Netra hitam pria itu menatap lurus, jauh ke depan. Menatap kerumunan padi yang mulai menguning, menandakan sebentar lagi masa panen akan tiba.
Netra itu, meski sudah tak setajam dulu, namun pemiliknya masih orang yang sama. Meski kerut di dahi sudah nampak namun ingatannya akan seorang wanita di masa lalunya tak pernah pudar.
Ada rasa sesal di dada yang bergumpal-gumpal, saat mengingat bagaimana ia menciptakan genangan air mata di pipi mulus itu.
Ada rasa sesal saat mengingat bagaimana dulu ia tega bermain api. Ia menyangka api itu akan padam. Ya memang padam, namun ada debu dan puing yang tercipta setelahnya.
Danu menghela nafas panjang. Gurat lelah nampak di wajahnya yang semakin dewasa. Mungkin sudah tujuh atau delapan tahun berlalu, namun ia tak pernah bosan berkunjung ke desa ini. Melihat hamparan sawah yang begitu luas, juga menatap rumah yang nampak terpisah sendiri dari rumah penduduk lainnya. Selain terpisah sendiri, rumah itu juga terlihat kumuh sendiri di antara rumah-rumah yang lain.
Setiap akhir pekan, kadang juga tak perlu menunggu akhir pekan datang. Danu akan melarikan diri ke desa ini. Menatap sawah-sawah yang berganti tanamannya setiap empat bulan sekali, juga menatap lama, rumah semi batu berwarna putih di sebelah kiri. Tepat di belakang pohon mangga yang rimbun daun dan buahnya.
Sengaja berlama-berlama, menanti sang pemilik rumah keluar atau beraktivitas di luar rumah itu.
Sesekali ingin rasanya ia mendekat, sekadar menyapa atau bertanya kabar. Namun, meski wanita itu betah menyendiri, tapi waktu tak lagi sama. Waktu tak lagi bisa membuatnya bebas mendekati wanita itu. Waktu tak lagi bisa membuatnya minta dilayani, waktu tak lagi bisa membuatnya menyentuh helai rambut legam yang sekarang lebih sering tertutup kain jilbab.
Memang benar api yang dulu Danu nyalakan akhirnya padam, seiring dengan kepergian Kirani dan juga kehamilan kekasih gelapnya.
"Mas mohon ampun. Tetaplah bertahan denganku, Sayang."
Danu menekuk lutut, membuang egonya sebagai pemimpin di depan Kirani yang sedang sibuk memindahkan beberapa helai pakaiannya dari lemari putih besar itu kedalam koper hitam.
"Jangan begini, Mas."
Air mata itu luruh, cintanya pada pria berkulit coklat ini begitu besar, namun luka pengkhianatan itu juga jelas terjejas.
Kehilangan anak yang dinanti-nanti bersamaan dengan hadirnya wanita lain dalam rumah tangga mereka, sungguh adalah rasa sakit yang paling nyata yanng Kirani rasakan saat itu.
Ia menangisi berhari-hari kepergian buah hatinya, juga menangisi cintanya di tiap-tiap malam menjelang tidur.
Meski Danu mengatakan benar-benar menyesali semuanya dan telah selesai dengan perempuan itu, namun pesan-pesan rindu wanita itu pada suaminya, sangat mengganggu batin wanita sabar ini.
Setelahnya rumah tangga mereka kembali dingin, seiring dengan seringnya sang suami lembur dan keluar kota.
"Mengapa, kau menyerah dengan pernikahan kita, Kiran?"
Danu berdiri dengan setelah pas badan. Menampilkan tubuh terjaga pria itu.
"Aku, tak bisa menahan sakit ini, Mas. Aku hanya ingin menjadi satu-satunya." Pelan Kirani mengucap itu, menatap lekat suaminya yang nampak berbeda penampilannya hari ini.
"Aku mencintaimu, Kirani. Hanya ada namamu di hatiku."
Kali ini tak ada tatapan romantis dari lelakinya itu. Prianya itu seperti sedang menyembunyikan sesuatu.
Lalu firasat Kirani terbukti, dengan gambar-gambar di kamar hotel yang dikirimkan dari nomor tak dikenal ke ponsel Kirani di siang yang mendung itu.
Gambar yang cukup menjelaskan bagaimana Kirani sudah tak diinginkan menjadi ratu di rumah suaminya.
Gambar yang pada akhirnya, membuat Kirani nekat meninggalkan rumah suaminya, hanya dengan beberapa helai pakaian dan sedikit tabungan yang ia miliki.
