Share

Chapter 2 Jual Dirimu, Jangan Pedulikan Harga Dirimu

“Kenapa kamu tega menculikku dan membawaku kemari, Freya Farista?” Alecta menatap galak. Dia tahu perempuan di hadapannya itu adalah seorang aktris ternama, tapi di masa lalu, perempuan itu adalah teman sebangkunya semasa SMA. Dan ia juga merupakan salah satu orang yang masuk dalam daftar hitam Alecta. Daftar hitam yang tidak pernah diceritakan oleh siapapun.

Freya menyeringai, lalu mendekati Alecta. Dia membetulkan rambut Alecta yang kusut, memerah dan bercabang di ujung-ujungnya. “Tenanglah, Alec. Aku tidak akan menyakitimu. Kamu mengenalku selama tiga tahun masa SMA kita. Anggaplah pertemuan ini adalah reuni kita.”

Mendadak hawa dingin menyusup di balik baju kerja Alecta yang berbau keringat. Dia mundur selangkah karena Freya yang terus membetulkan letak rambutnya. “Kenapa kamu menculikku!” Dia ingin pertanyaan di awal segera dijawab. Dan jangan lupakan, tidak ada sejarahnya reuni dilakukan cara menculik.

“Aku ingin menawarimu sesuatu, Sayang.” Freya memegang dagu Alecta dengan ketenangan yang membuat Alecta bergidik ngeri. Namun itu bukan sebuah jawaban.

Harus Alecta akui, jika kecantikan Freya tidak ada bandingnya daripada dirinya sendiri. Freya layaknya seorang ratu yang memiliki kecantikan abadi, karena dulu sewaktu SMA, dia sudah terlihat cantiknya. Hingga banyak anak laki-laki yang memperebutkannya.

Dibandingkan dirinya, Alecta tampak seperti upik abu dari golongan ras dengan level kecantikan yang mendekati nol! Rambut yang kusut tak terawat, jerawat yang masih memerah ada di pipi dan di dahi. Jangan lupakan pakaian lusuh yang jahitannya terlihat di beberapa tempat. Sejujurnya Alecta tidak pantas menganggap Freya sebagai rival. Karena dilihat dari segi apapun Freya lebih unggul segalanya dibanding Alecta.

“Kamu mau kopi, Alec?” Freya sudah berjalan menuju mesin kopi, di sana sudah terseduh kopi dengan aroma yang kuat.

“Tolong jawab pertanyaanku!” Alecta masih tidak yakin jika pertanyaannya belum terjawab. Dia butuh jawaban, bukan secangkir kopi.

Tangan Freya terhenti ketika memegang cangkir. Ia menatap Alecta. “Seharunya kamu beruntung tidak diculik oleh debt collector.” Ia berhenti sejenak, lalu mengambil sebuah amplop cokelat yang ada di laci meja. “Sebab, kudengar para debt collector sering sekali menculik nasabahnya yang tidak kuat membayar hutang beserta bunganya. Rata-rata nasabah yang seperti itu, akan diambil organ-organ dalam yang masih bagus untuk dijual di pasar gelap.”                                                 

Mendadak perut Alecta mual mendengar penuturan Freya. Sebenarnya apa yang dikatakan Freya hanyalah berita bohong yang tidak ada kebenarannya. Alecta pernah mendengar desas-desus ini, tapi dia hanya mengganggap isu ini sebagai formula untuk menakut-nakuti. Walaupun hari-harinya harus diliputi rasa was-was. Alecta tak mau mati dengan cara semacam itu.

Freya menyodorkan amplop cokelat besar itu kepada Alecta. “Bacalah, kamu akan tau alasanku menculikmu.”

Alecta menerima amplop besar itu. Di dalamnya berisi beberapa kertas yang tebal. Dia membacanya sambil duduk di meja makan. Sedangkan Freya sedang menikmati kopi seduhannya. Freya menikmati kopinya sendirian, sebab Alecta sepertinya tidak mau menerima kopi darinya.

Alecta memang hanya lulusan SMA, tapi dia tahu garis besar dari kertas-kertas ini. Freya sedang menawarinya sebuah kontrak untuk menjadi surrogate mother.

