan padamu, Nad, bahwa aku bisa lebih bahagia hidup tanpamu.
"Sayang, pilihlah semua yang kamu suka," ujarku pada Keysha.
"Beneran, Om?"
"Ya, tentu saja. Jangan lupa kebayanya juga yang akan kita pakai di hari pernikahan nanti," sahutku lagi.
Keysha nampak antusias memilih baju-baju, padahal sudah sering kali aku membawanya ke mall ataupun butik ternama. Tapi lagi-lagi dia tak bosan dengan yang namanya fashion. Keysha memang pandai memadu padankan baju-baju yang ia beli. Penampilannya modis dan trendy membuatku jatuh hati.
Setelah cukup lama menemani Keysha. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, sayangnya Mirna tidak ada disini. Hanya ada beberapa pelayannya saja.
Aku menghela nafas dalam-dalam. Gagal deh untuk membuat Nadia cemburu. Lain kali saja akan kubuat dia cemburu dan juga menangis, masih ada banyak waktu. Entahlah, kenapa aku jadi punya dendam ingin membalas perlakuan Nadia.
Saat aku melangkahkan kaki keluar, tiba-tiba,
Bruukk...
Seseorang menabrakku, hingga semua tas belanjaan ku lepas dari genggaman tanganku. Aku memungutinya, begitu pula dengan lelaki itu.
"Maaf," ucapnya. Aku menoleh dan terkejut melihatnya.
"Kauu...?" pekik kami secara bersamaan.
Aku dan dia sama-sama terkejut karena dipertemukan disaat yang tak terduga. "Apa kabar, Bro?" tanyanya sembari meninju pelan lenganku. Dia melirik kearah Keysha, akupun segera merangkulnya. Mungkin ada banyak pertanyaan dibenaknya, juga tentang Nadia. "Baik, kamu gimana?" "Alhamdulillah, aku juga baik." "Ehm ehm, yang baru pulang dari luar negeri, tambah sukses aja nih," sindirku. Dia tersenyum. "Alhamdulillah. Oh iya, dia siapa? Nadia apa kabarnya?" "Hmmm, kenalin Has, ini calon istriku yang baru." "Calon istri yang baru?" ucapnya mengulangi pertanyaanku. "Kamu pisah sama Nadia?" tanyanya lagi dengan rona wajahnya berubah serius. "Ya, begitulah," jawabku santai. Lelaki itu nampak menggelengkan kepalanya seakan tak percaya. Namanya Hasbi, teman lama sekaligus rivalku dulu. Awalnya, Hasbi dan Nadia sudah hampir menikah, karena suatu hal Hasbi harus pergi keluar negeri, ia meminta Nadia untu
"Kita putus!!" tegasku yang membuat dia tersentak. Ia yang semula berjibaku dengan handphonenya, main game online, langsung beralih menatapku dengan pandangan penuh tanya. "Apa maksudmu, Key?" "Kamu gak dengar? Kita putus!!" "Tapi Key, tunggu...!" Ia masih mencegah langkahku dengan mencekal pergelangan tanganku. "Apa?" Aku masih bersikap ketus padanya. "Kenapa tiba-tiba kamu mengajakku putus? Apa salahku?" Aku tak menanggapinya dan berlalu begitu saja meninggalkannya. "Key, tunggu Key ...!" teriaknya mengejarku. "Kamu gak dengar? Kita putus! Mulai hari ini aku gak mau jadi pacarmu lagi!" "Tapi kenapa? Apa salahku?" "Introspeksi sendiri kenapa aku minta putus dari kamu!" Ia terpaku, mungkin dia tak menyangka aku akan mengakhiri hubungan ini. Aku segera menaiki mobil Om Rizki yang sudah menungguku di parkiran. Yup, Om Rizki sudah menungguku sedari tadi.
Entah sejak kapan perlakuan Andhika sedikit berubah. Dia mempunyai hobi baru, main game online yang sedang viral dan terkenal itu. Hingga aku diabaikan. Dia memang masih mengajakku jalan tapi tidak seperti dulu.Sore itu aku masih menunggu Andhika di depan kampus. Tapi dia tak kunjung muncul padahal sudah lewat satu jam dari waktu janjian. Aku menghubunginya namun tidak direspon.Hingga kulihat sebuah mobil mendekat. Mobil Om Rizki. Dia berhenti tepat di depanku berdiri."Key, sedang nunggu siapa? Ayo pulang," ajak Om Rizki. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, namun tak ada tanda-tanda Andhika akan muncul."Ayo naik, udah sore lho," sergah Om Rizki lagi. Akhirnya akupun naik ke dalam mobilnya.Sejak hari itu Om Rizki jadi sering mengantar jemputku. Aku merasa justru akhir-akhir ini perhatian Om Rizki terlalu berlebihan. Diapun sering mencuri-curi pandang ke arahku. Diam-diam aku juga sering memperhatikannya ketika dia sedang bersama Tante Nadia, terl