Kirani nekat, pergi jauh membawa harga dirinya yang terluka dibawah guyuran hujan yang mengamuk bumi hari itu.
Kepergian yang akhirnya menimbulkan penyesalan yang terdalam pada seorang Danu Adiwilaga.
"Bundaaa!"
Suara anak kecil perempuan mengalihkan perhatian Danu yang baru saja ingin menyalakan mesin roda empat itu.
Oh, rupanya anak kecil yang beberapa kali Danu lihat menyambangi rumah mantan istrinya.
"Hei, Sayang...dari mana, Nak?"
Suara lembut itu, kembali mengalihkan perhatian Danu, bukan hanya mengalihkan perhatiannya, namun juga membuat jantungnya dua kali lipat bertalu dengan cepat.
Wajah itu, semakin cantik dengan aura keibuan di usianya yang hampir tiga puluh tiga tahun.
Umur dua puluh tiga Danu menikahinya, umur Dua puluh lima, Kirani menjandakan dirinya karna tak sanggup di duakan.
Satu hal fatal yang Danu buat dalam hidupnya, hingga membuatnya kehilangan wanita berwajah teduh ini.
"Tadi baru pulang sekolah, Bunda. Fia sama papa kebetulan lewat sini," jelas bocah lima tahun itu dengan wajah sumringah.
Di depannya terlihat seorang pria berumur kira-kira empat puluh tahun, rambut cepak dan tubuh cukup berisi namun tidak gemuk.
Terlihat Kirani mengangguk hormat dan sopan pada ayah murid mengajinya itu, kemudian di balas dengan anggukan dan senyum dari pria bersahaja itu.
Tiba-tiba, ada rasa tak suka yang timbul di hati Danu, melihat interaksi yang biasa itu.
Pantas kah? Mungkin tak pantas lagi baginya cemburu, namun rasa itu hadir tanpa di undang.
"Bunda mau kemana?" tanya Sofia.
"Mau ke pasar, Sayang." Kirani menjawil pipi dan merapikan rambut anak kecil itu yang berantakan.
"Ayo, papa sama Fia, antar, Bunda," tawar anak itu penuh harap.
"Nggak usah, Sayang. Bunda, sudah janjian sama bunda Fatma."
Kirani menolak secara halus. Penolakan yang sedikit menimbulkan rasa kecewa di wajah Sofia dan di hati ayah anak itu.
---
"Dari mana kamu, Mas?"
Tatapan sinis dan suara kemarahan menggema di ruang tamu rumah besar itu. Hal yang beberapa tahun ini Danu dapatkan sebagai sambutan dari wanita yang berhasil memisahkan dirinya dan Kirani.
Dicemburui, dikekang, tak dilayani dengan baik hingga tak dihargai. Perlakuan itu, semua Danu dapatkan dari Herda. Tak ada lagi suara manja yang menawan hatinya, tak ada lagi belaian dan rayuan maut untuk dirinya. Semua berubah, seiring aset dan rumah berubah kepemilikan atas nama perempuan pesolek itu.
“Ditanya, koq diem aja. Nggak suka? Hah? Silahkan, kamu angkat kaki keluar dari rumah ini, Mas, kalau nggak suka aku tanya-tanya.” Suara Herda semakin meninggi, hingga membuat kepala Danu menjadi semakin pening. Bayangan wajah ayu Kirani yang disamperin anak kecil tadi, sangat mengganggu benaknya, ditambah dengan sambutan kasar dari istrinya ini, malah membuatnya semakin pening saja. andai tak ada larangan bagi laki-laki memukul perempuan? Rasa-rasanya Danu ingin menghajar mulut perempuan yang sudah menjadi istrinya ini.
“Atau jangan-jangan, kamu baru habis dari selingkuhanmu, Mas?” tuduh Herda mulai berapi-api.
