Share

Bab. 7

Setelah selesai mengisikan nasi dan lauk untuk Sofia, Kirani bersiap untuk mengajak anak itu mencari kursi yang tak jauh dari meja prasmanan. Namun saat dirinya berbalik, hampir saja ia menabrak dada bidang seseorang pria. Pria itu memang sengaja berdiri tepat di belakang Kirani tadi, ia tak tahan untuk mengajak wanita ini berbicara. walau hanya sekadar bertanya kabar.

Namun insiden yang terjadi barusan, membuat angan Kirani sedikit melayang. Meski tahun-tahun telah berlalu, namun aroma mint bercampur sandalwood dari salah satu merk parfum ternama, masih jelas di indra penciuman Kirani. Aroma ini dulu yang membuat angannya melayang. Aroma ini dulu yang akan menyatu dengan aroma vanila musk yang menguar dari tubuhnya di malam-malam hangat yang penuh cinta. Aroma ini ini mengingatkannya pada…

“Saya juga lapar, Bunda!” suara berat itu menginterupsi lamunan angan Kirani. Suara itu, aroma parfum ini, adalah milik orang yang sama. Orang yang delapan tahun lalu mendekapnya penuh hangat juga memberinya luka yang menganga.

Hampir saja hidung bangir Kirani menabrak dada yang tertutup jas abu-abu itu. sejenak Kirani mendongak menatap pemilik suara itu.

“Oh maaf, Mas. silahkan.” Kirani bergeser memberi ruang pada Danu yang sengaja berdiri tadi di belakangnya, kemudian Kirani melangkah dengan sambil menunduk.

“Beri aku waktu sebentar saja, Ran. Lima menit saja, izinkan aku berbicara denganmu,” pinta Danu saat ia berhasil menahan siku kiri Kirani.

Tak ingin menjadi pusat perhatian orang banyak, Kirani pun mengangguk. Meski sejak tadi Ayah Sofia sudah memperhatikan mereka, terutama gerak gerik Danu. Abdul Gani tak tahu siapa pria yang mendekati bunda Kirani, namun ia sedikit merasa tak suka.

Kemudian Danu mengikuti langkah kirani yang duduk di sebelah Sofia. Entah mengapa anak ini sedikit tak suka dengan kehadiran om-om yang mengikuti bunda Kirani.

“Apa yang ingin dibicarakan, Mas?” tanya Kirani begitu sopan. Tangannya pun sambil menyuapi Sofia yang duduk di sebelah kirinya.

Sementara dari atas pelaminan, nampak Fatma dan Firman sesekali memperhatikan ke arah mereka. Firman pun belum tahu kalau Kirani adalah mantan istri dari atasannya.

“Maaf, mengganggumu sebentar. Bagaimana kabarmu?” tanya Danu sambil melirik wajah ayu yang nampak semakin cantik dimatanya.

“Alhamdulillah, baik, Mas.” jawab Kirani pelan. Wanita ini pun tak balik bertanya.

“Apa pernah lihat kuburan anak kita?” tanya Danu lagi.

“Sudah agak lama nggak pergi, Mas. selain cukup jauh, juga karna aku kerja di TK swasta, sorenya aku ngajar ngaji, Mas.”

“Kamu, ngajar?”

“Nggak, Mas. staf administrasi saja, kalau ngajar harus minimal D.3 Mas. aku kan, hanya lulus SMU.”

Kirani memang tak kuliah, selain biaya yang terbatas dari orang tuanya yang hanya petani juga karna cepat menikah. Setelah menikah dengan Danu pun, ia hanya fokus mengurus rumah tangga dan suaminya kala itu.

“Kamu, kerasan kerja begitu?” Danu masih bertanya. Apa saja yang ia tanya, hanya agar ia bisa mendengar suara wanita ini.

“Insya Allah kerasan, Mas. aku bisa bertemu anak-anak dan rekan-rekan guru, juga orang tua murid. Bisa sedikit mengobati rasa rinduku pada anakku dulu,” jelas Kirani.

“Maafkan, aku.” Danu menunduk.

“Tidak apa-apa, sudah berlalu.” Kirani membalas dengan tegar.

“Bagaimana dengan gajinya, apa cukup, Ran?” tanya Danu lagi. Sebenarnya Danu ingin memberikan nafkah untuk Kirani, selagi mantan istrinya itu belum menikah, namun dengan sopan Kirani menolak. Sebab ia pun tak ingin nafkah itu nanti jadi masalah bagi keluarga baru Danu.

“Alhamdulillah saya, cukup-cukupkan, Mas.”

