Share

Chapter 5 Pria Berkacamata

“Aaaaakkk!” Alecta memejamkan mata, lalu menjerit hingga tubuhnya sedikit terdorong ke belakang. Dia baru membuka mata dan menyadari jika jarak wajahnya dengan ujung depan mobil sangat dekat. Jantungnya berdegup kencang, Alecta baru saja selamat dari kematian.

“Anda tidak apa-apa?” tanya seorang pria berjas hitam dan memakai sarung tangan warna putih. “Hei! Apakah Anda terluka?” tanyanya lagi.

Alecta menengadah, wajah pria itu tidak tampak karena silau dari sinar matahari. Sampai pria itu ikut berjongkok di hadapan Alecta. Wajahnya sangat dekat dengan wajah Alecta.

Alecta terkesima dengan pria di hadapannya. Dia seperti dewa yang diutus untuk turun ke bumi dan menemui Alecta.

Astaga! Tampan sekali!

Meskipun pria itu memakai kacamata, tidak mengurangi pesonanya. Rambutnya yang tertata rapi, wajah yang bersih tanpa jerawat ataupun bintik hitam kecil, dan sarung tangan putih yang membungkus tangannya.

“Anda baik-baik saja, Nona?” tanya pria itu.

Bahkan suaranya saja mampu melelehkan Alecta. Tapi, ada yang menganggu situasi ini. Binatang itu berulah lagi, ia berjalan mengitari bagian badan Alecta yang lain.

“Kecoak!” Alecta kembali menjerit. Dia bangkit dan mencoba mengambil binatang menggelikan itu. Dan, hap! Dia berhasil menangkap kecoak itu dan langsung membantingnya ke jalan aspal, lalu menginjaknya sampai gepeng seperti kecoak yang pertama.

“Matilah! Matilah, makhluk sialan!” Alecta menginjak kecoak itu berkali-kali sampai dia puas. Seakan dendamnya terbalaskan.

Pria yang tadi hampir menabraknya hanya mengernyitkan dahi. Mungkin ia berpikir jika perempuan yang hampir ditabraknya adalah orang sinting. Meskipun wajahnya belum mendukung jika dia dalam keadaan sinting.

Pria berkacamata itu memilih kembali ke mobilnya. Setidaknya itu adalah pilihan yang tepat, karena orang yang ditabraknya masih bisa berdiri bahkan mengumpat dengan penuh semangat.

Alecta yang mengetahui pria itu akan pergi langsung mencegahnya. “Hei! Tunggu! Jangan pergi seenaknya!”

Alecta mendekati pria itu. Dia ingin pria itu meminta maaf karena hampir menabraknya. “Anda harus minta maaf!”

Pria itu baru membuka pintu mobilnya, namun teriakan Alecta membuatnya berbalik. “Minta maaf untuk apa?” tanyanya dingin.

“Anda pura-pura lupa, ya! Tadi Anda hampir menabrak saya!”

Pria itu mengeluarkan dompet lalu, memberi Alecta lima lembar uang pecahan seratus ribuan. “Saya kira uang itu cukup untuk menyudahi perdebatan ini, ambilah.”

Alecta menatap nanar uang-uang dari pria berkacamata itu. Dia tahu, saat ini dia butuh uang, dia sedang kekurangan uang, bahkan tidak bisa hidup tanpa uang. Tetapi tidak dengan cara seperti ini. Alecta hanya butuh permintaan maaf dari pria yang hampir menabraknya itu.

Alecta buru-buru mendekati pria berkacamata yang baru saja masuk ke dalam mobil itu. “Berhenti! Apakah ini cara orang kaya meminta maaf? Hanya dengan uang saja?”

Pria itu membetulkan letak kacamatanya. Dia balik menatap Alecta. “Apakah jumlah uangnya kurang?”

Sejak dulu Alecta memang miliki cita-cita ingin menjadi orang kaya raya, tapi ada satu hal yang tidak dia sukai dari orang-orang kaya. Sifat angkuh dan sombong akan hartanya. Bahkan hal sekecil ini, mereka lebih baik mengeluarkan uang daripada kata maaf.

Mata Alecta menangkap sebuah buket bunga di kursi samping pria itu. “Saya tau, Anda sedang buru-buru menemui kekasih Anda, Tuan.”

Pria berkacamata itu refleks melihat bunga di sampingnya, lalu kembali lagi menatap Alecta. “Bukan urusan Anda.”

Alecta yang sudah di puncak kemarahannya, akhirnya mengembalikan uang-uang itu ke wajah pria berkacamata. “Saya tidak butuh uang Anda. Saya hanya butuh permintaan maaf dari Anda, Tuan.”

