Setelah selesai mengisikan nasi dan lauk untuk Sofia, Kirani bersiap untuk mengajak anak itu mencari kursi yang tak jauh dari meja prasmanan. Namun saat dirinya berbalik, hampir saja ia menabrak dada bidang seseorang pria. Pria itu memang sengaja berdiri tepat di belakang Kirani tadi, ia tak tahan untuk mengajak wanita ini berbicara. walau hanya sekadar bertanya kabar.
Namun insiden yang terjadi barusan, membuat angan Kirani sedikit melayang. Meski tahun-tahun telah berlalu, namun aroma mint bercampur sandalwood dari salah satu merk parfum ternama, masih jelas di indra penciuman Kirani. Aroma ini dulu yang membuat angannya melayang. Aroma ini dulu yang akan menyatu dengan aroma vanila musk yang menguar dari tubuhnya di malam-malam hangat yang penuh cinta. Aroma ini ini mengingatkannya pada…
“Saya juga lapar, Bunda!” suara berat itu menginterupsi lamunan angan Kirani. Suara itu, aroma parfum ini, adalah milik orang yang sama. Orang yang delapan tahun lalu mendekapnya penuh hangat juga memberinya luka yang menganga.
Hampir saja hidung bangir Kirani menabrak dada yang tertutup jas abu-abu itu. sejenak Kirani mendongak menatap pemilik suara itu.
“Oh maaf, Mas. silahkan.” Kirani bergeser memberi ruang pada Danu yang sengaja berdiri tadi di belakangnya, kemudian Kirani melangkah dengan sambil menunduk.
“Beri aku waktu sebentar saja, Ran. Lima menit saja, izinkan aku berbicara denganmu,” pinta Danu saat ia berhasil menahan siku kiri Kirani.
Tak ingin menjadi pusat perhatian orang banyak, Kirani pun mengangguk. Meski sejak tadi Ayah Sofia sudah memperhatikan mereka, terutama gerak gerik Danu. Abdul Gani tak tahu siapa pria yang mendekati bunda Kirani, namun ia sedikit merasa tak suka.
Kemudian Danu mengikuti langkah kirani yang duduk di sebelah Sofia. Entah mengapa anak ini sedikit tak suka dengan kehadiran om-om yang mengikuti bunda Kirani.
“Apa yang ingin dibicarakan, Mas?” tanya Kirani begitu sopan. Tangannya pun sambil menyuapi Sofia yang duduk di sebelah kirinya.
Sementara dari atas pelaminan, nampak Fatma dan Firman sesekali memperhatikan ke arah mereka. Firman pun belum tahu kalau Kirani adalah mantan istri dari atasannya.
“Maaf, mengganggumu sebentar. Bagaimana kabarmu?” tanya Danu sambil melirik wajah ayu yang nampak semakin cantik dimatanya.
“Alhamdulillah, baik, Mas.” jawab Kirani pelan. Wanita ini pun tak balik bertanya.
“Apa pernah lihat kuburan anak kita?” tanya Danu lagi.
“Sudah agak lama nggak pergi, Mas. selain cukup jauh, juga karna aku kerja di TK swasta, sorenya aku ngajar ngaji, Mas.”
“Kamu, ngajar?”
“Nggak, Mas. staf administrasi saja, kalau ngajar harus minimal D.3 Mas. aku kan, hanya lulus SMU.”
Kirani memang tak kuliah, selain biaya yang terbatas dari orang tuanya yang hanya petani juga karna cepat menikah. Setelah menikah dengan Danu pun, ia hanya fokus mengurus rumah tangga dan suaminya kala itu.
“Kamu, kerasan kerja begitu?” Danu masih bertanya. Apa saja yang ia tanya, hanya agar ia bisa mendengar suara wanita ini.
“Insya Allah kerasan, Mas. aku bisa bertemu anak-anak dan rekan-rekan guru, juga orang tua murid. Bisa sedikit mengobati rasa rinduku pada anakku dulu,” jelas Kirani.
“Maafkan, aku.” Danu menunduk.
“Tidak apa-apa, sudah berlalu.” Kirani membalas dengan tegar.
“Bagaimana dengan gajinya, apa cukup, Ran?” tanya Danu lagi. Sebenarnya Danu ingin memberikan nafkah untuk Kirani, selagi mantan istrinya itu belum menikah, namun dengan sopan Kirani menolak. Sebab ia pun tak ingin nafkah itu nanti jadi masalah bagi keluarga baru Danu.
“Alhamdulillah saya, cukup-cukupkan, Mas.”
