Share

Chapter 6 Rencana yang Sedang Dirancang

“Anda tau, Nyonya Freya. Bahkan perempuan berbadan gendut itu mengusir Alecta, tak peduli ada uang di tangannya.” Laurent tertawa. “Lalu setelah perempuan itu diusir, tiga debt collector itu merampas uangnya, dan terakhir dia bermalam di depan toko.” Laurent menjentikkan jarinya. “Bukankah itu menyenangkan?”

Freya hanya tersenyum simpul. Meskipun Laurent berhasil menjungkirbalikkan kehidupan Alecta, tapi perempuan itu belum menghubunginya sampai sekarang. Jika ia sudah menyerah, harusnya sejak tadi malam minta untuk dijemput.

“Jadi bagaimana dengan bayarannya?” tanya Laurent.

Freya mengambil amplop yang berisi uang untuk membayar jasa Laurent, pria yang mirip Swiper si rubah pencuri. “Silakan dihitung.”

Laurent tertawa. “Aku percaya padamu, Nyonya.”

Freya mengecek ponselnya. Tidak ada panggilan masuk ataupun pesan baru. Dia mulai resah.

“Sepertinya ada sedang menunggu sesuatu. Biar aku tebak, pasti perempuan itu belum menghubungimu. Itu yang membuatmu gusar, kan?” Laurent mengambil satu batang rokok dari tempat persegi yang ada di dekatnya.

“Tebakanmu benar, Laurent. Selama Alecta tidak menghubungiku, rencana ini tidak bisa dikatakan berhasil.”

Laurent menyalakan pemantik, lalu membakar ujung rokoknya. Dia menyesapnya, kemudian mengeluarkan hembusan aroma khas tembakau murahan. Freya tidak menyukai aroma itu, tapi terlalu malas untuk memprotes kegiatan Laurent.

“Asal kamu tau, Nyonya Freya. Selama aku membuntutinya, perempuan incaranmu itu tidak memiliki ponsel.” Laurent menyesap rokok itu, lalu mengembuskan asap dari mulutnya.

Mata Freya melebar. Dia bangkit, lalu menggebrak meja. “Kenapa kamu tidak bilang sejak awal!”

Laurent menyeringai seakan memberikan sebuah cibiran kepada Freya. “Bukankah kalian sudah bertemu setelah penculikan itu? Kenapa tidak Anda tidak mengamatinya, Nyonya. Menyedihkan sekali, ternyata masih ada sedikit kebodohan di sini,” ucap Laurent sambil menunjuk kepalanya yang berarti ada kebodohan di otak Freya.

“Brengsek!” Freya menganggap cibiran dari Laurent adalah bentuk penghinaan atas kecerobohannya sendiri.

“Kuberi satu nasehat untukmu, Nyonya.” Laurent mengembuskan asap ke udara yang membuat Freya merasa muak . “Jika Anda sedang membangun sebuah rencana, pastikan tidak ada satupun hal yang terlewatkan. Kalau tidak, rencana yang susah payah Anda bangun akan berbalik seperti bumerang. Anda bisa celaka sendiri.”

Freya menatap Laurent yang masih duduk di kursi putar. “Terima kasih.”

Setelah mengatakan ucapan terima kasih, Freya meninggalkan ruangan itu. Selama perjalanannya keluar dari Kantor Mata-Mata dan Pekerjaan Kotor itu, dia menjadi perempuan pemikir. Dia memikirkan tentang kebodohannya melewati hal sekecil itu.

“Bodoh! Harusnya kamu juga mengecek isi tasnya.” Kekesalan Freya seakan menguar keluar dari tubuhnya. Raut wajahnya tampak jelas jika dirinya menahan marah.

Sampai di dalam mobil, Freya terkejut dengan ponselnya yang berbunyi. Sebuah nomor yang tidak dikenal meneleponnya.

Jangan-jangan Alecta!

Freya buru-buru menjawabnya dengan menekan ikon gagang telepon berwarna hijau. “Hallo.”

“Halo, Freya!” suara penelpon itu amat familiar diterima telinga Freya.