Sebenarnya Kirani juga membuka usaha kelontong kecil-kecilan di rumahnya. Kebetulan ia masuk sekolah hanya sampai jam 12 saja, pun Cuma sampai hari jum’at. Tak banyak yang di jual, hanya yang penting-penting saja. seperti bumbu dapur, detergen, sabun mandi juga jajanan. Halaman samping rumahnya yang luas, digunakan Fatma, Hartini dan Kirani untuk membuka TPQ. Alhamdulillah muridnya cukup banyak. Mereka pun tak dikenakan biaya, hanya infaq semampu dan seiklasnya.

Dari gaji sebagai staf administrasi sekolah dan hasil usaha kelontong lah Kirani menghidupi dirinya. Kadang-kadanga kalau sempat, Kirani akan membuat keripik dan donat kemudian dititipkan di warung sekolah. Untuk beras, tak perlu khawatir, alhamdulillah, meski tinggal di desa, namun orang tua Kirani meninggalkan warisan sawah tiga petak. Semuanya digarap oleh paman Kirani dari pihak ibunya. Hasilnya dibagi dua. Itu  sudah lebih dari cukup untuk Kirani yang memang sudah hidup sederhana dari dulu.

Lima menit yang Danu minta sudah hampir berlalu, namun pria ini rasanya enggan beranjak. Ada yang harus Danu beritahukan pada Kirani. Hal penting dalam hidupnya, meski mungkin terlalu cepat namun Danu, tak ingin semua semakin terlambat.

“Rani!” Danu menyebut nama itu.

“Ya,” Kirani menoleh sebentar namun tak menatap wajah mantan suaminya.

“ Apa masih ada perasaan kamu untuk, aku?” Danu bertanya sekaligus berharap.

Sejenak Kirani memejam mata, menetralkan degupan jantungnya yang berubah sedikit cepat. Ia tak menyangka mantan suaminya akan menanyakan hal ini. sementara sendok yang berisi makanan untuk ia suapkan ke Sofia, belum juga berpindah tempat dari piring melamin putih itu.

“Saya tidak mungkin menyukai suami orang, Mas. saya pernah tahu rasanya dikhianati.” Jawab kirani dengan pelan. Meski hatinya sedikit tak jujur namun, ia tak ingin mengulang luka dan cerita yang sama.

“Herda selingkuh!, anak yang dilahirkan bukan anak aku. Dia hanya menjebakku, Ran!”penuh emosi dan penekanan. Danu menjelaskan dengan cepat. Berharap Kirani memberinya kesempatan kedua. “Dia hanya ingin melihat kita berpisah, Ran.” Danu melanjutkan dengan pelan. Tersadar bila emosinya hampir tak terkontrol.

Kirani cukup terkejut, bukankah perempuan itu dulu begitu tergila-gila. Bahkan ia sempat mengirimkan foto-foti dirinya dan Danu di sebuah hotel, juga bukti transfer uang yang tak sedikit.

“Maaf, Mas. itu urusan, Mas dan dia, bukan urusanku lagi. Kisah kita sudah selesai.” Ada kaca yang mengaburkan pandangan itu. kaca embun yang tiba-tiba datang mengumpal hampir saja terjatuh jika tak ada kelingking yang menghapus dengan cepat. Dan semua itu Danu lihat.

“Aku mohon, Ran! Beri aku kesempatan, aku ingin kita kembali.” Penuh harap dan emosi jiwa Danu mengucap itu. raut wajahnya pun nampak seperti orang gusar. Beberapa rekan kerja bahkan memeprhatikan mereka, dan ada dua rekan kerja senior yang menyadari siapa perempuan yang Danu ajak bicara. Mereka tahu Kirani adalah mantan istri rekan mereka.

“Silahkan makan dulu, Mas. aku masih harus bantu-bantu dulu!” Kirani rasanya ingin pulang saja. ia tak menyangka hari ini perasaannya kembali di koyak masa lalu yang tiba-tiba hadir.

“Ran,”

“Makan dulu, Mas!” bergetar suara Kirani.

“Aku kangen sama, kamu.” Ia tatap wajah yang sudah sedikit memerah itu.

“Aku nggak, Mas!”

Namun senyum tiba-tiba terbit di wajah Danu. Senyum yang rasanya sudah lama tak menghiasi wajah berhiaskan brewok kasar yang selalu tercukur rapi.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Scolastika Susetyani
sungguh sangat tolol & bodoh kalau sampai Kirani masih menerima serta balik lagi ke dalam pelukan Danu............
goodnovel comment avatar
Bintang ponsel
bodohnya klo masih mau sma manusia sampah kyk danu, kyk gk laku aja jgn bodoh lah rani
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
mampuslah kau kirani. ternyata kau masih mencintai laki2 sampah itu.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status