Sebenarnya Kirani juga membuka usaha kelontong kecil-kecilan di rumahnya. Kebetulan ia masuk sekolah hanya sampai jam 12 saja, pun Cuma sampai hari jum’at. Tak banyak yang di jual, hanya yang penting-penting saja. seperti bumbu dapur, detergen, sabun mandi juga jajanan. Halaman samping rumahnya yang luas, digunakan Fatma, Hartini dan Kirani untuk membuka TPQ. Alhamdulillah muridnya cukup banyak. Mereka pun tak dikenakan biaya, hanya infaq semampu dan seiklasnya.
Dari gaji sebagai staf administrasi sekolah dan hasil usaha kelontong lah Kirani menghidupi dirinya. Kadang-kadanga kalau sempat, Kirani akan membuat keripik dan donat kemudian dititipkan di warung sekolah. Untuk beras, tak perlu khawatir, alhamdulillah, meski tinggal di desa, namun orang tua Kirani meninggalkan warisan sawah tiga petak. Semuanya digarap oleh paman Kirani dari pihak ibunya. Hasilnya dibagi dua. Itu sudah lebih dari cukup untuk Kirani yang memang sudah hidup sederhana dari dulu.
Lima menit yang Danu minta sudah hampir berlalu, namun pria ini rasanya enggan beranjak. Ada yang harus Danu beritahukan pada Kirani. Hal penting dalam hidupnya, meski mungkin terlalu cepat namun Danu, tak ingin semua semakin terlambat.
“Rani!” Danu menyebut nama itu.
“Ya,” Kirani menoleh sebentar namun tak menatap wajah mantan suaminya.
“ Apa masih ada perasaan kamu untuk, aku?” Danu bertanya sekaligus berharap.
Sejenak Kirani memejam mata, menetralkan degupan jantungnya yang berubah sedikit cepat. Ia tak menyangka mantan suaminya akan menanyakan hal ini. sementara sendok yang berisi makanan untuk ia suapkan ke Sofia, belum juga berpindah tempat dari piring melamin putih itu.
“Saya tidak mungkin menyukai suami orang, Mas. saya pernah tahu rasanya dikhianati.” Jawab kirani dengan pelan. Meski hatinya sedikit tak jujur namun, ia tak ingin mengulang luka dan cerita yang sama.
“Herda selingkuh!, anak yang dilahirkan bukan anak aku. Dia hanya menjebakku, Ran!”penuh emosi dan penekanan. Danu menjelaskan dengan cepat. Berharap Kirani memberinya kesempatan kedua. “Dia hanya ingin melihat kita berpisah, Ran.” Danu melanjutkan dengan pelan. Tersadar bila emosinya hampir tak terkontrol.
Kirani cukup terkejut, bukankah perempuan itu dulu begitu tergila-gila. Bahkan ia sempat mengirimkan foto-foti dirinya dan Danu di sebuah hotel, juga bukti transfer uang yang tak sedikit.
“Maaf, Mas. itu urusan, Mas dan dia, bukan urusanku lagi. Kisah kita sudah selesai.” Ada kaca yang mengaburkan pandangan itu. kaca embun yang tiba-tiba datang mengumpal hampir saja terjatuh jika tak ada kelingking yang menghapus dengan cepat. Dan semua itu Danu lihat.
“Aku mohon, Ran! Beri aku kesempatan, aku ingin kita kembali.” Penuh harap dan emosi jiwa Danu mengucap itu. raut wajahnya pun nampak seperti orang gusar. Beberapa rekan kerja bahkan memeprhatikan mereka, dan ada dua rekan kerja senior yang menyadari siapa perempuan yang Danu ajak bicara. Mereka tahu Kirani adalah mantan istri rekan mereka.
“Silahkan makan dulu, Mas. aku masih harus bantu-bantu dulu!” Kirani rasanya ingin pulang saja. ia tak menyangka hari ini perasaannya kembali di koyak masa lalu yang tiba-tiba hadir.
“Ran,”
“Makan dulu, Mas!” bergetar suara Kirani.
“Aku kangen sama, kamu.” Ia tatap wajah yang sudah sedikit memerah itu.
“Aku nggak, Mas!”
Namun senyum tiba-tiba terbit di wajah Danu. Senyum yang rasanya sudah lama tak menghiasi wajah berhiaskan brewok kasar yang selalu tercukur rapi.
