Share

Chapter 4 My Queen, Lakukan Sesuai Keinginanmu

Ponsel Freya berdering, tanda ada pesan baru. Freya meliriknya sekilas, lalu menyambar ponsel itu di sela-sela malamnya bersama Priam. Dia membaca pesan-pesan dari Laurent, jika misinya berhasil dan segera meminta bayaran yang dijanjikan.

“Dari siapa, Sayang.” Priam menoleh dari buku yang dibacanya ke arah istrinya yang sedang menyisir rambut di depan cermin meja hiasnya.

“Hah! Da-dari sutradara. Dia menawariku sebuah projek film untuk ditayangkan tahun depan.” Freya tersenyum manis, meskipun dia sedang berbohong.

Priam ber-oh, kemudian melanjutkan bacanya lagi.

Freya yang merasa respon oh dari Priam adalah sebuah kekecewaan. Dia memutuskan untuk mematikan ponselnya, lalu mendekati dan bermanja di lengan suaminya. “Sepertinya buku yang kamu baca menarik sekali, Sayang.”

Priam menutup bukunya, kemudian mengacak-acak rambut Freya yang telah ditatanya.

“Sayang!” Freya tertawa karena perlakukan menggemaskan dari suaminya.

Setelah itu hening, hingga Priam berinisiatif menanyakan pemeriksaan yang dilakukan Freya tempo hari. “Bagaimana hasil pemeriksaannya.”

Freya sedikit terkejut dengan pertanyaan suaminya. Tapi, jangan lupakan jika Freya adalah seorang aktris, bisa mengganti ekspresi wajah dengan sekejap dan bisa berakting sesuai keadaan. Dia menampilkan kesedihan di wajahnya.

“Aku takut mengecewakanmu, Sayang.” Freya menyeka air mata buayanya, lalu mengambil dua amplop putih dari laci nakas samping tempat tidurnya. “Aku sudah mendatangi dua rumah sakit dan dua dokter spesialis kandungan terbaik di kota ini. Tapi ....” Air mata menggenang di mata Freya. Dia menyerahkan dua amplop putih yang di bagian depan terdapat logo dan nama rumah sakit.

Priam menerima dua amplop itu, lalu membaca hasil pemeriksaanya. Dua kertas dari dua amplop itu sama-sama menyatakan jika Freya tidak bisa hamil, jika dipaksakan kemungkinan nyawa Freya yang tidak bisa tertolong. Tatapan Priam datar tanpa senyuman, seakan pertanda ia tidak menyukai keadaan ini.

Freya langsung bertindak. Dia membungkuk lalu menangis sekeras-kerasnya. “Maafkan aku! Maaf, tidak bisa jadi istri yang sempurna untukmu, Sayang.”

Priam membuang dua kertas itu, lalu memeluk istrinya. Dia mendekap tubuh Freya yang sedikit lebih kecil dari pada tubuhnya. “Aku tidak bisa menyalahkanmu.”

Freya makin terisak. Dia berusaha keras untuk mengeluarkan air matanya. Tangannya mencengkeram kaus tipis yang digunakan Priam. Di balik kaus itu, Freya bisa merasakan suhu tubuh yang hangat, otot yang kuat, dan sedikit berlekuk di perut.

“Tapi aku tidak bisa memenuhi keinginanmu!” Freya menyeka air matanya. “Aku tau, kamu sudah menunggu ini selama lima tahun pernikahan kita.”

Priam mengelus kepala Freya dan menciumnya. “Aku tidak mau kehilangan dirimu. Aku tidak mau keegoisanku membuat istri tercintaku harus menderita.”

Freya tersenyum dalam hatinya. Suami tercintanya sudah masuk dalam jebakan. Tinggal menunggu bagaimana eksekusinya. Dia menatap wajah Priam dan memegang rahangnya yang sedikit berambut. “Aku yakin masih ada jalan yang lain. Kita bisa mendapatkan keturunan dengan jalan yang lain.”

“Surogasi?” tebak Priam.

Freya mengangguk. “Kita bisa menyewa rahim perempuan lain. Embrio yang ditanam tetap memiliki garis murni keturunan kita.”

Priam melepaskan tangan Freya, kemudian bangkit untuk menatap pemandangan dari jendela kamarnya. “Apa kamu yakin, Sayang?”

“Kenapa tidak? Bukankah itu termasuk jalan keluar bagi kita?” Freya menatap punggung suaminya.

“Bukankah itu terlalu beresiko? Maksudku, di mana kita bisa menemukan perempuan yang bersedia menyewakan rahimnya?” Priam yakin di kota ini pasti sulit menemukannya. Terlebih penduduk kota asli Dennosam memiliki keyakinan jika menyewakan rahim itu adalah hal yang terlarang. Perempuan itu harus dinikai secara sah apabila surogasi itu akan dilakukan. Akan tetapi, Priam tidak mengikuti keyakinan semacam itu.

