Share

Bab. 5

Namun baru dua suapan kuah bakso yang masuk ke tenggorokan Kirani, tiba-tiba pandangannya tertuju pada pria yang cukup ia kenal, jalan bergandengan tangan dengan seorang wanita bergaun pendek. Kedua pasangan itu juga memasuki warung tempat Kirani dan Fatma makan.

Lalu Pria itu juga nampak terkejut, saat melihat Kirani sedang duduk bersama seorang perempuan yang sedang duduk membelakangi pintu masuk.

Pria yang barusan masuk, adalah Johan, mantan suami Fatma yang menikah dengan Mira, kawan lama Fatma yang dulu masuk menjadi duri dalam rumah tangganya bersama Johan.

Seketika Johan terhenyak, saat melihat Kirani dan Fatma. Meski hanya melihat dari belakang saja, namun Johan yakin itu adalah Fatma. Wanita yang pernah menemaninya dalam suka dan duka hampir dua tahun lamanya, sebelum kehadiran kawan lama yang menusuknya dari belakang.

Kirani tahu benar cerita mereka, karna saat Fatma dan Johan sedang di ambang perceraian, Kirani sudah kembali pulang di desa tempat mereka tinggal sekarang. Mengalami nasib yang serupa, membuat Fatma jadi banyak curhat pada Kirani saat itu. Meski waktu itu, Kirani juga sedang sibuk membilas luka-luka hatinya yang berdarah, akibat pengkhianatan, namun Kirani akan duduk tenang mendengarkan curhatan Fatma yang penuh emosional.

Kirani tak memberi respon apapun pada Johan yang balik menatapnya. Ingin memberi respon apa, pada orang yang sudah berkhinat. Kirani biarkan dua manusia itu dnegan rasa malunya, ia juga tak memberi kode pada Fatman, bila mantan suaminta dan istrinya mudanya juga ada disini.  Lalu bagaimana dengan Mira.  Wanita kedua perebut suami sahabatnya itu, terlihat kikuk dan malu pada Kirani yang lebih tua darinya lima tahun. Ingin ia tersenyum pada Kirani, namun bibirnya kelu, melihat siapa yang makan bersama guru mengaji itu.

Tetiba rasa laparnya yang ingin makan mie ayam bakso, menguap begitu saja. Malah, andai tidak malu pada yang punya warung, ingin rasanya Mira pulang dan tak muncul-muncul di hadapan mantan istri, suaminya.

“Habisin cepat, Fat! Habis ini kita pulang, aku tadi belum sempat sapu teras,” pinta Kirani pada Fatma. Ucapan itu sebenarnya adalah kode juga buat Fatma, sebab Kirani melihat Johan dan Mira begitu salah tingkah.

“Belum sapu teras, atau nggak sabar lihat Sofia dan ayahnya?” canda Fatma pada Kirani. Wanita berlesung pipi ini, sungguh sangat ingin melihat Kirani dan ayahnya Sofia berjodoh.

“Apaan, sih, kamu Fat. Nggak enak didengar orang nanti, dikiranya aku, janda gatal,” Bisik Kirani pelan.

Namun kata-kata Kirani barusan malah membuat tawa Fatma meledak.

“Mana ada orang bilang begitu, yang ada mereka pada segan sama bunda Rani.”

Abdul Gani-ayah Sofia-, masih sepupu dua kali dengan Fatma dari ayahnya, sementara Hartini kawan mereka satu lagi, juga sepupu Gani dari pihak ibunya. Kedua kawan dan sepupu ini sangta kompak menjodohkan Kirani dan Gani.

Toh, Gani juga sudah duda, almarhum istrinya, meninggal saat Sofia berumur kira-kira tiga atau empat tahun. Sudah cukup lama Gani hidup menduda. Selama itu pula Fatma dan Hartini, tak pernah mendengar berita atau cerita miring tentang Gani dan perempuan. Pria duda itu lurus-lurus, saja hidupnya, meski karirnya sebagai karyawan salah satu BUMN di batas kota sana, bisa membuatnya mencari wanita mana saja yang ia inginkan, namun, Gani adalah pria yang tahu batasan dan etika.

Umur yang hampir empat puluh, malah membuat Gani, menepi sedikit dari hiruk pikuk Dunia. Ia takut terjerumus dalam dosa, sebab biasanya pria bila memasuki umur empat puluh tahun, sikap dan sifatnya akan kembali seperti usia dua puluh tahun. Pubernya pun demikian, kadang-kadang lebih parah saat usia dua puluh tahun.

Ini nyata, ada beberapa kawan kerja yang Gani lihat. Usia empat puluh tahun, namun beberapa kali terlihat menggandeng wanita muda yang bukan istrinya. Bukan Cuma satu dua kawannya yang seperti itu. namun ada beberapa.

Yang paling parah, malah ada yang nekat membawa selingkuhannya keluar kota, padahal di rumah anak-anaknya sudah besar-besar. Dan tentu saja bila sudah keluar kota, mereka akan bebas berbuat intim di kamar hotel. Astagfirullah.

“Syukurlah kalau gitu, aku takut saja, Fat.” Kirani masih berbisik. Wanita ini sempat mencuri pandang pada pasangan yang duduk di pojokan.

“Memangnya bunda Kirani, ini seperti janda-janda lain kah, bunda Kirani janda terhormat, bukan seperti janda yang sengaja merebut suami orang, apalagi merebut suami kawan sendiri,” tandas Fatma.

Sontak saja, Kirani sedikit khawatir mendengar ucapan Fatma yang nampak seperti sindiran pada mantan suaminya. Padahal Fatma hanya berkata apa adanya saja, bukan karna mengetahui keberadaan mantan suami dan mantan sahabatnya yang sudah menjadi suami istri, namun karna Fatman pernah merasakan pengkhianatan yang seperti itu.