Pria itu bergeming sebentar saat Alecta melemparkan uang yang baru saja dia berikan ke wajahnya. Dia tetap menjaga ketenangan. Lalu mengambil napas panjang, dan mengembuskannya secara perlahan demi menjaga kestabilan emosinya.

“Bukankah Anda yang menyeberangi jalan secara mendadak, tidak melihat ada mobil yang sedang melaju?”

Mata Alecta terbelalak. Dia sedikit gelagapan mendengar pria itu berbicara. Bahkan saat ini dia sudah tidak berani menatap matanya yang mengerikan itu.

“Tetap saja itu salah Anda, Tuan!” Alecta masih bisa mengeluarkan pernyataan yang sedikit berani. Walaupun harus dia akui jika dirinya salah karena tidak melihat ada mobil yang melaju karena binatang kecil itu yang membuat tubuhnya geli.

“Tak masalah! Saya sudah tidak butuh maaf dari Anda. Permisi!” Sejujurnya ini adalah cara Alecta untuk kabur dari situasi ini. Dia berjalan sedikit lebih cepat, demi segera menjauh dari mobil itu, dan berdoa semoga pria berkacamata itu tidak mengejarnya.

Mobil itu tidak berbalik, pria berkacamata itu melanjutkan perjalananya. Alecta mendesah lega. Meskipun pria itu nantinya mengejarnya, Alecta bisa bersembunyi di celah sempit antar tembok pembatas.

“Jangan berbalik, ya. Biarkan aku membalas dendamku,” ucap Alecta. Dia baru sadar jika jalanan ini sepi, dan sisi kanan-kiri hanya terdapat tembok setinggi tiga meter.

“Aku harus berlari.” Alecta berlari hingga tembok pembatas itu berakhir di ujung gang kecil. Di sana terdapat rumah makan sederhana.

Alecta memasuki rumah makan sederhana yang kondisinya tidak terlalu ramai. Dia memesan telur, sayur dan nasi. Tapi, mata Alecta menangkap sebuah ponsel yang tergeletak di dekat ibu pemilik rumah makan ini.

“Permisi, boleh saya meminjam ponsel ini?” Alecta meminta izin dengan bahasa yang amat santun. Akan tetapi tatapan ibu pemilik rumah makan ini membuatnya tidak nyaman.

“Saya akan bayar makanan saya dua kali lipat.” Alecta mencoba bernegosiasi.

Ibu pemilik rumah makan itu memandang Alecta dari ujung rambut sampai ujung kaki, lalu kembali lagi hingga dua kali. “Boleh, tapi cuma lima menit saja. Dan nelponnya jangan jauh-jauh.”

Alecta mengangguk. “Baik, Bu.”

Setelah mendapat pinjaman ponsel itu, Alecta memutuskan menelepon dekat dapur. Dia mengambil robekan kertas yang ada nomor telepon Freya. Dia menekan angka sesuai yang tertulis di kertas itu, mencocokkannya sekali lagi, lalu menekan ikon gagang telepon berwarna hijau. Nada tunggu membuat Alecta makin berdebar.

Jawab Freya, jawab panggilan teleponku. Alecta menggigit bibir bawah.

Panggilan itu telah tersambung. “Halo, Freya!”

***

Sebuah mobil berwarna hitam mengkilat berhenti di depan gapura sebuah pemakaman yang diperuntukan untuk kalangan kelas atas.

Pria itu turun dari mobil sambil membetulkan letak kacamatanya yang sedikit miring. Dia baru tersadar, jika buket bunga yang dibelinya tadi masih di dalam mobil. Dia terpaksa masuk ke mobil untuk mengambilnya.

Tepat saat dia menggenggam buket bunga itu, dia teringat akan perempuan agak sinting yang hampir ditabraknya tadi.

“Saya tau, Anda sedang buru-buru menemui kekasih Anda, Tuan.”

Pria berkacamata itu terngiang ucapan perempuan tadi. “Apakah dia benar-benar sinting?” Dia tertawa hambar. Kini dia berjalan sambil menggenggam buket bunga yang dibelinya dari toko bunga favoritnya.

Pria berkacamata itu berjalan damai seakan sebentar lagi akan menemui seseorang yang paling istimewa dalam hidupnya.

Di bawah pohon Zelkova yang rindang, terdapat satu makam yang bentuk nisannya sangat indah. Pria berkacamata itu menyunggingkan senyumnya ketika meletakkan buket bunga di makam itu.

“Saya datang menemuimu, hingga hari ini saya masih hidup. Semoga Tuan Putri senantiasa bahagia di atas langit.”

Tak terasa air mata itu mengalir dari balik kacamatanya. Pria itu sedang menangis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status