Tentu saja Freya tahu tentang keyakinan yang dianut sebagian besar warga asli Kota Dennosam meskipun dia berasal dari Kota Numa, kota kecil yang belum berkembang dan letaknya sangat jauh dari kota ini.

Priam membalikkan badannya, kemudian menceritakan tentang keyakinan yang dianut sebagian besar penduduk Kota Dennosam. Namun ekspresi wajah Freya tidak terkejut, sepertinya dia sudah mengetahui tentang kondisi ini.

“Apa kamu ingin aku menikah lagi?” tanya Priam. “Tapi, aku tak mau itu terjadi. Itu bukan prinsipku.”

“Aku bisa mengurusnya, Sayang. Kamu tidak perlu melakukan itu.” Freya mendekati suaminya, lalu menggenggam tangan besar itu. “Percaya padaku, ya ....”

Karena keyakinan itulah, aku memilih Alecta untuk menjadi surrogate mother. Aku bahkan bersusah payah menggunakan uang-uangku untuk menjungkirbalikkan kehidupannya.

Freya merasa bangga dengan rencana yang dia rancang sendiri. Rencana yang sudah berjalan separuhnya.

Priam menggendong tubuh istrinya dan sedikit membantingnya ke ranjang. “Aku sangat percaya padamu, My Queen.”

Jika Priam sudah memanggil Freya dengan sebutan ‘My Queen’, tandanya dia menginginkan malam yang panjang dan melebur untuk satu. “Sayang!” Freya menjerit ketika Priam berhasil meninggalkan jejak kecil di tubuhnya.

“Kamu tau, My Queen, aku menunggu sangat lama untuk ini. Kamu terlalu sibuk bekerja hingga melupakanku.” Priam merajuk, nada bicaranya sangat manja seperti anak kecil yang meminta permen pada ibunya.

“Maaf, Sayang.” Freya ingin memegang kendali. Dia berhasil duduk di atas Priam. “Bukankah katamu, aku harus terlihat profesional dalam pekerjaanku? Menjadi aktris yang terkenal bukan saja pekerjaanku, tapi juga cita-citaku.”

“Tapi kamu tidak perlu bekerja lagi, My Queen. Aku masih bisa membiayai kebutuhanmu.”

Freya mengecup bibir Priam. “Kita sudah mendiskusikan itu, Sayang. Jangan buat malam ini menjadi perdebatan.”

“Kalau begitu, malam ini akan menjadi malam yang panjang untukmu, My Queen.” Priam mematikan lampu kamar. Dia membiarkan cahaya dari penerangan lain memasuki dari jendela-jendela kamarnya.

My Queen, lakukan sesuai keinginanmu.” Priam tersenyum nakal dalam gelap.

***

Keesokan harinya, Alecta dibuat kaget oleh pemilik toko yang menyiramkan air di wajahnya. Pemilik toko itu mengusir Alecta dengan makian dan hinaan yang sangat kasar. Ia juga menatap jijik seaka Alecta pembawa kesialan untuk tokonya.

“Pergi dari sini!”

Alecta buru-buru menyeret tasnya yang berat, dan pergi dari depan toko barang kebutuhan pokok itu. Tadi malam dia terpaksa tidur di depan toko itu karena nyala lampunya yang terang, dan dekat dengan jalan raya.

Alecta berjalan seperti tunawisma yang tak memiliki arah untuk pulang, ditambah badannya terasa deman karena hujan kemarin. Alecta memang masih terbilang warga baru di Kota Dennosam, baru tiga tahun menetap di kota ini. Itupun secara terpaksa.

Alecta terus berjalan hingga sampai di sebuah rumah yang sudah lama ditinggalkan. Berutung Alecta mendatangi rumah itu di saat matahari sudah muncul, jika malam pastilah aura rumah itu sudah berbeda. Seperti di alam dunia lain.

Alecta memperhatikan anak tangga yang dilalui, banyak tanaman liar yang merambat. Ketika memasuki rumah itu, lantainya sangat kotor karena keramiknya yang sudah retak di makan akar-akar tumbuhan. Banyak jendela tanpa kaca, ada juga kaca yang sudah retak sampai pecah.

Di sudut rumah terdapat banyak sekali botol bir yang kondisinya kotor dan pecah. Kemungkinan ada seseorang yang pernah ada di tempat yang mengerikan ini, begitu pemikiran Alecta.

“Setidaknya tempat ini bisa digunakan untuk sementara waktu.” Alecta menyemangati dirinya sendiri.

Alecta berjalan menyusuri rumah tak berpenghuni itu, di bagian luar ada keran. Dia mencoba untuk memutar keran itu, dan air jernih keluar dari lubang kecil.