“Alec? Alecta Zeline?”

“Benar! Aku Alecta. Maaf jika membuatmu bingung. Saat ini waktuku tidak banyak, karena ponsel ini bukan milikku. Aku meminjamnya dari ibu pemilik warung makan.”

“Ada apa meneleponku?” Freya menggiring Alecta untuk segera berbicara to the point.

“A-aku, aku menerima tawaranmu, Frey.”

Desiran kelegaan seakan sedang menghujani hati Freya yang dari semalam diliputi kegelisahan. Alecta baru bersedia setelah hidupnya jatuh ke dasar jurang.

“Benarkah? Tapi apa yang membuatmu berubah pikiran Alec?” Freya menanyakan seolah-olah dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Padahal, dia otak di balik drama ini.

“Nanti kujelaskan, sekarang bisa kamu jemput aku di rumah tak berpenghuni, di Jalan Wales nomor 43C?”

Freya tersenyum sangat mengerikan. “Baiklah, aku akan menyuruh orang untuk menjemputmu, Alec. Bersabarlah sedikit.”

“Aku akan menunggumu. Maaf, aku segera menutup telepon ini karena batas waktu habis. Terima kasih Frey.”

“Sama-sama.” Freya tertawa penuh kemenangan. Pertaruhan uangnya kali ini berhasil daripada pertaruhan menculik Alecta yang tidak menghasilkan apapun.

Bukan ‘tidak menghasilkan apapun’, justru itu penyambung antara diriku dan Alecta.

Freya masih menganggap dirinya cerdas, meskipun ada sesuatu yang terlewatkan, tapi mangsanya masuk perangkap sesuai keinginannya.

Mobil berjalan meninggalkan kantor mata-mata dan pekerjaan kotor yang berbalut gedung olahraga. Hari ini dewi keberuntungannya berada di pihak Freya. Sebentar lagi, semua yang dia mau akan masuk dalam genggamannya, layaknya tali penggerak boneka. Bahkan suaminya sendiri sudah Freya anggap seperti boneka yang dikendalikannya.

“Nara, antarkan aku sekarang ke apartemen kelas satu di kota ini,” titah Freya kepada sopirnya.

“Baik, Nyonya!”

***

Sekembalinya Alecta dari rumah makan itu, dia tetap menyimpan sebuah pertanyaan.

“Kenapa Freya menanyakan jawabanku tadi? Ada yang aneh. Dia hanya menganggap aku berubah pikiran?”

Alecta jadi ragu kalau Freya yang membuatnya seperti ini. “Tapi, kan dia bisa hanya berpura-pura tidak tau.”

Itu masuk akal. Sebab Alecta pernah ambil bagian dari kelicikan dan usaha barang terlarangnya. Saat itu Alecta masih SMA, dan diharuskan pindah kelas karena kelasnya semakin hari semakin menyusut jumlah siswanya karena banyak orang tua yang pindah ke Kota Zen, salah satu kota metropolitan di Borndenis.

Alecta terpaksa tinggal di kelas yang populer karena kenakalan siswanya, sampai para guru angkat tangan mendisiplinkan mereka. Alecta harus terbiasa dengan siswi yang berbicara kata-kata kotor, beberapa anak yang  sengaja duduk di belakang lalu bercumbu, ada juga satu perempuan yang harus mencumbui beberapa anak laki-laki sekaligus dan digilir menjamahi tubuhnya, pemandangan yang membuat Alecta mual.

Alecta duduk di sebelah Freya, siswi yang terkenal seantero sekolah, dan memiliki beberapa kenalan dari sekolah lain. Ia terkenal bukan karena prestasi, melainkan kepintarannya berbisnis dan taruhan. Ia pernah mengadakan taruhan untuk balapan motor, dan ia selalu memenangkannya, seakan uang-uang taruhan itu ditakdirkan menjadi miliknya.