“Apa kamu sedang bercanda, Freya?” Alecta memasukkan kertas-kertas itu ke dalam amplop seperti semula. “Kamu ingin menyewa rahimku?”

Freya menaruh cangkir kopinya. “Kurang lebih seperti itu. Bagaimana, apa kamu setuju dengan penawaranku?”

Dalam kontrak itu dijelaskan kalau Alecta akan terbebas dari jeratan hutang. Selain itu, tertulis juga, kalau Alecta akan mendapat kehidupan yang lebih layak dan terbaik saat proses surogasi itu berhasil. Tapi, bukankah ini juga termasuk proses yang tidak serta-merta tahu keselamatannya. Bagaimana kalau proses surogasi itu gagal?

Alecta masih terpaku menatap Freya yang mengindahkan kuku-kukunya yang berwarna cerah dengan motif bunga sakura. Dia teringat akan sesuatu, berita miring yang sedang menyerang Freya, berita tentang kemandulan. Bahkan jagad dunia maya juga geger karena itu. Bahkan berita itu masih berseliweran di program acara TV khusus gosip artis.

“Apa kamu benar-benar mandul?” Alecta tidak bisa mengerem mulutnya. Pertanyaan itu keluar begitu saja.

Mata Freya terbelalak, lalu melempar cangkir kopi itu ke lantai hingga pecah. “Bisakah kita jangan membahas itu?” suara Freya seakan ditahan agar tidak berteriak.

Alecta terlonjak kaget. “Lalu kenapa kamu ingin menyewa rahimku? Oh! Atau jangan-jangan berita tentang kemandulanmu itu suatu kebenaran?” Alecta menyeringai, sejujurnya dia menikmati ketika wajah Freya merah padam seperti akan meledak. Dan satu lagi, perempuan yang tampak sempurna pun tak luput dari ketidaksempurnaan itu sendiri.

Freya bangkit dan menggebrak meja. “Padahal aku sudah berbaik hati menawarimu jalan keluar dari masalah-masalah yang membelenggumu.” Amarahnya tertahan.

Alecta juga bangkit. “Terima kasih, tapi aku tidak bisa menerima tawaranmu. Lebih baik aku segera pergi dari tempat ini.”

Alecta berjalan melewati Freya yang masih terpaku menahan amarahnya. “Aku akan mengambil jaket dan sepatuku setelah itu aku akan pergi.”

Alecta mengambil satu-satunya jaket miliknya yang bisa menghalau angin dingin, lalu memakai sepatu yang kondisinya memprihatinkan. Setelah tidak ada barangnya yang tertinggal, Alecta pergi dari ruangan itu dan kembali melewati Freya.   

“Tunggu!” seru Freya sebelum Alecta membuka pintu keluar.

Alecta berhenti, lalu berbalik. Freya mendekatinya sambil menyodorkan amplop cokelat besar itu. “Jika kamu berubah pikiran, kamu bisa hubungi aku.”

Alecta menerima amplop itu, lalu bergegas pergi. Sebenarnya dia tak mau berurusan dengan orang semacam Freya. Terlalu beresiko. Alecta menyadari jika tempat yang dipijaknya ini adalah apartemen di pusat Kota Dennosam. Dari yang dia ketahui, dia berada di lantai lima belas.

Alecta berhasil masuk ke dalam lift. Di dalam ruang persegi yang bergerak turun ada dua orang bergaya yang glamor menatap tajam ke arah Alecta. Dia bisa menafsirkan yang ada di pikiran mereka. Mungkin mereka merasa risih karena seorang gembel datang di apartemen mewah. Sesungguhnya, Alecta tak peduli. Yang dia pedulikan adalah keselamatannya sendiri. Dia ingin pulang.

Lift terbuka, dan Alecta sudah mencapai lantai dasar. Segera saja dia berlari keluar dari apartemen yang tinggi menjulang ini. Ternyata suasana di luar sudah gelap. Dia buru-buru mencari halte bus terdekat.

