Share

Bab. 2

Netra hitam pria itu menatap lurus, jauh ke depan. Menatap kerumunan padi yang mulai menguning, menandakan sebentar lagi masa panen akan tiba.

Netra itu, meski sudah tak setajam dulu, namun pemiliknya masih orang yang sama. Meski kerut di dahi sudah nampak namun ingatannya akan seorang wanita di masa lalunya tak pernah pudar.

Ada rasa sesal di dada yang bergumpal-gumpal, saat mengingat bagaimana ia menciptakan genangan air mata di pipi mulus itu.

Ada rasa sesal saat mengingat bagaimana dulu ia tega bermain api. Ia menyangka api itu akan padam. Ya memang padam, namun ada debu dan puing yang tercipta setelahnya.

Danu menghela nafas panjang. Gurat lelah nampak di wajahnya yang semakin dewasa. Mungkin sudah tujuh atau delapan tahun berlalu, namun ia tak pernah bosan berkunjung ke desa ini. Melihat hamparan sawah yang begitu luas, juga menatap rumah yang nampak terpisah sendiri dari rumah penduduk lainnya. Selain terpisah sendiri, rumah itu juga terlihat kumuh sendiri di antara rumah-rumah yang lain.

Setiap akhir pekan, kadang juga tak perlu menunggu akhir pekan datang. Danu akan melarikan diri ke desa ini. Menatap sawah-sawah yang berganti tanamannya setiap empat bulan sekali, juga menatap lama, rumah semi batu berwarna putih di sebelah kiri. Tepat di belakang pohon mangga yang rimbun daun dan buahnya.

Sengaja berlama-berlama, menanti sang pemilik rumah keluar atau beraktivitas di luar rumah itu.

Sesekali ingin rasanya ia mendekat, sekadar menyapa atau bertanya kabar. Namun, meski wanita itu betah menyendiri, tapi waktu tak lagi sama. Waktu tak lagi bisa membuatnya bebas mendekati wanita itu. Waktu tak lagi bisa membuatnya minta dilayani, waktu tak lagi bisa membuatnya menyentuh helai rambut legam yang sekarang lebih sering tertutup kain jilbab.

Memang benar api yang dulu Danu nyalakan akhirnya padam, seiring dengan kepergian Kirani dan juga kehamilan kekasih gelapnya.

"Mas mohon ampun. Tetaplah bertahan denganku, Sayang." 

Danu menekuk lutut, membuang egonya sebagai pemimpin di depan Kirani yang sedang sibuk memindahkan beberapa helai pakaiannya dari lemari putih besar itu kedalam koper hitam.

"Jangan begini, Mas." 

Air mata itu luruh, cintanya pada pria berkulit coklat ini begitu besar, namun luka pengkhianatan itu juga jelas terjejas.

Kehilangan anak yang dinanti-nanti bersamaan dengan hadirnya wanita lain dalam rumah tangga mereka, sungguh adalah rasa sakit yang paling nyata yanng Kirani rasakan saat itu.

Ia menangisi berhari-hari kepergian buah hatinya, juga menangisi cintanya di tiap-tiap malam menjelang tidur.

Meski Danu mengatakan benar-benar menyesali semuanya dan telah selesai dengan perempuan itu, namun pesan-pesan rindu wanita itu pada suaminya, sangat mengganggu batin wanita sabar ini.

Setelahnya rumah tangga mereka kembali dingin, seiring dengan seringnya sang suami lembur dan keluar kota.

"Mengapa, kau menyerah dengan pernikahan kita, Kiran?"

Danu berdiri dengan setelah pas badan. Menampilkan tubuh terjaga pria itu.

"Aku, tak bisa menahan sakit ini, Mas. Aku hanya ingin menjadi satu-satunya." Pelan Kirani mengucap itu, menatap lekat suaminya yang nampak berbeda penampilannya hari ini.

"Aku mencintaimu, Kirani. Hanya ada namamu di hatiku." 

Kali ini tak ada tatapan romantis dari lelakinya itu. Prianya itu seperti sedang menyembunyikan sesuatu.

Lalu firasat Kirani terbukti, dengan gambar-gambar di kamar hotel yang dikirimkan dari nomor tak dikenal ke ponsel Kirani di siang yang mendung itu.

Gambar yang cukup menjelaskan bagaimana Kirani sudah tak diinginkan menjadi ratu di rumah suaminya.

