Cerita ini dibuat setelah putriku mulai belajar merangkak .Tidak sanggup jika harus cerita dari hamil muda sampai melahirkan. Warna kulit Rere putih kemerahan, mungkin karena perpaduan warna kulit putihku dan hitam suamiku.
*************
Waktu hamil mudah aku nyidam makanan apa pun tidak kesampaian, kecuali sambal belut dan sayur pakis. Jika pingin bakso hanya bisa menangis dan hanya terlaksana di alam mimpi, jika ayam dan ikan air tawar sering mengkonsumsi, karena setiap sore, Mas Rudi memasang perangkap ikan (wu- wu), di sungai kecil belakang gubuk, juga banyak ayam hutan yang bisa ditangkap.
Kadang ada pemburu lewat memberiku daging dari hasil buruannya. Entah itu daging apa, tapi aku sangat suka dari pada harus mengkonsumsi sayur pakis setiap hari.
Biarpun hamil masih tetap disuruh kerja ini dan itu, bahkan sempat pulang ke rumah orang tua, dengan naik ojek dari gunung (kebun) sampai rumah orang tua, dengan ongkos yang aku bayar dari hasil penjualan kemiri, yang kucari di hutan selama 10 hari.
Tanpa pamit dan membawa apa pun, aku pulang ke rumah orang tua, dan juga tanpa izin dari Mas Rudi, dengan alasan untuk ke pasar membeli beras, dan menjual kemiri. Dia tidak curiga karena rutinitasku sepuluh hari sekali pergi ke pasar.
Aku merasa sangat bahagia karena bisa lepas dari manusia kejam yang berkedok suami.
"Kok pulang sendiri?" Tanya ayahku setengah heran.
"Emangnya Rudi kemana kok tidak ikut?" tanya ayah, sambil menatap perutku yang membesar, karena sedang hamil 9 bulan.
Belum sempat menjawab ibu memelukku dari arah samping."Lisna sudah satu tahun kamu tidak pulang kok jadi hitam,dekil dan kurus. Hanya perutmu saja yang belendung?" Ibu bertanya, aku menjawab dengan isakan.
"Kangen Bu, huuu huuu." Kami pun menangis, sambil berpelukan.
Kami pun masuk ke rumah, karena tidak enak bercerita di luar takut didengar oleh orang lain. Apalagi tetangga kami yang bersifat seperti cctv hidup.
Belum sempat bercerita, Mas Rudi sudah sampai di depan pintu rumahku, dengan mengendarai motor gunungnya.
"Ayah, Ibu, untung saya tadi diberitahu Budi, kalau Lisna turun gunung," ucap Mas Rudi.
"Lho emangnya Lisna enggak pamit sama kamu?" Ayah bertanya kepada Mas Rudi.
"Enggak Bu, Lisna kalau kemana-mana tidak pernah pamit dulu padaku, Bu. Lisna itu sebenarnya pingin lahirannya di sini, tetapi aku larang karena takut ngerepotin Ayah dan Ibu." Kilah Mas Rudi, sambil meihatku dan aku langsung menunduk takut.
"Enggak papa, malah kami senang kalau Lisna mau lahiran di sini, jadi kami enggak perlu ke kebun, yang jauhnya sampai ujung sana," terang ibu, sambil tersenyum bahagia."Orang tuaku juga sangat menyayangi Lisna, maklum dia kan menantu pertama. Lisna sebenarnya tidak boleh kerja, tapi susah dibilangin, Bu. Badannya banyak goresan karena sering jatuh terkena ranting pohon Bu, dan bla bla bla." Omongan empuk seperti kapas keluar begitu saja dari mulut busuk Mas Rudi.
"Benarkah apa yang dikatakan Rudi, Nak?" Pertanyaan ibuku membuatku bingung untuk menjawabnya.
"Iya Bu," jawabku gugup, dan kulirik Mas Rudi tersenyum penuh kemenangan.
Mas Rudi pun menginap satu malam, dengan sangat licik dia menyodorkan uang 1 juta rupiah, kepadaku di depan orang tuaku.
"Aku tidak pernah megang duit, Bu, selalu aku setorkan ke Lisna semua untuk disimpan. Tapi Lisna boros, Bu, padahal beras dan kebutuhan lainnya sudah saya cukupi. Sebulan sekali saya pergi ke pasar, untuk membeli pupuk dan kebutuhan dapur. Duitnya dihabisin untuk beli kuota, makanya HP Android milik Lisna aku jual saja." ocehan Mas Rudi.
'Mau pergi masih sempatnya jelek-jelekin aku heran dec,' batinku.
Setelah akhirnya Mas Rudi pun pulang, tetapi sayang Ibu terus saja mengomel padaku, mengajariku supaya patuh dengan suami dan baik pada mertua.
Ingin rasanya menceritakan kehidupan di kebun, tapi takut darah tinggi ayah kambuh. Aku hanya bisa menangis dalam batin.
