Keesokan harinya, Freya mendatangi Kantor Mata-mata dan Pekerjaan Kotor lagi. Dia ingin menyewa jasa seperti kemarin, tapi bukan untuk menculik, melainkan membuat dunia Alecta serasa runtuh seketika. Hingga Alecta bersedia untuk menandantangani kontrak sebagai surrogater mother.
Mobil mewah yang ditumpangi Freya berhenti di tempat parkir. Sebenarnya Kantor Mata-mata dan Pekerjaan Kotor ini tidak memiliki nama yang jelas. Bahkan orang awam tidak akan menyangka jika bangunan ini ada kantor seperti itu, karena mereka menutupinya dengan memasang plang bertuliskan gedung olahraga. Yang mana di lantai dasar ada tiga lapangan bulu tangkis yang bisa disewakan.
Sedangkan lantai ketiga hingga seterusnya, adalah Kantor Mata-mata dan Pekerjaan Kotor itu sendiri. Pekerjaan mereka bisa dibilang pekerjaan yang sangat dibutuhkan dan memiliki resiko yang tinggi dan harga yang tidak murah. Mereka menawarkan jasa mata-mata untuk mencari informasi seseorang, menawarkan beberapa pria yang bisa menjadi bodyguard, menculik seseorang, dan pekerjaan kotor lainnya. Akan tetapi pekerjaan membunuh tidak masuk dalam jasa di kantor ini.
Freya mendatangi agen yang kemarin. Pria yang suka duduk di kuris putar. Dia baru tahu jika nama pria itu adalah Laurent. Nama yang terlalu bagus untuk wajahnya yang seperti Swiper si rubah pencuri. Freya sudah duduk di hadapan Laurent.
“Sepertinya kamu ketagihan menyewa jasa di kantor ini Nyonya Freya Farista.” Laurent tertawa sumbang.
Tanpa basa-basi, Freya mengeluarkan tiga gepok uang dan menyodorkan kepada Laurent. “Aku ingin kalian menjungkirbalikkan nasib seseorang dalam waktu sekejap saja.” Freya juga mengeluarkan amplop besar berwarna hitam. “Ini identitasnya. Aku harap kalian dapat menyelesaikan ini dalam tempo tiga hari. Setelah kalian berhasil, nanti uangnya akan aku tambah lima kali lipat daripada ini.”
Laurent menyeringai ketika melihat uang yang disodorkan Freya. Sekarang dia sudah tidak ada bedanya seperti setan yang kehausan uang. “Perempuan yang kemarin? Baiklah, Nyonya Freya Farista.”
****
Waktu makan siang telah dimulai. Para barisan pekerja pabrik saus sudah mengantri di kantin untuk mendapat jatah makan siang. Alecta membaca di papan pengumuman, jika menu makan siang hari ini adalah sup dan perkedel. Menu yang lumayan menggugah selera makan.
Sekarang giliran Alecta yang mendapat jatah makan siang. Sebuah nampan yang fungsikan juga sebagai piring, kini berisi sup, perkedel dan nasi disodorkan kepada Alecta. Dia menerimanya dan langsung mencari tempat duduk. Setiap pekerja di pabrik ini mendapat waktu istirahat selama 15 menit.
Alecta mulai menyantap makanannya. Tiba-tiba dia teringat akan tawaran Freya dua hari lalu. Tawaran yang terlihat menggiurkan. Akan tetapi resiko kesakitan dan beban mental yang membuat Alecta berpikir untuk menolaknya.
Alecta sudah selesai makan, lalu membawa nampan itu ke bagian cuci. Dia akan kembali bekerja. Sesaat sebelum Alecta memasang sarung tangan berbahan lateks, seseorang di bagian pengawas memanggilnya. Ia bilang, Alecta di panggil atasan.
Alecta mengernyitkan dahi. Sejenak dia mengingat-ingat kesalahannya dalam pekerjaannya. Dalam seminggu ini, dirinya yakin tidak membuat masalah dalam pekerjaannya. Dia bekerja dari jam tujuh pagi hingga jam empat sore. Lebih dua jam ketimbang teman-teman lain yang satu shift dengannya.
Alecta tak jadi memakai sarung tangan. Dia berjalan menuju ruangan atasan yang tak lain kepala pengawas di pabrik ini. Alecta duduk di kursi yang telah disediakan. Tanpa basa-basi dia langsung mengatakan, “Kenapa saya dipanggil?”
