Share

Chapter 3 Mengikrarkan Balas Dendam

Keesokan harinya, Freya mendatangi Kantor Mata-mata dan Pekerjaan Kotor lagi. Dia ingin menyewa jasa seperti kemarin, tapi bukan untuk menculik, melainkan membuat dunia Alecta serasa runtuh seketika. Hingga Alecta bersedia untuk menandantangani kontrak sebagai surrogater mother.

Mobil mewah yang ditumpangi Freya berhenti di tempat parkir. Sebenarnya Kantor Mata-mata dan Pekerjaan Kotor ini tidak memiliki nama yang jelas. Bahkan orang awam tidak akan menyangka jika bangunan ini ada kantor seperti itu, karena mereka menutupinya dengan memasang plang bertuliskan gedung olahraga. Yang mana di lantai dasar ada tiga lapangan bulu tangkis yang bisa disewakan.

Sedangkan lantai ketiga hingga seterusnya, adalah Kantor Mata-mata dan Pekerjaan Kotor itu sendiri. Pekerjaan mereka bisa dibilang pekerjaan yang sangat dibutuhkan dan memiliki resiko yang tinggi dan harga yang tidak murah. Mereka menawarkan jasa mata-mata untuk mencari informasi seseorang, menawarkan beberapa pria yang bisa menjadi bodyguard, menculik seseorang, dan pekerjaan kotor lainnya. Akan tetapi pekerjaan membunuh tidak masuk dalam jasa di kantor ini.

Freya mendatangi agen yang kemarin. Pria yang suka duduk di kuris putar. Dia baru tahu jika nama pria itu adalah Laurent. Nama yang terlalu bagus untuk wajahnya yang seperti Swiper si rubah pencuri. Freya sudah duduk di hadapan Laurent.

“Sepertinya kamu ketagihan menyewa jasa di kantor ini Nyonya Freya Farista.” Laurent tertawa sumbang.

Tanpa basa-basi, Freya mengeluarkan tiga gepok uang dan menyodorkan kepada Laurent. “Aku ingin kalian menjungkirbalikkan nasib seseorang dalam waktu sekejap saja.” Freya juga mengeluarkan amplop besar berwarna hitam. “Ini identitasnya. Aku harap kalian dapat menyelesaikan ini dalam tempo tiga hari. Setelah kalian berhasil, nanti uangnya akan aku tambah lima kali lipat daripada ini.”

Laurent menyeringai ketika melihat uang yang disodorkan Freya. Sekarang dia sudah tidak ada bedanya seperti setan yang kehausan uang. “Perempuan yang kemarin? Baiklah, Nyonya Freya Farista.”

****

Waktu makan siang telah dimulai. Para barisan pekerja pabrik saus sudah mengantri di kantin untuk mendapat jatah makan siang. Alecta membaca di papan pengumuman, jika menu makan siang hari ini adalah sup dan perkedel. Menu yang lumayan menggugah selera makan.

Sekarang giliran Alecta yang mendapat jatah makan siang. Sebuah nampan yang fungsikan juga sebagai piring, kini berisi sup, perkedel dan nasi disodorkan kepada Alecta. Dia menerimanya dan langsung mencari tempat duduk. Setiap pekerja di pabrik ini mendapat waktu istirahat selama 15 menit.

Alecta mulai menyantap makanannya. Tiba-tiba dia teringat akan tawaran Freya dua hari lalu. Tawaran yang terlihat menggiurkan. Akan tetapi resiko kesakitan dan beban mental yang membuat Alecta berpikir untuk menolaknya.

Alecta sudah selesai makan, lalu membawa nampan itu ke bagian cuci. Dia akan kembali bekerja. Sesaat sebelum Alecta memasang sarung tangan berbahan lateks, seseorang di bagian pengawas memanggilnya. Ia bilang, Alecta di panggil atasan.

Alecta mengernyitkan dahi. Sejenak dia mengingat-ingat kesalahannya dalam pekerjaannya. Dalam seminggu ini, dirinya yakin tidak membuat masalah dalam pekerjaannya. Dia bekerja dari jam tujuh pagi hingga jam empat sore. Lebih dua jam ketimbang teman-teman lain yang satu shift dengannya.

Alecta tak jadi memakai sarung tangan. Dia berjalan menuju ruangan atasan yang tak lain kepala pengawas di pabrik ini. Alecta duduk di kursi yang telah disediakan. Tanpa basa-basi dia langsung mengatakan, “Kenapa saya dipanggil?”