Kebetulan di sebelah rumah orang tua ialah rumahnya bidan desa. Aku pun bisa periksa ke sana, sebenarnya aku belum pernah priksa kandungan, selama di kebun tapi terpaksa berbohong karena takut dimarah.
Diperkirakan satu minggu lagi aku melahirkan, alangkah senangnya hati ini bisa benar-benar bebas dari Mas Rudi.
Di sisi lain aku bingung, karena belum memiliki popok dan pakaian bayi sama sekali. Sedang duit pemberian Mas Rudi sisa 800 ribu saja. Kugunakan untuk membeli jajan atau sayuran dan juga untuk membayar bidan, kemarin 50 ribu.
Atas ide ibu aku meminta baju bayi bekas milik kakak sulung, Mbak Ayu pun memberikannya dengan senang hati.
Perutku sudah mulai mules dan sakit yang teramat sakit, dengan jalan yang tertatih-tatih, dipapah oleh ibu dan bude, yang memiliki rumah di depan rumah kami, menuju rumah bidan desa yang terletak di sebelah rumahku.
"Udah pembukaan 6 ini, Lisna di sini aja ya! tidak usah pulang supaya enak aku ngontrolnya." Perintah Bu bidan.
Aku hanya menjawab dengan anggukan, ucapan ibu bidan yang masih saudaraku.
Seperti ada tali pati Mas Rudi pun datang mencariku. Kala ibu pulang ke rumah dan tinggal kami berdua di rumah Bu bidan, Mas Rudi memarahiku.
"Kenapa harus ke bidan bayarnya mahal tahu?" bentak Mas Rudi pelan.
"Dulu ibuku ngelahirin di dukun beranak, dasar manja!" gerutu Mas Rudi.
"Duit yang aku kasih masih adakan?" tanya Mas Rudi.
"Sisah 300 ribu, Mas, itu duitnya ada di tas campur popok!" kilahku, sembari menunjuk tas sekolah yang ada di meja.
"Ha! Boros amat 20 hari habis 700 ribu, beli apa kamu? Rokokku saja satu bulan habis 800 ribu, dasar perempuan bodoh tidak bisa ngatur duit!" Bentak Mas Rudi, dengan suara pelan, mungkin dia takut jika ada orang yang mendengar ocehannya.
Aku menangis dibarengin dengan perut yang semakin sakit, aku berteriak mulutku pun ditutup oleh Mas Rudi, menggunakan telapak tangannya yang bau rokok.
"Lisna sini aku periksa, siapa tahu sudah ada pembukaan, jangan dibekap mulutnya kasian sakit. Biarin berteriak orang ngelahirin itu sakit jadi harus sayang sama istri!" ucap bu bidan, yang tiba-tiba muncul begitu saja, mungkin dia telah mendengar kala Mas Rudi memarahiku.
Mas Rudi pun hanya cengar-cengir, seperti orang bodoh. Hatiku ketawa, karena ada pembelaan.
Kugigit tangan Mas Rudi, kujambak rambutnya sekuat tenaga, cakaran pun mendarat di bibirnya.
"Ooee oee oer...." tangisan bayi merah.
Bayiku telah terlahir dengan selamat.
'Alhamdulilah, Ya Allah,' doaku dalam hati."Mengapa anak perempuan yang kamu lahirkan,Dek?" tanya Mas Rudi."Hust, enggak boleh asal ngomong!" bentak Bu bidan."Cepat di azanni (iqomatkan) putrinya!" perintah Bu bidan kepada Mas Rudi."Bisa azan enggak?" Bu bidan kembali bertanya."Biarin Lisna tidur, dia kecapekan jangan digangu!" perintah Bu bidan kepada Mas Rudi."Iya," jawab Mas Rudi, singkat.Sayup kudengar suara percakapan Mas Rudi dan Buk Bidan. Bidan yang biasanya ramah dan lembut, entah mengapa dia berbicara dengan nada ketus pada Mas Rudi.Aku ketiduran sampai pukul tujuh pagi. Ternyata sudah ramai orang yang datang di rumah Bu bidan, untuk melihat bayiku.Mas Rudi datang dengan membawa susu formula untuk bayi. Karena Asiku belum keluar dan bayinya menangis terus. Rupanya tadi pagi Mas Rudi disuruh mencuci baju dan kain yang terkena darah.