Kepala pengawas itu pria dengan wajah chubby yang umurnya sudah lebih tua dari penampilannya. Dia menyodorkan sebuah amplop berisi beberapa lembar uang gaji Alecta bulan ini.
“Kamu dipecat.”
Mata Alecta melebar, mulutnya ternganga. “Maaf, saya tidak salah dengar, kan?”
“Tidak, silakan ambil uang pesangonmu dan pergi.”
Alecta tetap tidak bisa menerima ini. Dia bangkit dan mendatangi meja kepala pengawas itu. “Saya bekerja dua jam lebih lama dibanding yang lain, dan saya tidak pernah absen meskipun hari itu adalah jatah libur saya!”
Kepala pengawas yang tidak terima dibentak. “Satpam! Tolong seret perempuan ini!”
Pria berseragam satpam itu langsung memasuki ruangan kepala pengawas. Lalu menyeret Alecta. Tapi Alecta melepaskan cengkeraman tangan pak satpam itu. “Saya bisa keluar sendiri.”
Alecta mengambil amplop yang berisi uang pesangonnya, lalu keluar dari ruangan kepala pengawas dengan dengusan napas sebagai bentuk kekecewaannya. Dia melewati beberapa barisan pekerja yang sibuk di station-nya masing-masing.
Alecta sudah tidak peduli dengan tatapan itu, dia memilih berjalan menuju tempat penyimpanan barangnya. Dia mengambil tas selempang dan jaket penghalau angin dingin. Setelah itu dia pergi dari pabrik dan berjalan ke lahan kosong.
Dalam hati kecil Alecta, dirinya sedang meringkuk memeluk lututnya dan menangis. Tapi yang diperlihatkan untuk dunia adalah ekspresi datar yang tidak ada lengkungan bibir manis yang menghiasi wajahnya. Sejujurnya dia sudah lelah menangis karena dunia tidak butuh tangisannya.
Alecta memilih pulang ke rumah sewa dan akan menyerahkan sebagian uang pesangonnya kepada Mami Gendut, sebelum ia berteriak menyindir karena Alecta tak kunjung membayar uang sewa.
Sudah dua hari ini Alecta memilih jalan yang lebih jauh untuk sampai di rumah sewanya. Dia masih merasakan trauma bagaimana dia diculik, kemudian diseret dan diberi kejut listrik yang sangat menyakitkan itu. Tentu pilihan terbaik adalah jalan yang aman dan banyak orang yang berlalu lalang.
Ketika Alecta sampai di rumah besar milik Mami Gendut, sahutan Mami Gendut tidak terdengar. “Mungkin sedang di kamar mandi.” Alecta mengangkat bahunya. Dia pikir, nanti saja memberikan sebagian pesangonnya untuk bayar sewa.
Alecta terus berjalan hingga menemukan Mami Gendut sudah duduk di depan rumah kecil itu dan sudah mengemasi barang-barang Alecta.
“Kenapa barang-barangku ada di sini?” tanya Alecta yang kebingungan.
“Baru pulang kau! Nih! Angkut semua barang-barang kau dan pergi dari sini!” Mami Gendut melempar tas besar milik Alecta.
“Tunggu! Saya akan bayar uang sewa hari ini, Mami!” Alecta mengeluarkan amplop yang berisi uang pesangonnya. Dia menyodorkan uang itu kepada Mami Gendut.
“Kau tak dengar, ya! Sudah kubilang pergi dari rumah ini!” Mami Gendut berseru.
Alecta menggeleng. “Tidak bisa seperti itu! Aku akan membayar uang sewa rumah ini sekarang!”
“Kau ini tuli, ya! Rumah ini sudah ada yang mau menyewa. Aku tak butuh penghuni macam kau. Sudah sekarang pergi!”
Teriakan Mami Gendut memancing perhatian penghuni lain. Ada yang menonton dari depan rumahnya, ada juga yang mengintip di balik jendela. Tak sedikit yang berkerumun menebak-nembak, apa yang jadi pemicu Mami Gendut marah.
Alecta sudah tak ingin memohon lagi. Dia mengambil tas besarnya itu dan pergi dari tempat memuakkan ini. Semua mata tertuju pada Alecta, tapi dia tidak peduli, benar-benar sudah tidak peduli.
“Apa lihat-lihat! Bubar-bubar! Jangan sampai mata kau copot dari tempatnya!” umpat Mami Gendut.