Gambar yang pada akhirnya, membuat Kirani nekat meninggalkan rumah suaminya, hanya dengan beberapa helai pakaian dan sedikit tabungan yang ia miliki.

Kirani nekat, pergi jauh membawa harga dirinya yang terluka dibawah guyuran hujan yang mengamuk bumi hari itu.

Kepergian yang akhirnya menimbulkan penyesalan yang terdalam pada seorang Danu Adiwilaga.

"Bundaaa!" 

Suara anak kecil perempuan mengalihkan perhatian Danu yang baru saja ingin menyalakan mesin roda empat itu.

Oh, rupanya anak kecil yang beberapa kali Danu lihat menyambangi rumah mantan istrinya.

"Hei, Sayang...dari mana, Nak?"

Suara lembut itu, kembali mengalihkan perhatian Danu, bukan hanya mengalihkan perhatiannya, namun juga membuat jantungnya dua kali lipat bertalu dengan cepat.

Wajah itu, semakin cantik dengan aura keibuan di usianya yang hampir tiga puluh tiga tahun. 

Umur dua puluh tiga Danu menikahinya, umur Dua puluh lima, Kirani menjandakan dirinya karna tak sanggup di duakan.

Satu hal fatal yang Danu buat dalam hidupnya, hingga membuatnya kehilangan wanita berwajah teduh ini.

"Tadi baru pulang sekolah, Bunda. Fia sama papa kebetulan lewat sini," jelas bocah lima tahun itu dengan wajah sumringah.

Di depannya terlihat seorang pria berumur kira-kira empat puluh tahun, rambut cepak dan tubuh cukup berisi namun tidak gemuk.

Terlihat Kirani mengangguk hormat dan sopan pada ayah murid mengajinya itu, kemudian di balas dengan anggukan dan senyum dari pria bersahaja itu.

Tiba-tiba, ada rasa tak suka yang timbul di hati Danu, melihat interaksi yang biasa itu.

Pantas kah? Mungkin tak pantas lagi baginya cemburu, namun rasa itu hadir tanpa di undang.

"Bunda mau kemana?" tanya Sofia.

"Mau ke pasar, Sayang." Kirani menjawil pipi dan merapikan rambut anak kecil itu yang berantakan.

"Ayo, papa sama Fia, antar, Bunda," tawar anak itu penuh harap.

"Nggak usah, Sayang. Bunda, sudah janjian sama bunda Fatma."

Kirani menolak secara halus. Penolakan yang sedikit menimbulkan rasa kecewa di wajah Sofia dan di hati ayah anak itu.

---

"Dari mana kamu, Mas?" 

Tatapan sinis dan suara kemarahan menggema di ruang tamu rumah besar itu. Hal yang beberapa tahun ini Danu dapatkan sebagai sambutan dari wanita yang berhasil memisahkan dirinya dan Kirani.

Dicemburui, dikekang, tak dilayani dengan baik hingga tak dihargai. Perlakuan itu, semua Danu dapatkan dari Herda. Tak ada lagi suara manja yang menawan hatinya, tak ada lagi belaian dan rayuan maut untuk dirinya. Semua berubah, seiring aset dan rumah berubah kepemilikan atas nama perempuan pesolek itu.

“Ditanya, koq diem aja. Nggak suka? Hah? Silahkan, kamu angkat kaki keluar dari rumah ini, Mas, kalau nggak suka aku tanya-tanya.” Suara Herda semakin meninggi, hingga membuat kepala Danu menjadi semakin pening. Bayangan wajah ayu Kirani yang disamperin anak kecil tadi, sangat mengganggu benaknya, ditambah dengan sambutan kasar dari istrinya ini, malah membuatnya semakin pening saja. andai tak ada larangan bagi laki-laki memukul perempuan? Rasa-rasanya Danu ingin menghajar mulut perempuan yang sudah menjadi istrinya ini.

“Atau jangan-jangan, kamu baru habis dari selingkuhanmu, Mas?” tuduh Herda mulai berapi-api.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
pelakor selalu terdepan. dapat suami orang juga hartanya bersama istri pertama
goodnovel comment avatar
Heni Hendrayani
dengan manusia kek gitu bertahan ampe 8 tahun rumah tangga d tipu pula lah dengn cewek baik cuma bertahan 3 tahun lalu selingkuh sayang banget kalau harus balikan ama kirani yg baik kaya gak ada laki lain aja kalU sampe balikn
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status