“Ran,”“Makan dulu, Mas!” bergetar suara Kirani.“Aku kangen sama, kamu.” Ia tatap wajah yang sudah sedikit memerah itu.“Aku nggak, Mas!”Namun senyum tiba-tiba terbit di wajah Danu. Senyum yang rasanya sudah lama tak menghiasi wajah berhiaskan brewok kasar yang selalu tercukur rapi.“Kirani!” Danu sudah melanggar batasannya. Ia genggam erat jemari yang sedikit bergetar itu. bahkan piring yang di pegang tangan kiri Kirani juga nampak bergetar.“Mas, lepas!” Kirani mendongak, netranya memerah, sungguh ia tak ingin orang lain melihatnya terlalu dekat dengan Danu. Danu ini sekarang suami perempuan lain.Danu rasanya hampir kehilangan kontrol. Melihat mantan wanita hampir menangis, ingin rasanya Danu mendekapnya dalam pelukan. Sebab luka itu masih jelas terlihat. Luka yang membayangi jelaga kelam itu.Kemudian Danu meremas sedikit kuat jemari yang tak terlalu halus itu, mengalirkan untaian rindunya yang hampir buncah.“Mas, lepas.” Cicit suara Kirani. Benar-benar ingin menangis rasanya.
Hampir seminggu ini, Danu tidur berganti-ganti tempat. Ada dua hari di rumah ibunya, dan sisanya ia habiskan di salah satu apartemen miliknya. Apartemen yang dulu ia cicil atas nama Kirani. Meski tak besar, namun di apartemen ini dulu dirinya kerap menghabiskan waktu memadu kasih bersama Kirani.“Mas, bosan di rumah, kita malam minggu di apartemen!” ajak Danu suatu sore pada Kirani yang baru saja selesai keramas.“Tapi langsung tidur ya, aku pegel, Mas.” keluh Kirani manja.“Iya,” sahut Danu tak janji.Apartemen minimalis, type studio. Yang mampu di cicil Danu saat itu. meski tak besar, dan sangat minimalis, namun disinilah keintiman antar dirinya dan Kirani benar-benar dekat. Semua gerak gerik yang Kirani lakukan dapat Danu pantau. Semua, apa saja yang Danu ingin lihat dari wanitanya di masa lalu.Dan seperti biasa keinginan Kirani untuk tidur saja di apartemen itu, tak pernah terjadi. Makan bersama, tidur bersama hingga mandi bersama, semua Danu tuntut pada Kirani di awal-awal perni
Herda menangis histeris!Dengan linangan air mata ia berlutut sambil memeluk kedua kaki Danu yang baru saja mengucap ikrar talak di hadapannya dengan disaksikan kedua orang tua Herda juga Firman yang dipanggil oleh Danu untuk menemani dirinya.Firman pun sudah tahu kisah lama yang pernah terjalin antara atasannya ini dengan Kirani, kawan istrinya.Cerita itu didengar dari istrinya juga diceritakan langsung oleh Danu. Saat jam makan siang kemarin.Kisah yang cukup rumit menurut Firman, namun itulah kenyataan yang ada. Kawan istrinya yang Firman panggil dengans ebutan mbak Kirani merupakan mantan istri dari atasannya. Sementara istri atasannya sekarang adalah mantan sekretaris kawan atasannya, yang ternyata melahirkan anak yang bukan anak atasannya.Duh, memikirkan itu Firman jadi pusing sendiri. Kadang-kadang apa yang dilihat orang lain dari luar belum tentu sama dengan dalamnya. Sepertia atasannya ini. Dari luar nampak berwibawa, keluarganya harmonis, punya harta yang cukup, hidupnya
Mungkin cinta dulu adaNamun luka kerap mengejekJejakkan sakit yang piluMembawa masa lalu yang membayangiKirani kemudian menyalami mantan suaminya setelah menyalami mantan mertuanya dengan takzim.Ini pertama kalinya lagi Kirani bertemu bu Maryam, sejak perceraian yang ia tuntut pada putra mantan mertuanya itu, hanya sekali dulu mereka bertemu. Di awal-awal saat Kirani pertama kali pulang ke rumah ibunya. Seminggu kemudian bu Maryam datang, menangis dan memohon maaf pada Kirani dan ibunya. Beliau memohonkan maaf untuk khilaf yang Danu lakukan.Bukan hanya bu Maryam yang menangis, tapi juga Kirani. Tiga tahun menjadi menantu bu Maryam, cukup membuat wanita paruh baya itu merasa memiliki seorang putri. Sikap sopan dan santun yang Kirani miliki membuat bu Maryam benar-benar menyayangi Kirani, layaknya putri sendiri.Saking kecewanya bu Maryam atas perselingkuhan yang putranya lakukan, membuat ibu ini mendiamkan putranya berbulan-bulan lamanya. Bahkan saat Danu melaksanakan pernikahan