Beberapa penghuni langsung masuk ke rumah, ada yang langsung menutup jendela beserta tirainya. Ada juga yang pura-pura sibuk melihat tanaman.
Alecta menyeret tasnya hingga di persimpangan jalan. Hari masih siang, beruntung cuaca sedang berawan, jadi sinar matahari tidak terlalu menyengat. Uang pesangon yang dia dapat sepertinya cukup untuk uang muka menyewa tempat tinggal dan kebutuhan makan selama tujuh hari. Jadi, selama seminggu ke depan, Alecta harus mencari pekerjaan lain agar kebutuhan hidupnya bisa tercukupi.
Ketika Alecta memutuskan untuk duduk di bangku taman, ketiga debt collector yang kemarin mendatangai Alecta kini mereka datang lagi. Dia mendengus kesal, sebab tiga orang itu selain kumal, mereka juga bodoh karena tidak tahu waktu.
“Duh siapa nih yang baru diusir dari rumah Mami.” Tawa mereka meledak.
Alecta bangkit dan akan beranjak dari tempat ini. Tapi, tangannya tertahan oleh pria codet. “Bayar dulu hutangmu.”
Alecta mengernyit. “Aku sudah bilang, aku akan bayar minggu depan. Dan itu masih empat hari lagi!”
“Bodoh amat! kami minta uang itu sekarang!” Pria codet itu mencoba merampas tas Alecta.
“Tidak! Jangan salahkan aku, jika aku akan berteriak!” Ancam Alecta.
“Silakan! Orang-orang tidak akan peduli. Kamu bukan siapa-siapa di kota ini!” ucap Pria gendut berkepala botak mirip bohlam.
Tas selempang Alecta berhasil direbut oleh Pria Codet. Ia menggasak dompet Alecta yang kosong melompong lalu membuangnya ke tanah. “Dompet kayak gini masih aja dipelihara.”
Pria Codet itu masih mengaduk-aduk isi tas Alecta, hingga menemukan sebuah amplop pesangon dari kepala pengawas pabrik. “Nah ini! Ternyata kamu punya duit.”
“Kembalikan! Jangan diambil semuanya!” Alecta berusaha merebut amplop itu. Kejadian ini sama seperti dua hari yang lalu, ketika roti bakar rasa cokelat kacangnya diambil. Jika kemarin Alecta ikhlas memberikan rotinya, kalau yang satu ini, dia tidak ikhlas memberikannya.
“Hei, Alek! Dengar ya, uang yang ada di amplop ini saja belum bisa melunasi hutangmu. Kamu masih punya bunga yang harus diselesaikan sebelum bunga itu bertambah mekar dan menghancurkanmu.” Pria dengan mulut bau jigong angkat bicara.
Pria bercodet itu mengeluarkan selembar seratus ribu untuk Alecta. “Ambilah, anggap saja aku masih punya rasa belas kasihan kepadamu.”
Tangan Alecta terasa kaku saat menerima uang pesangon itu. Dia merasa hidup ini tidak adil, Semesta seakan-akan tak peduli jika dirinya dipermainkan oleh manusia lain. Tiga debt collector itu pergi sambil tertawa riang, sebab mereka telah berhasil merampas uang milik Alecta.
Alecta terpaku lama sekali di tempat itu. Hingga hujan turun dan membasahinya. Hari ini adalah hari yang dipenuhi kesialan. Dipecat dari pabrik, diusir oleh Mami Gendut, dan uang pesangon yang raib diambil debt collector.
Mendadak Alecta teringat sesuatu, rentetan kejadian hari ini seperti sebuah skenario yang harus dilalui Alecta. Tebakannya, pasti ada yang sengaja membuatnya seperti ini. Pikiran Alecta terpaku pada satu perempuan yang bisa membuatnya hidup menderita. Dia adalah Freya Farista. Perempuan yang menjungkirbalikkan kehidupan Alecta.
“Jadi kamu memang ingin sekali menyewa rahimku? Sampai-sampai kamu rela membuatku seperti ini?” ucap Alecta dalam hujan. Petir bersahutan seakan ingin menyerukan seruan semangat untuk Alecta.
Tiba-tiba Alecta tertawa sambil merentangkan tangannya. “Akan aku ikuti alur permainanmu Freya! Aku buat kamu menyesal karena telah membiarkan aku masuk ke dalam hidupmu!”
Di bawah hujan yang deras, Alecta mengikrarkan balas dendamnya.