Bisnis yang dijalankan Freya cukup beresiko untuk seukuran siswi SMA. Dia menjual protection berbagai rasa. Aturan di Kota Numa sangat ketat, barang seperti itu tidak boleh dibeli oleh remaja yang masih sekolah atau di bawah 18 tahun. Dan Freya melanggar aturan itu untuk mendapatkan uang.

Alecta pernah melihat ada barang seperti itu di tas Freya, bukan cuma satu biji, melainkan satu dus yang wadahnya sudah dilapisi koran, agar tidak banyak yang curiga. Alecta yang tidak mau terlibat masalah dengan teman sebangkunya memilih diam.

Suatu hari di kantin, siswi bernama Lyra (teman sekelas yang duduknya di belakang) melabrak Freya karena kalah taruhan dan menuding Freya telah berbuat curang. Semua terjadi di depan mata Alecta, dia diam tidak berusaha membela.

“Lihat saja, riwayatmu akan tamat Freya. Bisnis haram-mu juga akan terbongkar dan sebentar lagi!” ancam Lyra.

Keesokan harinya, saat jam istirahat suasana kelas lenggang, hanya ada Freya dan Alecta. Freya melancarkan aksinya, dengan membawa banyak protection berbagai varian, lalu memasukkannya ke dalam tas Lyra. Alecta berpura-pura tidak melihat dan tenggelam dalam buku yang dibacanya.

Setelah melakukan itu, Freya keluar kelas. Tak lama kemudian para gerombolan siswa mendatangi kelas berserta dua guru. Freya mengatakan jika Lyra menjual protection di lingkungan sekolah.

Lyra masih berdalih, kalau ia tidak pernah berjualan seperti itu. Ia mengatakan jika yang berjualan sebenarnya adalah Freya. Namun, Freya telah memasang ranjau untuk Lyra. Dua guru itu akhirnya memeriksa tas Freya dan Lyra. Pada tas Freya tidak ditemukan barang itu. Karena ia telah memindahkannya ke dalam tas Lyra.

Saat tas Lyra mendapat giliran untuk digeledah, banyak protection berbagai warna dan rasa memenuhi tasnya.

“Loh! Jadi yang jualan itu kamu, Ra?” celetuk salah seorang siswa lain.

“Bukan! Bukan aku! ini pasti orang yang jahat kepadaku!” Lyra gelagapan. “Dia yang menaruh semua protection ini di tasku”

Alecta sekarang tau, kenapa tadi Freya menaruh barang dagangannya ke tas Lyra. Sebelum Lyra menyerang, Freya sudah lebih dulu menghabisinya. Alecta terkejut dengan rencana penjebakan ini. Padahal, Lyra termasuk pelanggan setia Freya. Hampir setiap hari, ia membeli barang itu sebelum pulang.

“Coba tanyakan pada teman sebangkunya, dia pasti tau siapa yang menaruh protection di tasku!” Lyra menunjuk Alecta. “Cuma dia yang jarang keluar dari kelas.”

Sekarang semua orang menatap Alecta, tak terkecuali Freya. Walaupun rencana menjebak Freya sudah sangat baik, tapi ia selalu meninggalkan satu kecerobohan. Saksi yang ada di dalam kelas hanya Alecta. Meskipun membaca buku, matanya bisa melihat apa yang diperbuat Freya tadi. Semuanya menunggu jawaban dari Alecta.

“Memang sejak tadi aku di kelas, membaca buku.” Alecta balas menatap Freya. “Tapi tidak ada yang menyentuh tasmu, Lyra. Oh iya, aku baru ingat! Bukannya tantemu itu punya apotek, ya?”

“Tuh, kan! Bener pasti yang jualan itu Lyra! Tantenya saja punya apotek, bisa jadi dia mendapatkan suplai barang dari tempat itu?” Freya menambahkan sebagai pemanis.

Lyra yang tidak terima lalu mendatangi Alecta untuk menamparnya, namun tangannya terhenti oleh guru yang sedari tadi diam. “Tidak ada kekerasan dalam sekolah. Sekarang ikut bapak ke ruang BK!”