Perempuan ini selalu saja mencari cara agar keributan terus terjadi antara dirinya dan Danu. Lelaki beristri yang dulu ia pisahkan dari istrinya. “Kalau iya, kenapa?” Danu mulai jengah. Ia tak menyangka bila perempuan yang nampak kalem dan polos dari luarnya tak lebih dari seekor ular berbisa yang menjebaknya di tahun ketiga pernikahannya saat bersama Kirani dulu. “Bagus!, lakukan saja kalau berani, selingkuh saja kalau bisa. Dan akan kupastikan akan mencari siapa perempuan selingkuhanmu, Mas. Biar kuberi pelajaran agar jangan mengganggu suami orang. Perempuan gatal mana yang membuatmu sering terlambat pulang? Hah?” Herda terus mencecar Danu dengan tuduhan-tuduhan yang membuat pria ini terbakar amarah. Marah, namun tak bisa melawan. Tak ada kebahagiaan sama sekali yang dirasakan Danu dengan rumah tangga keduanya. Jangankan dilayani dengan baik, diberi kata-kata yang halus dan menentramkan hati saja sudah cukup. Namun tak ada sama sekali. Mungkin Herda sedikit menghargainya di awa
“Ini foto yang, Bapak minta.” Dengan sopan Firman meletakkan sebuah amplop coklat berisi foto-foto kegiatan Herda selama ini jika Danu sedang keluar kota.“Terima kasih, Firman. Kau sudah bersusah payah membantuku,” ucap Danu sambil memegang amplop yang Firman antarkan.“Sudah tugas, saya sebagai anak buah, Pak. Siap menerima dan menjalankan tugas.”sahut Firman sambil merundukkan kepala sebentar. “Maaf ini dari saya pribadi, Pak. Bila ada waktu, sudi kiranya, Bapak menghadiri pernikahan sederhana saya 2 mingu lagi.”“Oh, Alhamdulillah, insya Allah, saya pasti datang,” sahut Danu.________Danu menatap nanar lembaran foto yang berserak, di atas meja berpelitur coklat muda di ruang tengah rumah ibunya. Ada sekitar sepuluh foto yang menampilkan gambar istrinya bersama pria lain. Foto yang diambil diam-diam di dua tempat yang berbeda.Bahkan ada foto yang Herda jalan bertiga bersama putri mereka dengan pria yang sama.Ternyata Danu begitu naif selama ini. Bukan sebentar, hampir delapa
Namun baru dua suapan kuah bakso yang masuk ke tenggorokan Kirani, tiba-tiba pandangannya tertuju pada pria yang cukup ia kenal, jalan bergandengan tangan dengan seorang wanita bergaun pendek. Kedua pasangan itu juga memasuki warung tempat Kirani dan Fatma makan.Lalu Pria itu juga nampak terkejut, saat melihat Kirani sedang duduk bersama seorang perempuan yang sedang duduk membelakangi pintu masuk.Pria yang barusan masuk, adalah Johan, mantan suami Fatma yang menikah dengan Mira, kawan lama Fatma yang dulu masuk menjadi duri dalam rumah tangganya bersama Johan.Seketika Johan terhenyak, saat melihat Kirani dan Fatma. Meski hanya melihat dari belakang saja, namun Johan yakin itu adalah Fatma. Wanita yang pernah menemaninya dalam suka dan duka hampir dua tahun lamanya, sebelum kehadiran kawan lama yang menusuknya dari belakang.Kirani tahu benar cerita mereka, karna saat Fatma dan Johan sedang di ambang perceraian, Kirani sudah kembali pulang di desa tempat mereka tinggal sekarang. Me
Kirani menatap lurus kedepan. Senyum tipis terkadang ia sunggingkan di bibir tipisnya. Sesekali ia memperhatikan penampilan Fatma yang tampak cantik manglingi, dengan kebaya pengantin warna putih. Kemudian ia bergeser sedikit kebelakang duduk tepat di samping ibu sang mempelai. Disebelah kanan Bu Minah, ada Hartini yang duduk dengan gamis biru senada dengan Kirani, hanya saja warna gamis Hartini sedikit lebih tua dari gamis yang digunakan Kirani.Hartini yang sudah hamil tua itu, malah menggeser duduknya ke samping Kirani. Selain di samping Kirani ada kipas angin yang berputar juga karna Hartini tak menyangka bila pria yang menjadi saksi pernikahan Fatma dan Firman dalah Danu. Mantan suami Kirani.Jiwa kepo Hartini pun meronta-ronta. Hartini yang memang ceplas ceplos dari kedua rekannya ini tak tahan untuk tak kepo pada Kirani tentang kehadiran mantan suaminya di acara pernikahan ini. Tumpukan pertanyaan sudah menggunung di kepala wanita berumur tiga puluh empat tahun ini.Bukan hany