Ponsel Freya berdering, tanda ada pesan baru. Freya meliriknya sekilas, lalu menyambar ponsel itu di sela-sela malamnya bersama Priam. Dia membaca pesan-pesan dari Laurent, jika misinya berhasil dan segera meminta bayaran yang dijanjikan.“Dari siapa, Sayang.” Priam menoleh dari buku yang dibacanya ke arah istrinya yang sedang menyisir rambut di depan cermin meja hiasnya.“Hah! Da-dari sutradara. Dia menawariku sebuah projek film untuk ditayangkan tahun depan.” Freya tersenyum manis, meskipun dia sedang berbohong.Priam ber-oh, kemudian melanjutkan bacanya lagi.Freya yang merasa respon oh dari Priam adalah sebuah kekecewaan. Dia memutuskan untuk mematikan ponselnya, lalu mendekati dan bermanja di lengan suaminya. “Sepertinya buku yang kamu baca menarik sekali, Sayang.”Priam menutup bukunya, kemudian mengacak-acak rambut Freya yang telah ditatanya.“Sayang!” Freya tertawa karena
“Aaaaakkk!” Alecta memejamkan mata, lalu menjerit hingga tubuhnya sedikit terdorong ke belakang. Dia baru membuka mata dan menyadari jika jarak wajahnya dengan ujung depan mobil sangat dekat. Jantungnya berdegup kencang, Alecta baru saja selamat dari kematian.“Anda tidak apa-apa?” tanya seorang pria berjas hitam dan memakai sarung tangan warna putih. “Hei! Apakah Anda terluka?” tanyanya lagi.Alecta menengadah, wajah pria itu tidak tampak karena silau dari sinar matahari. Sampai pria itu ikut berjongkok di hadapan Alecta. Wajahnya sangat dekat dengan wajah Alecta.Alecta terkesima dengan pria di hadapannya. Dia seperti dewa yang diutus untuk turun ke bumi dan menemui Alecta.Astaga! Tampan sekali!Meskipun pria itu memakai kacamata, tidak mengurangi pesonanya. Rambutnya yang tertata rapi, wajah yang bersih tanpa jerawat ataupun bintik hitam kecil, dan sarung tangan putih yang membungkus ta
“Anda tau, Nyonya Freya. Bahkan perempuan berbadan gendut itu mengusir Alecta, tak peduli ada uang di tangannya.” Laurent tertawa. “Lalu setelah perempuan itu diusir, tiga debt collector itu merampas uangnya, dan terakhir dia bermalam di depan toko.” Laurent menjentikkan jarinya. “Bukankah itu menyenangkan?”Freya hanya tersenyum simpul. Meskipun Laurent berhasil menjungkirbalikkan kehidupan Alecta, tapi perempuan itu belum menghubunginya sampai sekarang. Jika ia sudah menyerah, harusnya sejak tadi malam minta untuk dijemput.“Jadi bagaimana dengan bayarannya?” tanya Laurent.Freya mengambil amplop yang berisi uang untuk membayar jasa Laurent, pria yang mirip Swiper si rubah pencuri. “Silakan dihitung.”Laurent tertawa. “Aku percaya padamu, Nyonya.”Freya mengecek ponselnya. Tidak ada panggilan masuk ataupun pesan baru. Dia mulai resah.“Sepe
Sebuah mobil putih mengkilat dengan ban-ban hitam yang kontras dengan warna aspal berhenti di depan rumah tak berpenghuni. Seorang pria berpenampilan rapi keluar dari mobil, lalu menatap ke sebuah jendela tanpa kaca. Di sana Alecta sudah menunggu.Alecta mengambil napas panjang. “Ini saatnya memulai membalaskan dendam. Kamu bisa Alecta. Buat Freya menderita karena pernah merampas orang yang kamu sukai! Buat Freya menanggung akibat karena menjungkirbalikan kehidupanmu dalam semalam. Buat Freya membayar semua ini.”Alecta sudah memantapkan tekadnya. Dia hanya ingin membuat Freya merasa kehilangan. Dia mengangkat tas besar dan amplop berisi surat kontrak yang tulisan sudah pudar. Saat melangkah keluar, Alecta mendapat sambutan penuh penghormatan di lakukan oleh pria itu.“Saya Naratama, utusan dari Nyonya Freya. Silakan masuk, Miss Alecta.” Pria itu membukakan pintu mobil seakan menyuruh Alecta agar segera bergegas.Alec