Sejauh 400 meter, Alecta baru menemukan halte bus. Beruntung di tempat itu masih ada beberapa orang yang menunggu kedatangan bus warna kuning yang menjadi khas transportasi paling murah pertama di Kota Dennosam.

Jam digital yang terpasang di langit-langit halte bus menunjukkan pukul 20.00. itu berarti dia sudah di apartemen Freya sekitar 4 jam. “Lama juga,” pikirnya.

Bus kuning dengan kode 07A datang, dan pintu terbuka. Alecta menjadi penumpang kedua yang naik setelah seorang ibu yang membawa tas keranjang berisi sayuran yang masuk dahulu.

Alecta duduk di dekat pintu. Dia memang memilih bus jurusan 07A karena jalur yang akan dilewatinya cukup jauh, namun aman. Tidak seperti jalan persimpangan yang biasa dilaluinya. Alecta tidak mau melewati jalan itu lagi.

Suasana bus terasa hening. Di tangannya masih ada amplop cokelat besar pemberian Freya. Dia mengingat-ingat lagi apa yang terjadi beberapa menit yang lalu.

Semua warga Kota Dennosam pasti tahu tentang Freya Farista yang memiliki suami taipan dan kaya raya. Suaminya bernama Priam Ardiaz. Alecta sempat melihat prosesi pernikahan mereka yang super mewah bak di kerajaan dongeng ala Disney. Itu terjadi lima tahun yang lalu, saat Alecta masih bersama mantan suaminya yang kelewat berengsek. Pernikahan mereka disiarkan di saluran Televisi Nasional selama sehari penuh.

Sebenarnya reuni tadi cukup mengejutkan bagi Alecta. Pasalnya, Freya yang terkenal itu tak segan-segan menculiknya, dan menurutnya ini terlalu berlebihan.

Bus berhenti di halte yang letaknya tak jauh dari rumah sewa Alecta. Dia turun dan hanya membayar lima ribu saja untuk perjalanan sejauh itu. Tak jauh dari halte tempat Alecta turun, di sana ada penjual roti bakar.

Perut Alecta sudah keroncongan. Dia memutuskan untuk membeli roti bakar. Alecta memilih rasa cokelat kacang. Setelah pesanannya selesai, dia membayar sesuai harga yang tertera, lalu pulang.

“Kalaupun tadi aku tidak diculik, pastinya saat ini aku sudah merebahkan diri di kasurku.” Yang dimaksud ‘kasurku’ adalah kasur tipis yang sering dilipatnya saat selesai digunakan. Rumah sewa Alecta memang tidak terlalu luas. Hanya ada dua kamar dan ruang yang bisa beroperasi sebagai ruang tamu ataupun ruang menonton televisi.

Meskipun Alecta sangat ingin pulang, ada satu rintangan lagi yang harus dilewatinya, yaitu melewati rumah besar Mami Gendut. Mami Gendut adalah induk semang, pemilik rumah sewa yang ditempati Alecta.

Para penghuni ini tahu, Mami Gendut selalu stand by di dekat pintu dan menyapa para penghuni rumah sewanya. Jika kamu menyewa rumah Mami Gendut, maka nyalimu sudah besar untuk menghadapi berbagai macam teriakan dan sumpah serapah yang isinya nama-nama binatang yang dianggap sebagai penghinaan.

Kali ini Alecta harus menebalkan muka, karena sebentar lagi teriakan Mami Gendut akan menggema. Alecta sudah tiba di rumah Mami Gendut, dan seperti biasa, perempuan gembrot itu menyapanya dengan nada tak mengenakkan.

“BAGUS! KAU MASIH INGAT DENGAN RUMAH KECIL ITU, ALEKTA! KAPAN KAU NAK BAYAR UANG SEWA! SUDAH TIGA MINGGU KAU MENUNGGAK! HEI! KAU DENGAR ITU! JANGAN PURA-PURA TULI!” Mami Gendut sedang menyapa Alecta. “JIKA KAU TAK SEGERA BAYAR, JANGAN SALAHKAN BESOK PAKAIAN MILIK KAU ADA DI LUAR DAN JANGAN TIDUR DI RUMAH ITU LAGI!”

