Share

Bab. 4

“Ini foto yang, Bapak minta.” Dengan sopan Firman meletakkan sebuah amplop coklat berisi foto-foto kegiatan Herda selama ini jika Danu sedang keluar kota.

“Terima kasih, Firman. Kau sudah bersusah payah membantuku,” ucap Danu sambil memegang amplop yang Firman antarkan.

“Sudah tugas, saya sebagai anak buah, Pak. Siap menerima dan menjalankan tugas.”sahut Firman sambil merundukkan kepala sebentar. “Maaf ini dari saya pribadi, Pak. Bila ada waktu, sudi kiranya, Bapak menghadiri pernikahan sederhana saya 2 mingu lagi.”

“Oh, Alhamdulillah, insya Allah, saya pasti datang,” sahut Danu.

­­­­________

Danu menatap nanar lembaran foto yang berserak, di atas meja berpelitur coklat muda di ruang tengah rumah ibunya. Ada sekitar sepuluh foto yang menampilkan gambar istrinya bersama pria lain. Foto yang diambil diam-diam di dua tempat yang berbeda.

Bahkan ada foto yang Herda jalan bertiga bersama putri mereka dengan pria yang sama.

Ternyata Danu begitu naif selama ini. Bukan sebentar, hampir delapan tahun dia menjadi lelaki yang seperti tak punya harga diri di hadapan istri keduanya.

Sifat memelas, wajah mendamba, keluhan manja yang dulu sering Herda utarakan padanya, ternyata hanya akal-akalan wanita muda itu untuk memisahkan dirinya dari Kirani.

Dulu Danu masih cukup muda saat menikah dengan Kirani, jiwa mudanya masih bergejolak, geloranya masih meledak-ledak. Saat dibisikan sedikit saja, hal yang sensitif makanya, naluri lelakinya untuk melindungi langsung merespon, tanpa melihat batasan yang sepantasnya.

“Kenapa, nggak datang  kemarin waktu meeting?” Danu, bertanya pada Herda siang itu saat jam istirahat berlangsung. Biasanya perempuan ini akan mendampingi pak Nando-rekan kerja Danu.

“Saya lagi jalan, cari pinjaman kemarin, Pak,” jawab Herda dengan wajah memelas.

“Pinjaman? Untuk apa? Koq nggak minjam di kantor saja?” Danu kembali bertanya sambil memperhatikan penampilan Herda yang nampak sopan.

“Eh itu, Pak. Saya malu, Pak. Dua bulan lalu sudah minjem. Tapi ini saya butuh lagi.” Wajah Herda sudah dibuat sendu.

Danu cukup heran, mengapa karyawan biasa seperti Herda bisa pinjam uang sana sini, kemudian lelaki ini kembali tergelitik untuk bertanya kesusahan apa kiranya yang menimpa perempuan muda ini.

“Emangnya, kamu lagi susah apa, sampai harus minjem?” selidik Danu, dengan mata yang masih tak ingin berpaling dari wajah sendu yang sengaja dibuat-buat oleh Herda.

“It-itu Pak, ibu saya sakit dan kontrakan rumah kami sudah hampir habis waktunya,” jawab Herda sambil menunduk sedih.

Setelah itu, Danu meminta Herda untuk menghadap ke ruangannya sebelum jam pulang nanti.

“Ini, kamu pakai tahan-tahan ya. Mudah-mudahan bisa membantu.” Danu langsung menyerahkan amplop berisi lembaran uang berwarna merah pada Herda saat perempuan itu masuk ke ruang kerja Danu di lantai dua.

“Ya Allah, Pak. Terima kasih banyak. Tapi saya bayarnya bagaimana, Pak. Saya masih ada utang diluar yang kemarin.” Keluh Herda lagi, namun tangannya sudah menggenggam amplop pemberian Danu dengan erat.

“Nggak apa-apa, kamu pakai saja.” Danu tersenyum melihat gurat bahagia yang terlukis di wajah perempuan itu.

“Terima kasih, banyak, Pak!” ucap Herda dengan mata berbinar.

Dan betapa Danu ikut bahagia melihat perempuan itu juga nampak bahagia dengan pemberiannya.

Sejak saat itu komunikasi keduanya selalu berlanjut. Awalnya Herda yang sering mengirim ucapan terima kasih yang berulang. Lalu biasanya chat-chat mereka semakin melebar hingga larut malam, bahkan Herda tak segan bertanya, Danu sudah makan atau belum, mengirim pesan hati-hati dijalan, dan kalimat lain yang bisa menawan hati pria ini.

“Jalan yuk, Bro. hangout sekali-kali.” Ajak Willi rekan kerja mereka yang lain.

“Aih, Kirani nggak suka jalan ke tempat gituan, paling banter ke mall. Istri sholeha dia, mah.

“Ya, jangan sama Kirani lah. Istri tuh khusus untuk di rumah, di luar tuh sekali-kali sama yang lain, hahaha.” Seloroh Willi, mengajak Danu untuk mengikuti jejak kelamnya bersama wanita-wanita di luar sana.

Dan hari itu dimulaikah petualangan buruk Danu bersama rekan yang lain juga bersama Herda.