“Poin ke-15, tidak boleh keluar apartemen kecuali saat pemeriksaan berkala ataupun dalam keadaan mendesak. Poin ke-16, tidak boleh membocorkan hal ini kepada media dan hindari paparazi.” Aleta tidak percaya jika isi surat kontrak ini ada 100 poin yang harus dipatuhinya. “Kamu membuat surat ini jauh lebih detail dari sebelumnya.”Freya masih menikmati kopinya. Sejenak ia belum menjawab pertanyaan Alecta.“Poin ke-27, dilarang membawa teman ataupun saudara ke apartemen ini. Kamu ingin menyiksaku dalam kesepian?” Alecta menatap tajam lawan bicaranya yang masih menyesap kopi. “Jawab aku, Frey.” Alecta sudah merasa gemas karena tak kunjung dijawab.Freya meletakkan cangkir kopinya dengan lembut, seolah sedang makan bersama keluarga kerajaan. Kini, ia menatap Alecta. “Iya, aku mendetailkan semua surat kontrak itu agar kerahasiaan surogasi ini tetap terjaga. Tidak bocor pada media, karena aku tidak men
Alecta mendekatkan wajahnya ke Naratama. “Bagaimana kepribadian Priam Ardiaz?”Refleks Naratama menghindar, lalu menyodorkan sekotak donat. “Miss mau donat?”Alecta tersenyum, pertanyaannya tidak dijawab oleh Naratama. Dia tidak memperlihatkan rasa kesalnya melainkan tersenyum dan mengambil satu donat bertopping cokelat. “Terima kasih, kelihatannya lezat.”Alecta memainkan aktingnya. Dia memakan donat yang dipilihnya, seolah melupakan pertanyaan nekat tadi. “Donat ini sungguh enak!”Naratama tertawa hambar sambil menggaruk belakang kepalanya. Bagi Alecta, perilaku seperti itu berarti lawan bicaranya sedang grogi.“Kenapa Miss bertanya soal Tuan Ardiaz?”Alecta diam sejenak, memikirkan apa yang ingin dia jawab, karena perilaku Naratama agaknya sulit ditebak.“Iya ... Aku hanya takut. Selama ini aku belum pernah bertemu langsung dengan Priam Ardiaz, tapi aku
Priam sedang terjebak dalam lautan manusia. Rapatnya sudah selesai tiga puluh menit yang lalu, tapi perjalanan menuju restoran, tempat pertemuannya dengan kandidat surrogate mother akan terlambat. Dia sudah mengirim pesan kepada Freya, kalau dirinya akan terlambat sampai waktu yang tidak bisa diprediksi.“Macet banget, Pak.” Pak Samsul berusaha memecah kesunyian serta kecemasan tuannya.“Tidak apa-apa, Pak. Lagian banyak orang yang turun ke jalan. Apa mereka sedang demo?” Priam bertanya balik.Pak Samsul yang tadi sudah menegangkan wajahnya karena takut kena semprot Priam karena keterlambatan ini, akhirnya bisa bernapas lega. Setidaknya tuannya tidak memasang wajah galak seperti singa jantan yang ingin berkelahi dengan singa lainnya.“Sepertinya tidak, Pak. Kalau tidak salah sedang ada festival kembang api untuk memperingati hari jadi kota ini, Pak,” Pak Samsul menjawab santai. Ia tahu berita fest
“Miss, Tuan Priam sudah datang.” Naratama memberitahukan kedatangan Priam kepada Alecta.Alecta reflek memandang Priam yang masih terpaku di tempatnya. Mata mereka bertemu.Alecta melihat sosok pria dengan mulut sedikit terbuka dengan penampilanya yang sedikit kacau berbalut setelan jas mewah. Pria itu masih terpaku dengan mata yang lurus menatap Alecta.Apakah ada yang salah dengan penampilanku?Berkali-kali Alecta mengelap mulutnya takut ada yang sisa makanan yang menempel, dan sedikit salah tingkah. Akhirnya dia memilih menundukkan pandangannya, berusaha agar tidak perlu bersitatap dengan Priam terlalu lama.“Silakan duduk, Tuan. Saya akan memanggil Nyonya Freya, karena beliau sedang menelepon di ruangan lain. Permisi.” Naratama berlalu dengan sopan.“Iya.” Priam menjawab singkat, lalu berjalan pelan menuju meja yang sudah ditempati Alecta.Meskipun tidak menengok sepenuhny