Kepala pengawas itu pria dengan wajah chubby yang umurnya sudah lebih tua dari penampilannya. Dia menyodorkan sebuah amplop berisi beberapa lembar uang gaji Alecta bulan ini.

“Kamu dipecat.”

Mata Alecta melebar, mulutnya ternganga. “Maaf, saya tidak salah dengar, kan?”

“Tidak, silakan ambil uang pesangonmu dan pergi.”

Alecta tetap tidak bisa menerima ini. Dia bangkit dan mendatangi meja kepala pengawas itu. “Saya bekerja dua jam lebih lama dibanding yang lain, dan saya tidak pernah absen meskipun hari itu adalah jatah libur saya!”

Kepala pengawas yang tidak terima dibentak. “Satpam! Tolong seret perempuan ini!”

Pria berseragam satpam itu langsung memasuki ruangan kepala pengawas. Lalu menyeret Alecta. Tapi Alecta melepaskan cengkeraman tangan pak satpam itu. “Saya bisa keluar sendiri.”

Alecta mengambil amplop yang berisi uang pesangonnya, lalu keluar dari ruangan kepala pengawas dengan dengusan napas sebagai bentuk kekecewaannya. Dia melewati beberapa barisan pekerja yang sibuk di station-nya masing-masing.

Alecta sudah tidak peduli dengan tatapan itu, dia memilih berjalan menuju tempat penyimpanan barangnya. Dia mengambil tas selempang dan jaket penghalau angin dingin. Setelah itu dia pergi dari pabrik dan berjalan ke lahan kosong.

Dalam hati kecil Alecta, dirinya sedang meringkuk memeluk lututnya dan menangis. Tapi yang diperlihatkan untuk dunia adalah ekspresi datar yang tidak ada lengkungan bibir manis yang menghiasi wajahnya. Sejujurnya dia sudah lelah menangis karena dunia tidak butuh tangisannya.

Alecta memilih pulang ke rumah sewa dan akan menyerahkan sebagian uang pesangonnya kepada Mami Gendut, sebelum ia berteriak menyindir karena Alecta tak kunjung membayar uang sewa.

Sudah dua hari ini Alecta memilih jalan yang lebih jauh untuk sampai di rumah sewanya. Dia masih merasakan trauma bagaimana dia diculik, kemudian diseret dan diberi kejut listrik yang sangat menyakitkan itu. Tentu pilihan terbaik adalah jalan yang aman dan banyak orang yang berlalu lalang.

Ketika Alecta sampai di rumah besar milik Mami Gendut, sahutan Mami Gendut tidak terdengar. “Mungkin sedang di kamar mandi.” Alecta mengangkat bahunya. Dia pikir, nanti saja memberikan sebagian pesangonnya untuk bayar sewa.

Alecta terus berjalan hingga menemukan Mami Gendut sudah duduk di depan rumah kecil itu dan sudah mengemasi barang-barang Alecta.

“Kenapa barang-barangku ada di sini?” tanya Alecta yang kebingungan.

“Baru pulang kau! Nih! Angkut semua barang-barang kau dan pergi dari sini!” Mami Gendut melempar tas besar milik Alecta.

“Tunggu! Saya akan bayar uang sewa hari ini, Mami!” Alecta mengeluarkan amplop yang berisi uang pesangonnya. Dia menyodorkan uang itu kepada Mami Gendut.

“Kau tak dengar, ya! Sudah kubilang pergi dari rumah ini!” Mami Gendut berseru.

Alecta menggeleng. “Tidak bisa seperti itu! Aku akan membayar uang sewa rumah ini sekarang!”

“Kau ini tuli, ya! Rumah ini sudah ada yang mau menyewa. Aku tak butuh penghuni macam kau. Sudah sekarang pergi!”

Teriakan Mami Gendut memancing perhatian penghuni lain. Ada yang menonton dari depan rumahnya, ada juga yang mengintip di balik jendela. Tak sedikit yang berkerumun menebak-nembak, apa yang jadi pemicu Mami Gendut marah.

Alecta sudah tak ingin memohon lagi. Dia mengambil tas besarnya itu dan pergi dari tempat memuakkan ini. Semua mata tertuju pada Alecta, tapi dia tidak peduli, benar-benar sudah tidak peduli.

“Apa lihat-lihat! Bubar-bubar! Jangan sampai mata kau copot dari tempatnya!” umpat Mami Gendut.