Tiga tahun bersama dengan sikap nrimo dan tanpa drama dari Kirani, ditambah dengan belum hadirnya anak antara mereka, membuat rasa bosan dirumah namun senang di luar, membuat Danu semakin jauh tenggelam. Ditambah dengan pelayan Herda yang semakin berani padanya, membuat dunia lelaki ini semakin menjauh dari kata setia, hingga keputusan Kirani untuk menjauh, menyadarkannya sedikit dari kekhilafan.

Namun saat ia ingin meraih Kirani untuk kembali, rupanya masa sudah tak sama. Kirani sudah menjauh, terlalu jauh hingga sulit dijangkau. Perempuan sabar dan pendiam ini, menjauhkan dirinya, meninggalkan hidup berkecupukan di rumah besar suaminya. Pergi jauh membawa lukanya, kembali ke desa asal tempatnya di besarkan. Meski hidup sangat sederhana dan pertanyaan-pertanyaan tetangganya yang cukup menganggu, namun Kirani telah mengambil keputusannya. Pergi menjauh, tinggalkan sesal yang mendalam pada seorang lelaki yang dulu, hampir tiap malam membuat air matanya mengamuk diatas bantal pembaringan mereka yang semakin dingin.

“Coba dulu, kamu tidak bermain api dengan Herda, Nu, mungkin kamu dan Kirani sudah punya anak juga.” Bu Maryam mendekati putranya yang nampak tak bersemangat pagi ini. segelas teh beraroma melati dan sepiring kue bolu pandan buatan tangan hangat beliau, ikut di sajikan dalam piring kaca bening berwarna coklat.

Danu diam, hatinya bercelaru. Bayangan wajah teduh Kirani yang nampak semakin keibuan, bayangan anak kecil bersama ayahnya yang menghampiri Kirani, bayangan perselingkuhan Herda, bayangan Dinar, putri kecil yang tak tahu apa-apa. Juga bayangan lelaki yang bersama Herda di foto itu, lelaki yang sangat Danu kenal, semua menari, seolah mengejek kebodohan dan kenifannya selama ini.

“Aku habis bertemu Kirani, Bu.” Malah kalimat itu yang ia lontarkan. Kalimat yang langsung membuat wajah ibunya terlihat ceria.

“Benarkah? Dimana kamu melihatnya. Ibu rindu sekali sama Rani, bagaimana keadaannya sekarang?” bertub-tubi bu Maryam mengungkapkan rasa bahagia yang tiba-tiba hadir. Beliau ingat betul bagaimana Kirani mempelakukannya begitu sopan selama ini. Bahkan saat beliau meminta Kirani pada ibunya untuk di jodohkan dengan Danu, perempuan itu hanya mengangguk pasrah saja.

Bukan bu Maryam tak mengenal orang tua Kirani, mereka kenal. sangat kenal. Bahkan dengan almarhum ayah Kirani, sebenarnya bu Maryam masih ada hubungan kekerabatan. Bu Maryam pun berasal dari desa yang sama dengan ayah Kirani, namun beliau merantau ke kota sudah cukup lama, hingga di desa itu mereka sudah tak ada rumah.

Namun perpisahan Kirani dan Danu, membuat beliau rasanya tak punya muka untuk bertemu mantan besannya di desa itu.

Apalagi perpisahan keduanya akibat dari perselingkuhan yang Danu lakukan.

Danu mengatakan ia khilaf saat ibunya mengamuk di hari pertama Kirani pergi.

“Mana ada khilaf? Tidak ada yang namanya khilaf dalam perselingkuhan. Memang kamu sama-sama ga*al dengan perempuan itu!” raung bu Maryam dengan deraian air mata. Bahkan berhari-hari ia menelpon Kirani hanya untuk mengungkapkan penyesalan beliau. Dan Kirani dengan sabar ikut menenangkan mertuanya yang nampaknya sama terlukanya dengan dirinya.

“Saya sengaja datang ke desa hanya untuk melihat dia, Bu,” jawab Danu pelan.

“Bagaimana keadaannya? Ibu rasanya ingin sekali bertemu. Ingin menelpon juga, tapi sepertinya nomorya sudah di ganti,” tukas bu Maryam membayangkan wajah teduh mantan menantunya.

“Saya, nggak bicara, Bu. Saya hanya melihat dari jauh.”

“Apa, dia sudah menikah?” tanya bu Maryam. Beliau bahkan berharap mantan menantunya itu belum menikah, meski delapan tahun sudah berlalu. Sudah cukup lama untuk Kirani hidup sendiri.

“Nggak tahu, Bu. Mudah-mudahan belum,” ucap Danu penuh harap.

“Andai ibu punya anak laki-laki satu lagi, ibu akan membujuk mati-matian agar Kirani mau lagi jadi mantu ibu. Dan kamu hiduplah dengan Herda, jauh-jauh. Tapi, sayang anak ibu Cuma kamu, Nu. Itupun ibu sama bapakmu hampir sepuluh tahun baru bisa dapat kamu.” Bu Maryam menerawang, dipikiran dipenuhi bermacam andaian.

Danu yang mendengar itu, hatinya malah tersentil. Bukan hanya ibunya yang menginginkan Kirani kembali, namun juga dirinya. Melihat Kirani kemarin di dekati anak kecil dan ayahnya saja, masih timbulkan rasa cemburu di hati pria tiga puluh delapan tahun ini.

“Ibu ingin sekali bertemu, Kirani. Apa dia akan menerima ibu, bila ibu sambang ke desa?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status