“Wah, bisa buat cuci muka.” Tanpa pikir panjang lagi, Alecta membasuh mukanya yang kusut dan cemong. Setelah itu dia menengadakan tangan agar bisa menampung air keran itu lalu meminumnya.

“Segarnya.” Alecta masih memiliki sisa keberuntungan, setidaknya air yang dia minum aman, tidak berbau dan tidak berwarna. Prinsip sebuah air yang bisa diminum, kurang lebih seperti itu di pikirannya.

Alecta kembali ke dalam rumah tak berpenghuni itu. Dia membongkar tasnya yang super berat karena kehujannya. Hampir semua pakaian di dalam tas itu dalam keadaan basah. Dia harus mencari amplop cokelat yang diberikan Freya tiga hari yang lalu, saat diculik.

“Astaga!” Jerit Alecta, saat melihat amplop berserta isinya juga basah. Dia harus cepat menjemur kertas-kertas itu.

Alecta mulai menata kertas-kertas yang basah itu di dekat jendela yang terpapar sinar matahari.

“Bodoh!” Alecta memukul kepalanya sendiri menyadari sebuah kecerobohan yang amat sangat tidak bisa dimaafkan. Kemarin setelah diusir oleh Mami Gendut, Alecta memang masih berdiri di taman saat hujan membasahi langit Kota Dennosam. Dengan dungunya, dia berteriak mengikrarkan balas dendamnya kepada Freya, tanpa memerdulikan tasnya yang kebasahan.

Alecta baru menyesal sekarang. “Ternyata penyesalan selalu datang di akhir. Haciuhhh!” dia juga bersin dan sedikit beringus karena hujan semalam.

“Aku tak mau bermalam di tempat seperti ini.”  Aleta menggeleng sembari mencari-cari nomor telepon Freya di kertas-kertas kontrak yang dijemur itu.

Sejujurnya kondisi kertas-kertas kontrak itu sudah luntur di beberapa tempat. Sekali lagi semua ini karena kebodohan Alecta.

“Ketemu!” Akhirnya Alecta menemukan nomor telepon Freya. Beruntung kertas itu tidak terlalu basah. Dia merobek bagian nomor telepon Freya, lalu menyimpanya di saku kemeja yang dipakainya. Alecta akan menghubunginya ketika nanti ada orang yang berbaik hati meminjamkan ponselnya, sebab dia tidak punya ponsel, barang mewah yang ingin dia punyai sejak dulu.

Tiba-tiba suara perut Alecta terdengar nyaring. “Aku lupa makan kemarin. Sekarang aku lapar sekali.”

Alecta merogoh saku celana panjangnya dan menemukan ada selembar uang seratus ribu. Uang yang tersisa dari uang pesangonnya. Itu pun karena tiga debt collector yang memberikannya sebagai tanda belas kasih. “Cukup untuk makan dua kali.”

Tepat saat Alecta keluar dari rumah itu, dua ekor kecoak berjalan di sepatunya. Sontak dia menjerit dan melompat-lompat geli karena binatang itu. Kecoak jatuh dari badan Alecta, seketika Alecta langsung menginjaknya sampai gepeng.

“Yang satunya lagi mana?” Alecta masih mencoba meraba-raba dan menajamkan matanya menemukan binatang itu.

“Sepertinya yang satu udah kabur.” Alecta yakin, karena tidak menemukan si kecoak itu. “Oke, saatnya keluar.”

Alecta menuruni tangga rumah itu, lalu mencari rumah makan terdekat. Dia harus melewati jalan yang menurun. Untung saja Alecta pernah berkeliling di tempat ini beberapa bulan yang lalu untuk mencari pekerjaan sebelum diterima di pabrik saus.

Selama berjalan, Alecta merasa gelisah. Ada sesuatu yang seakan berjalan mengelilingi tubuhnya. beberapa kali dia harus mengecek sekeliling tubuhnya. Dia sangsi kalau satu kecoak itu sudah hilang. Alecta benar-benar yakin jika ada dua ekor kecoak yang mengerubunginya tadi.

Tangannya berhasil merasakan tubuh binatang yang menggelikan itu. Refleks Alecta menjerit lagi, hingga dia tak sadar ada mobil yang melaju cukup kencang.

“Aaaaakkk!” Alecta memejamkan mata, lalu menjerit hingga tubuhnya sedikit terdorong ke belakang. Dia baru membuka mata dan menyadari jika jarak wajahnya dengan ujung depan mobil sangat dekat. Jantungnya berdegup kencang, Alecta baru saja selamat dari kematian.

“Anda tidak apa-apa?” tanya seorang pria berjas hitam dan memakai sarung tangan warna putih. “Hei! Apakah Anda terluka?” tanyanya lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status