“Duh, iya-iya, ayo habisin, habis itu kita bayar,” ucap Kirani lagi dengan pelan.

“Aku sudah selesai, biar aku yang bayar Ran, sekalian mau bungkusin satu buat si bumil Tini.”

“Ok, kita lewat depan rumahnya berarti sebentar.”

Kemudian Fatma berdiri dan menuju kasir sekaligus pemilik warung, namun tiba-tiba langkahnya terhenti sejenak, tak menyangka ia bisa melihat mantan suaminya dan kawan yang dulu membuatnya menjadi janda. 

Sejenak, Fatma menarik nafas panjang, kemudian menghembuskan dengan pelan. Lalu ia menguasai dirinya dan berjalan dengan kepala tegak ke arah kasir. Meski tadi netranya sempat bersirobok dengan kedua manusia yang pernah membodohinya di masa lalu, namun Fatma memutus kontak dengan cepat, malah tadi menatap jengah ke arah keduanya. Membuat Johan dan Mira semakin salah tingkah.

__

“Aduh, bagaimana ini,” Herda risau dan gelisha dari semalam. Danu yang tak biasanya marah lama-lama dan tak biasanya tak pulang, membuat Herda was-was juga. Meskipun rumah dan mobil sudah menjadi aset atas namanya, namun aib yang Danu beberkan semalam, cukup membuatnya khawatir. Tentu ia tak ingin nama baiknya tercoreng. Selama menjadi istri Danu, Herda senang menghadiri acara-acara kantor suaminya, bukan karna memang senang mendukung karir suami, namun untuk menujukkan, hidup sosialita yang ia punya. Meski istri-istri karyawan senior banyak yang enggan menyapa, sebab mereka tahu siapa dan bagaiman Herda dulu mendapatkan Danu.

“Aku harus menghubungi mas Danu, harus kubujuk!” gumam Herda, sudah gelisah sendiri.

Segera ia menekan kontak Danu di layar ponsel yang bergambar apel digigit, namun hingga panggilan ke tiga, deringan ponsel pria tak kunjung berbunyi.

Lalu ia semakin panik, saat panggilan masuk dari nomor tukang kredit, di ponsel mahalnya.

__

Kirana mematut diri di cermin. Ia nampak cantik  dan elegan dengan gamis brokat warna biru laut dengan dilengkapi renda dan sedikit payet dibagian dada. Jilba warna biru yangs setingkat warnanya diatas warna bajunya semakin mempertegas kecantikan dan keayuan perempuan berkulit kuning langsat ini. Make up pun tak glamour, hanya riasan tipis, tadi Hartini yang datang mendadani wajah bulatnya. Ibu Hamil itu memang hobbi menonton cara makeup-makeup di yotube. Sementara kirani dan fatma lebih senang melihat acara masak-masak dan makan-makan.

Hari ini adalah pernikahan kedua Fatma. Meski pernikahan kedua, namun Firman, calon suaminya seorang single yang belum pernah menikah.

Kirani akan sibuk di pernikahan sahabatnya itu, sebab dirinya di daulat menjadi pengiring penagntin dan juga Kirani akan memperhatikan konsumsi untuk tamu-tamu yang akan hadir.

Segera tangan lentiknya menyambar tas hitam. Tas pesta murah, yang Kirani beli di pasar minggu. Meskipun murah, namun nampak cantik dan elegan. Lalu ia segera keluar saat  Hartini dan suaminya sudah datang menjemput menggunakan roda empat yang mereka miliki.

__

Danu tidak asing dengan daerah ini. salah satu bawahannya, menikah dengan perempuan yang berasal dari desa yang sama dengan Kirani. Ia pun ingat, bila rumah Kirani sepertinya tak terlalu jauh dari sini. Danu di daulat untuk mengantar dan menjadi saksi pengantin.  Para karyawan bersemangat mengiringi acara pengantin Firman. Karna dilakukan hari minggu, kewan kerja mereka juga ingin melihat air terjun yang katanya tak terlalu jauh dari rumah mempelai perempuan.

Hitung-hitung refreshing ini.

Danu hanya mengantar pengantin saja, namun entah mengapa, hatinya berdebar cukup cepat, bahkan kelopak mata sebelah kanannya ikut berkedut diiringi sehelai bulu mata yang jatuh di pipi berhiasakan cambang kasar itu.

Sebentar lagi akad nikah di mulai, Danu sudah duduk pada tempat yang sudah disediakan. semua sudah hadir termasuk penghulu dan mempelai laki-laki. Para tamu juga sudah banyak yang hadir. Rekan kerja mereka saja tadi ada sekitar lima mobil.

Rasanya syahdu di pernikahan kedua Fatma ini, bukan hanya karna pujia-pujian ilahi yang terdengar dari sound system namun juga mendung tipis yang menggelayut di langit biru, membuat cuaca terasa sejuk.

Sesekali Danu menoleh kiri, kanan dan ke belakang, berharap ada seseorang yang membuat debaran di jantungnya hadir di pesta ini.

“Mempelai wanita memasuki ruangan akad nikah.” Begitu aba-aba yang terdengar dari seorang MC perempuan berhijab yang di daulat memandu jalannya pernikahan Fatma dan Firman hari ini.

Danu kemudian berbalik, menatap ke arah yang sama dimana mempelai perempuan akan datang.

Dan…

“Masya Allah,” Danu menggumam lirih. Debaran di dadanya semakin menggila. Mungkin wajahnya pun sudah memerah, demi melihat wanita bergamis biru yang menuntun sang mempelai wanita dengan khidmat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status