Aku tak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Kini, saatnya aku bangkit. Balas dendam? Tidak, bukan itu yang akan kulakukan. Untuk apa aku mengotori tanganku dengan balas dendam. Aku yakin semua akan terbalaskan suatu saat nanti. Yang akan aku lakukan hanya membuktikan pada suamiku, bahwa aku bukan perempuan lemah, yang merengek meminta bantuan untuk dikasihani. Oh, tidak. Akan kubuat suamiku menyesal dengan cara yang elegan. Ya, caranya aku harus menjadi wanita sukses, justru lebih sukses dari dia. Meskipun awal-awal pasti akan ada banyak halangan dan rintangan, tidak, sekali lagi aku tidak akan menyerah. Air mata ini terlalu mahal untuk menangisi lelaki pengkhianat seperti dia. Saat itu tatapannya yang penuh ejekan, serta memandang rendah aku yang seorang ibu rumah tangga. Seolah aku tidak bisa hidup tanpa nafkah darinya, itu yang membuatku semakin sakit. Baiklah mas, ayo kita buktikan, hidup siapa yang akan lebih bahagia. Aku atau kamu? Aku sudah mengurus
"Hasbiiii, siapa yang datang? Apa kurir pengantar makanan?" tanya suara seorang perempuan dari dalam. Kemudian wanita cantik itu datang menghampiri kami yang sedari tadi terdiam."Hei, ada orang kok bengong aja!" tukas wanita itu sambil menepuk lengannya. Mas Hasbi hanya tersenyum sambil sesekali melirikku. Senyumannya masih sama, seperti dulu. Tak ada yang berubah darinya."Berapa semuanya, Mbak?" tanya wanita itu, setelah dia tahu aku membawa makanan yang mereka pesan."Ini mba." Kuserahkan nota itu, diapun menerimanya. "Tunggu sebentar ya, aku ambil uangnya dulu."Aku mengangguk."Oh iya mbak, bisa minta tolong sekalian dibawakan ke dalam, soalnya anak-anak sudah menunggu," pintanya."Baik, mbak," jawabku gugup. Dagdigdug, debaran jantungku berirama makin tak menentu, rasanya begitu canggung."Hasbi, tolong ya, bantu mbaknya ke dalam," pinta wanita cantik itu."Ayo ikut," ajak Mas Hasbi, ia menenteng dua kresek besar s
Dia berjalan mendekat ke arah kami. "Maaf pak, saya mau bicara sama istri saya," ujar Mas Rizki, ekspresi wajahnya terlihat tidak suka. "Istri? Bukankah kalian sudah berpisah?" sela Mas Hasbi. "Kami belum resmi bercerai, pak. Jadi kami masih sah suami istri," jawab Mas Rizki lagi penuh penekanan. Ia menarik tanganku menjauh dari Mas Hasbi. Mas Hasbi hanya terdiam dan memandang kami dengan tatapan penuh tanya. "Kenapa sih kamu sering datang ke kantor?" tanyanya bersungut-sungut kesal. "Kamu gak lihat mas, aku sedang bekerja?" "Bekerja atau menggoda pria lain? Ingat ya, kamu ini masih istri sahku!" Deg! Mas Rizki setega itukah memfitnahku? "Astaghfirullah aku gak sepicik kamu, mas! Aku sedang bekerja, mengantarkan pesanan." "Berapa? Kamu butuh berapa? Apa kamu benar-benar sudah kekurangan uang sampai rela melakukan hal memalukan seperti ini?" tanyanya lagi. "Memalukan? Tidak, aku tidak malu, aku melakukan
"Keysha gak suka ya, om datang lagi ke tempat Tante Nadia. Ingat om, kita akan segera menikah!" Keysha menarik lenganku dan kami masuk ke mobil. Aku sempat menoleh dan memandang ke arah Nadia. Dia memandang kami dengan tatapan nanar. Sepanjang perjalanan Keysha mengomeliku tanpa henti. "Om udah gak sayang lagi sama Key?" "Om udah gak cinta lagi sama Key?" "Kenapa Om pulang ke rumah Tante Nadia?" "Om jahat! Om gak menghargai perasaan Keysha!" "Om kenapa lakukan ini sama Keysha? Bukankah om sudah berjanji akan menikah dengan Keysha dan menceraikan tante?!" "Keysha, diaamm!!!" bentakku hingga membuatnya terbungkam. Dia menunduk sambil terisak. Air matanya tumpah. Aaarghhh, lagi-lagi senjatanya hanya menangis. Telingaku sangat berisik mendengar rengekannya yang seperti anak kecil hingga membuatku membentaknya. Sampai di rumah ibu, Keysha langsung turun dan menuju kamarnya. Dia hanya meny
Sore itu aku menjemput Keysha pulang kuliah, wajahnya terlihat lesu, seperti ada masalah yang disembunyikan. Sejak kemarin Keysha ngambek, kami memang belum saling berbicara lagi setelah kubentak kemarin. Makanya aku berinisiatif untuk menjemputnya kuliah. Aku ingin berdamai dengannya. Apalagi besok pernikahanku digelar, masa iya pengantin baru diem-dieman? Keysha naik ke mobilku, dengan wajah yang ditekuk, cemberut. "Mau jalan-jalan?" tanyaku memecah keheningan. Dia hanya menatapku lalu menggeleng perlahan. "Lho kenapa lesu gitu? Biasanya semangat kalau diajak jalan-jalan?" tanyaku lagi. Dia menatap ke arahku lagi, sepertinya ia sangat takut untuk berbicara. "Ada apa? Kenapa diam aja?" aku benar-benar penasaran, biasanya dia sangat ceriwis dan ceria, sekarang dia diam saja jadi seperti ada yang hilang darinya. "Takuuut..." ucapnya lirih. "Takut? Takut apa?" tanyaku penasaran. "Takut om marah lagi kayak kemarin,