Alecta hanya melambaikan tangan. Malas jika harus berlutut dan memohon di hadapan Mami Gendut. Energinya sudah terkuras habis. Asal kamu tahu, Alecta mendengarkan sapaan itu sebanyak dua kali dalam sehari. Pertama saat dia berangkat kerja, dan yang kedua saat ini.

Sebenarnya meredakan teriakan Mami Gendut itu sangatlah mudah, yaitu dengan membayar uang sewa tepat waktu. Kalau bisa dilebihkan sedikit, maka Mami Gendut akan menyapamu dengan riang gembira, tak lupa juga dia akan memberimu pancake dengan rasa manis ala kadarnya tanpa tambahan saus karamel. Akan tetapi, Alecta sudah menunggak pembayaran selama tiga minggu. Teriakan itu cukup untuk menjadi alarm agar tubuhnya jangan sakit, sebab dia harus berkerja lebih keras lagi.

Sesampainya di halaman mungil rumah Alecta, dia disapa oleh tiga pria dengan tampang garang seperti kumpulan kucing garong yang kumal dan suka berebut makanan dari tempat sampah.

Setelah teriakan Mami Gendut yang menjadi pembuka makan malam, sekarang tiga pria ini menagih uang Alecta. Mereka adalah para debt collector yang berkerja untuk perusahaan hutang yang menjerat Alecta.

“Mana setoranmu! Kamu sudah jatuh tempo!” Salah seorang pria dengan wajah codet mengeram.

“Aku belum gajian, minggu depan pasti kubayar. Jadi minggirlah.” Kepala Alecta serasa mau pecah. Kurang tujuh hari lagi, dia akan mendapatkan gaji dari pabrik saus tempatnya bekerja.

“Minggu depan lagi, minggu depan lagi!” seru pria yang mulutnya bau jigong, meskipun wajahnya bisa dibilang lebih lumayan daripada dua pria lainnya.

“Aku sudah bilang, minggu depan. Karena aku baru gajian minggu depan.” Alecta tidak mau kalah garangnya.

Bungkusan yang berisi roti bakar rasa cokelat kacang di rebut oleh pria gendut dengan kepala botak mirip bohlam. “Roti bakar! Mayan nih buat cemilan.”

“Kembalikan rotiku!” Alecta merebut roti bakar yang belum dicicipi sama sekali. Tapi pria gendut itu mendorongnya sampai jatuh.

Pria bermuka codet itu menjepit dagu Alecta hingga wajahya terangkat. “Kamu tau, gimana nyari uang dengan cara cepat.” Pria codet itu mendekat ke telinga Alecta. “Jual dirimu, jangan pedulikan harga dirimu.”

Seketika sebuah tamparan melayang ke pipi Pria codet. “Jaga bicaramu!”

“Udahlah, Bro gak usah kamu ladenin.” Pria bermulut bau jigong menengahi pria codet yang ingin balik menampar Alecta. “Kami akan pergi, tapi inget! Minggu depan kamu harus bayar hutangmu!”

Ketiga pria itu pergi, dan mereka membawa roti bakar yang baru dibelinya tadi. Alecta membuka rumah kecilnya. Dia melempar amplop cokelat dari Freya ke meja. Alecta melepaskan sepatu dan jaket lusuh yang dikenakannya tadi.

Rasa lapar yang tadi menyergap terasa hilang seketika. Setelah mencuci muka dan mengganti pakaiannya, setelah itu dia menggelar kasur tipisnya di lantai dan mulai merebahkan diri.

Dia memandang langit-langit rumahnya yang tidak terlalu teran dan ada beberapa sarang laba-laba yang menghiasinya.

“Hidup itu berat ternyata,” ucapnya sambil memejamkan mata. Alecta sudah merasa muak dengan rutinitas yang dijalaninya ini. Dia ingin hidup dengan kenyamanan tanpa harus mendengarkan teriakan Mami Gendut ataupun segerombolan debt collector yang menyambangi rumahnya.

Alecta bangkit lagi dan membaca lagi isi di amplop cokelat dari Freya. “Apakah aku harus menerima tawarannya?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status