Lyra diseret oleh guru laki-laki itu. Para siswa yang bergerombol tadi membubarkan diri setelah menyoraki Lyra. Freya juga ikut ke ruang BK untuk dimintai keterangan.

Saat jam pulang, Freya sengaja menunggu Alecta di gang dekat sekolah. Gang yang selalu di lewati Alecta saat pulang.

“Hai!” Sapa Freya.

Alecta cukup kaget dengan sapaan itu. Jarang sekali Freya menyapanya. Meskipun sudah tiga minggu menjadi teman sebangkunya, jangan kira gadis itu mau berbicara pada Alecta yang sudah terkenal pendiam.

“Oh, hai.” Alecta hanya menyapa sebentar lalu berjalan masuk gang.

Dari belakang, Freya langsung merangkul Alecta. “Aku mau berterima kasih padamu soal tadi.” Sambil berjalan, Freya mengambil dompetnya lalu memberikan uang kepada Alecta. “Ini tanda terima kasihku.”

“Tidak perlu.” Alecta mengembalikannya uang itu kepada Freya. “Lagian aku punya dendam pada Lyra. Jadi anggap saja kita sejalan.”

“Wah! Ternyata orang pendiam sepertimu bisa mendendam?” Freya tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

“Dendam adalah salah satu sifat yang ada pada manusia. Dan aku masih manusia, Frey. Aku pernah di-bully habis-habisan oleh Lyra saat SMP. Jadi, jika aku membalasnya saat ini tak salah, kan?”

“Tidak, tidak ada yang salah. Tindakanmu benar, Alec. Dan tindakanmu itu menyelamatkanku.” Freya menarik tangan Alecta. “Aku lapar! Ayo kita ke restoran cepat saji, aku yang akan mentraktirmu.”

“Eh! Tunggu, Frey!” Alecta tidak bisa menolak. Dia mengikuti Freya ke restoran cepat saji yang lokasinya tak jauh dari sini.

Di restoran cepat saji, mereka memesan burger, soda dingin, es krim, dan kentang goreng ukuran besar. Di sela menunggu pesanan datang, Alecta ingin bertanya tentang bisnis yang dijalani Freya.

“Kamu mendapat pasokan barang itu dari mana? Bukannya barang itu tidak boleh dibeli oleh anak di bawah usia 18 tahun?”

Freya terkekeh. “Itu bisa diatur. Aku punya banyak koneksi.”

“Apa kamu tidak takut jika bisnismu ketahuan? Ditambah akan banyak remaja yang mencoba berhubungan intim.” Alecta memang memikirkan sejauh ini. Sejujurnya dengan membantu Freya, secara tidak langsung di sudah terlibat.

Freya mendekatkan wajahnya. “Masa muda itu selalu ingin mencoba hal yang baru. Tentu saja mereka ingin melakukan ‘itu’ tanpa resiko hamil. Mereka tidak mau menjadi orang tua dengan usia semuda itu.”

“Tapi itu melanggar norma.”

“Ternyata kamu ini cerewet sekali, Alec. Sebenarnya apa maumu?”

“Aku tidak ingin terlibat dengan bisnismu.”

“Santai saja, Alec. Aku bukan orang yang selalu melibatkan orang-orang yang tidak punya keperluan dengan barang itu. Kecuali tadi, jika aku tidak bergerak lebih cepat daripada Lyra, aku yang akan kalah.”

Setelah hari itu Alecta membiarkan Freya menjalankan bisnisnya. Untuk timbal baliknya, Freya membantu Alecta untuk melawan siswa-siswi lain yang merisaknya.

Alecta masih mengingatnya. Kejahatan Freya tetap tersimpan di memori kenakalan remaja. Baginya, Freya adalah perempuan pemikir dan rela berkorban apapun demi tujuannya tercapai.

“Bagaimana jika Freya sedang menjalankan sebuah rencana yang melibatkan aku? Tapi, semakin aku dekat dengannya lagi, bukankah itu semakin baik? Aku bisa membalaskan dendamku? Misalnya merebut suaminya?”

Alecta tertawa. “Itu pasti menarik sekali!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status