Danu menatap tak suka pada lelaki yang baru turun dari mobil Avanza hitam yang baru saja berhenti di depan rumah Kirani.Danu ingat, lelaki yang baru saja turun bersama anak perempuannya, adalah lelaki yang sama di pesta penikahan Firman dan kawan Kirani. Lelaki dan anak perempuannya yang nampak memberi perhatian pada Kirani.Cemburu.Tiba-tiba saja rasa itu datang mengejek di kepala Danu yang rambutnya hampir kuyup. Pantaskah?Sedang Kirani bukan lagi siapa-siapanya. Kirani hanyalah wanita pertama yang ia cintai juga wanita pertama yang ia sakiti.Sesal semakin mendera. Bukan hanya pada Danu, namun juga pada bu Maryam yang begitu berharap bermenantukan Kirani kembali.Namun bila Kirani memilih keputusannya sendiri. Anak dan ibu itu tak punya kuasa mengatur keinginan Kirani. Seperti dulu mereka tak kuasa menahan Kirani untuk tetap tinggal.Ini masalah hati dan perasaan. Boleh saja Kirani tersenyum pada mereka, menyambut keduanya dengan baik namun siapa yang tahu sisa luka dalam hati y
Danu bersikeras untuk mengantarkan Kirani kerumah Sofia, namun wanit ini juga gigih menolak. Kirani tak ingin jadi perbincangan orang kampung. Sebab sudah pasti akan jadi bahan perbincangan jika dirinya diantara mobil ke rumah murid ngajinya itu. Tentu tetanggan akan bertanya-tanya, siapa gerangan yang mengantar janda yang hidupnya sendiri seperti Kirani.Lagi pula banyak orang kampung situ yang mengenal Danu, terutama orang-orang yang dulu dekat pada mantan mertuanya. Meski dulu jarang ke desa ini, namun sebagian dari mereka tetap mengenal Danu. Lagian tak eis rasanya. Meskipun ada bu Maryam, namun Kirani tak enak saja.Sukuplah tadi Kirani malu saat Danu menyadari bila baju yang dipinjamkan pada Danu adalah baju lelaki itu yang sengaja Kirani bawa dulu.Dan teledornya Kirani, baju basah Danu tadi lupa dikasi. Masih tertinggal di dalam kamar mandi harusnya tak ketinggalan, sebab pria itu bisa datang lagi, dengan alasan mengambil baju.Gemuruh lebat tadi sudah berganti dengan gerimis
Sidang perdana perceraian antara Herda dan Danu rupanya diundur besok sebab hari ini adalah hari libur. Libur fakultatif tepatnya. Libur yang biasa mengikuti hari- hari besar tepat di esoknya adalah hari libur umum. Istilahnya umumnya di kalangan pekerja adalah hari terjepit.Herda berpikir keras. Bagaimana caranya agar Willy tak nekat menyebar foto-foto mesra mereka. Jelas foto itu sengaja mereka ambil saat bermesraan. Tanggal dan tahun di foto itu jelas tertulis. Tanggal dimana Herda masih menjadi istrinya Danu.Herda merutuki kebodohannya sendiri. Mau-maunya saja ia dulu mengambil foto-foto perselingkuhannya sendiri.Bukan hanya foto-foto itu yang menjadi ancaman bagi Herda, namun juga sejumlah uang yang Willy pinta.Herda memutar otak darimana ia bisa mendapatkan uang sebesar yang Willy pinta. Ia mungkin saja bisa menuntut harta gono gini dan uang nafkah pada Danu, namun prosesnya tentu tak bisa cepat.Sejenak ia menatap gelang emas kesayangannya yang berderet rapi pada pergelanga
Herda benar-benar malu. Semua orang dalam ruang sidang itu mendengarkan dengan baik apa yang menjadi tuntutan Danu dalam kasus perceraian mereka.Danu tak sedang membuka aib mantan istrinya itu, namun pengadilan juga butuh bukti agar keputusan yang diambil mejelis hakim nanti tidak keliru.Semua alasan dan bukti-bukti di bacakan oleh jaksa penuntut. Beberapa orang di ruangan itu cukup terkejut. Tak menyangka ada kisah rumah tangga yang serumit ini. Bagaimana mungkin seorang istri bisa melahirkan anak dari laki-laki lain sedangkan suaminya ada dan sehat.Sungguh zaman sekarang banyak manusia yang sudah tak mengindahkan adab dan aturan.Wajah Herda memerah menahan malu. Danu pun sendiri jadi ikut malu. Setelah ini orang-orang bukan hanya akan membicarakan keburukan Herda, namun dirinya juga pasti menjadi bahan gunjingan. Tanggung jawab Danu sebagai suami akan menjadi pertanyaan orang-orang nantinya. Jelas nanti bukan hanya Herda yang disalahkan, namun juga Danu. Bisa saja masyarakat me