Beberapa penghuni langsung masuk ke rumah, ada yang langsung menutup jendela beserta tirainya. Ada juga yang pura-pura sibuk melihat tanaman.

Alecta menyeret tasnya hingga di persimpangan jalan. Hari masih siang, beruntung cuaca sedang berawan, jadi sinar matahari tidak terlalu menyengat. Uang pesangon yang dia dapat sepertinya cukup untuk uang muka menyewa tempat tinggal dan kebutuhan makan selama tujuh hari. Jadi, selama seminggu ke depan, Alecta harus mencari pekerjaan lain agar kebutuhan hidupnya bisa tercukupi.

Ketika Alecta memutuskan untuk duduk di bangku taman, ketiga debt collector yang kemarin mendatangai Alecta kini mereka datang lagi. Dia mendengus kesal, sebab tiga orang itu selain kumal, mereka juga bodoh karena tidak tahu waktu.

“Duh siapa nih yang baru diusir dari rumah Mami.” Tawa mereka meledak.

Alecta bangkit dan akan beranjak dari tempat ini. Tapi, tangannya tertahan oleh pria codet. “Bayar dulu hutangmu.”

Alecta mengernyit. “Aku sudah bilang, aku akan bayar minggu depan. Dan itu masih empat hari lagi!”

“Bodoh amat! kami minta uang itu sekarang!” Pria codet itu mencoba merampas tas Alecta.

“Tidak! Jangan salahkan aku, jika aku akan berteriak!” Ancam Alecta.

“Silakan! Orang-orang tidak akan peduli. Kamu bukan siapa-siapa di kota ini!” ucap Pria gendut berkepala botak mirip bohlam.

Tas selempang Alecta berhasil direbut oleh Pria Codet. Ia menggasak dompet Alecta yang kosong melompong lalu membuangnya ke tanah. “Dompet kayak gini masih aja dipelihara.”

Pria Codet itu masih mengaduk-aduk isi tas Alecta, hingga menemukan sebuah amplop pesangon dari kepala pengawas pabrik. “Nah ini! Ternyata kamu punya duit.”

“Kembalikan! Jangan diambil semuanya!” Alecta berusaha merebut amplop itu. Kejadian ini sama seperti dua hari yang lalu, ketika roti bakar rasa cokelat kacangnya diambil. Jika kemarin Alecta ikhlas memberikan rotinya, kalau yang satu ini, dia tidak ikhlas memberikannya.

“Hei, Alek! Dengar ya, uang yang ada di amplop ini saja belum bisa melunasi hutangmu. Kamu masih punya bunga yang harus diselesaikan sebelum bunga itu bertambah mekar dan menghancurkanmu.” Pria dengan mulut bau jigong angkat bicara.

Pria bercodet itu mengeluarkan selembar seratus ribu untuk Alecta. “Ambilah, anggap saja aku masih punya rasa belas kasihan kepadamu.”

Tangan Alecta terasa kaku saat menerima uang pesangon itu. Dia merasa hidup ini tidak adil, Semesta seakan-akan tak peduli jika dirinya dipermainkan oleh manusia lain. Tiga debt collector itu pergi sambil tertawa riang, sebab mereka telah berhasil merampas uang milik Alecta.

Alecta terpaku lama sekali di tempat itu. Hingga hujan turun dan membasahinya. Hari ini adalah hari yang dipenuhi kesialan. Dipecat dari pabrik, diusir oleh Mami Gendut, dan uang pesangon yang raib diambil debt collector.

Mendadak Alecta teringat sesuatu, rentetan kejadian hari ini seperti sebuah skenario yang harus dilalui Alecta. Tebakannya, pasti ada yang sengaja membuatnya seperti ini. Pikiran Alecta terpaku pada satu perempuan yang bisa membuatnya hidup menderita. Dia adalah Freya Farista. Perempuan yang menjungkirbalikkan kehidupan Alecta.

“Jadi kamu memang ingin sekali menyewa rahimku? Sampai-sampai kamu rela membuatku seperti ini?” ucap Alecta dalam hujan. Petir bersahutan seakan ingin menyerukan seruan semangat untuk Alecta.

Tiba-tiba Alecta tertawa sambil merentangkan tangannya. “Akan aku ikuti alur permainanmu Freya! Aku buat kamu menyesal karena telah membiarkan aku masuk ke dalam hidupmu!”

Di bawah hujan yang deras, Alecta mengikrarkan balas dendamnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status