Setelah selesai mengisikan nasi dan lauk untuk Sofia, Kirani bersiap untuk mengajak anak itu mencari kursi yang tak jauh dari meja prasmanan. Namun saat dirinya berbalik, hampir saja ia menabrak dada bidang seseorang pria. Pria itu memang sengaja berdiri tepat di belakang Kirani tadi, ia tak tahan untuk mengajak wanita ini berbicara. walau hanya sekadar bertanya kabar.Namun insiden yang terjadi barusan, membuat angan Kirani sedikit melayang. Meski tahun-tahun telah berlalu, namun aroma mint bercampur sandalwood dari salah satu merk parfum ternama, masih jelas di indra penciuman Kirani. Aroma ini dulu yang membuat angannya melayang. Aroma ini dulu yang akan menyatu dengan aroma vanila musk yang menguar dari tubuhnya di malam-malam hangat yang penuh cinta. Aroma ini ini mengingatkannya pada…“Saya juga lapar, Bunda!” suara berat itu menginterupsi lamunan angan Kirani. Suara itu, aroma parfum ini, adalah milik orang yang sama. Orang yang delapan tahun lalu mendekapnya penuh hangat juga
“Ran,”“Makan dulu, Mas!” bergetar suara Kirani.“Aku kangen sama, kamu.” Ia tatap wajah yang sudah sedikit memerah itu.“Aku nggak, Mas!”Namun senyum tiba-tiba terbit di wajah Danu. Senyum yang rasanya sudah lama tak menghiasi wajah berhiaskan brewok kasar yang selalu tercukur rapi.“Kirani!” Danu sudah melanggar batasannya. Ia genggam erat jemari yang sedikit bergetar itu. bahkan piring yang di pegang tangan kiri Kirani juga nampak bergetar.“Mas, lepas!” Kirani mendongak, netranya memerah, sungguh ia tak ingin orang lain melihatnya terlalu dekat dengan Danu. Danu ini sekarang suami perempuan lain.Danu rasanya hampir kehilangan kontrol. Melihat mantan wanita hampir menangis, ingin rasanya Danu mendekapnya dalam pelukan. Sebab luka itu masih jelas terlihat. Luka yang membayangi jelaga kelam itu.Kemudian Danu meremas sedikit kuat jemari yang tak terlalu halus itu, mengalirkan untaian rindunya yang hampir buncah.“Mas, lepas.” Cicit suara Kirani. Benar-benar ingin menangis rasanya.
Hampir seminggu ini, Danu tidur berganti-ganti tempat. Ada dua hari di rumah ibunya, dan sisanya ia habiskan di salah satu apartemen miliknya. Apartemen yang dulu ia cicil atas nama Kirani. Meski tak besar, namun di apartemen ini dulu dirinya kerap menghabiskan waktu memadu kasih bersama Kirani.“Mas, bosan di rumah, kita malam minggu di apartemen!” ajak Danu suatu sore pada Kirani yang baru saja selesai keramas.“Tapi langsung tidur ya, aku pegel, Mas.” keluh Kirani manja.“Iya,” sahut Danu tak janji.Apartemen minimalis, type studio. Yang mampu di cicil Danu saat itu. meski tak besar, dan sangat minimalis, namun disinilah keintiman antar dirinya dan Kirani benar-benar dekat. Semua gerak gerik yang Kirani lakukan dapat Danu pantau. Semua, apa saja yang Danu ingin lihat dari wanitanya di masa lalu.Dan seperti biasa keinginan Kirani untuk tidur saja di apartemen itu, tak pernah terjadi. Makan bersama, tidur bersama hingga mandi bersama, semua Danu tuntut pada Kirani di awal-awal perni
Herda menangis histeris!Dengan linangan air mata ia berlutut sambil memeluk kedua kaki Danu yang baru saja mengucap ikrar talak di hadapannya dengan disaksikan kedua orang tua Herda juga Firman yang dipanggil oleh Danu untuk menemani dirinya.Firman pun sudah tahu kisah lama yang pernah terjalin antara atasannya ini dengan Kirani, kawan istrinya.Cerita itu didengar dari istrinya juga diceritakan langsung oleh Danu. Saat jam makan siang kemarin.Kisah yang cukup rumit menurut Firman, namun itulah kenyataan yang ada. Kawan istrinya yang Firman panggil dengans ebutan mbak Kirani merupakan mantan istri dari atasannya. Sementara istri atasannya sekarang adalah mantan sekretaris kawan atasannya, yang ternyata melahirkan anak yang bukan anak atasannya.Duh, memikirkan itu Firman jadi pusing sendiri. Kadang-kadang apa yang dilihat orang lain dari luar belum tentu sama dengan dalamnya. Sepertia atasannya ini. Dari luar nampak berwibawa, keluarganya harmonis, punya harta yang cukup, hidupnya