Lapar sekali perutku padahal tadi siang sudah makan banyak. Mungkin ini efek dari menyusui, selalu terasa lapar padahal sudah ngemil rambutan.Di depan gubuk ada pohon rambutan yang sangat tinggi dan besar. Setiap pagi banyak buah rambutan yang berjatuhan di bawah pohonnya.Sambil menggendong Rere aku memungutti buah rambutan yang berjatuhan. Awalnya aku mencret, jika makan rambutan banyak, tapi sekarang sudah terbiasa, jadi mau makan banyak juga tidak mencret lagi.Aku bingung nasi tinggal sepiring, untukku apa untuk Mas Rudi ya? Sebaiknya aku nanti tanyakan dia saja. Sebentar lagi dia pulang."Mas aku lapar, nasi itu untukku ya?" Pintaku pada Mas Rudi."Terus aku makan apa?" Mas Rudi balik bertanya."Mas kan bisa makan di gubuk mamak," terangku, memberikan solusi."Baiklah," jawab Mas Rudi singkat.'Yes, aku enggak kelaparan,' kataku dalam hati, sambil tersenyum melihat Mas Rudi berjalan keluar g
"Ada apa Lisna kok cemberut?" tanya ibuku."Sudah sana bersiap berangkat, ikut suamimu nanti dosa loh!" perintah ibu.Tidak kuasa untuk membantah perintah Ibuku, akhirnya aku pun berangkat juga ke rumah mertuaku yang jaraknya entah berapa kilo meter, yang jelas menghabiskan waktu dua jam perjalanan yang ditempuh dengan montor gunung milik Mas Rudi.Beraneka pikiran berkecamuk menari di dalam otakku.'Apa yang akan terjadi nanti?, adakah aku akan disiksa lagi?'Kutepis semua pikiran negatif itu. Kupikirkan tentang hal yang baik-baik saja biar hidupku menjadi lebih baik.'Lihatlah Mas Rudi sudah membelikan baju untukku!''Pasti dia sadar, apa yang dia lakukan padaku itu salah.''Dia tidak bisa hidup tanpaku,' kataku dalam hati.Benar saja Mas Rudi dan keluarganya bersikap baik terhadap diriku, dan aku pun merasa tidak perlu bercerai dengannya lagi.Hari raya pertama kami bertamu di setiap rumah s
Sesak terasa di pagi buta mamak sudah marah-marah enggak jelas pada Aku, yang tidak mengerti apapun. Seolah semua kesalahan tertuju pada diri ini, biar pun Mas Rudi yang bersalah tetap saja diriku, yang kena damprat Mamak."Seharusnya kamu itu jadi istri pintar ngurusin suami, jadi suaminya tidak pergi memancing setiap malam. Pasti Rudi sudah bosan sama kamu, makanya tiap malam selalu ditinggal pergi terus sama dia. Dasar perempuan bodoh! Enggak bejus kerjaannya, ngurusin suami satu aja enggak bisa. Tolol kamu!" umpat Mamak.Aku hanya diam menangis sambil memeluk Rere, yang ikut menangis dengan keras. Mungkin dia terkejut dengan suara neneknya, yang seperti petir menyambar gubuk papan bambu milik kami."Jika dikasih tahu itu, jangan diam saja! Sekali-sekali jawab, kenapa? Apa kamu tak kasian sama Rudi, hah? Malam bergadang, siang harus berkerja di kebun, bahkan sering kali dia ketiduran di keb
"Ada apa Lisna kok cemberut?" tanya ibuku."Sudah sana bersiap berangkat, ikut suamimu nanti dosa loh!" perintah ibu.Tidak kuasa untuk membantah perintah Ibuku, akhirnya aku pun berangkat juga ke rumah mertuaku yang jaraknya entah berapa kilo meter, yang jelas menghabiskan waktu dua jam perjalanan yang ditempuh dengan montor gunung milik Mas Rudi.Beraneka pikiran berkecamuk menari di dalam otakku.'Apa yang akan terjadi nanti?, adakah aku akan disiksa lagi?' tanyaku dalam hati, yang tidak mendapatkan jawaban.Kutepis semua pikiran negatif itu. Kupikirkan tentang hal yang baik-baik saja biar hidup menjadi lebih baik.'Lihatlah Mas Rudi sudah membelikan baju untukku!' aku menghibur diri sendiri.'Pasti dia sadar, apa yang dia lakukan padaku itu salah.''Dia tidak bisa hidup tanpaku,' kataku dalam hati.
Aku terus saja mengeluarkan isi perutku. Sampai cairan kuning kental, yang rasanya sangat pahit.Perut pun menjadi terasa lapar, karena aku masih menyusui putriku. Namun, perasaan mau muntah, tidak dapat aku bendung lagi. Entahlah sampai kapan musim durian ini akan berlangsung. Sementara sekarang masih awal musim dari mulai jatuhnya durian.Entah mengapa aku tidak bisa makan durian? Jngankan untuk memakannya. Baru mencium aroma durian saja aku udah muntah-muntah.Semalaman aku tidak bisa tidur, karena teman-teman Mas Rudi datang ke gubuk. Mereka melakukan pesta durian. Mereka ketawa dan bercanda dengan suara keras, sontak saja Rere jadi terganggu tidurnya. Rere rewel terus dan selalu minta gendong kepadaku, yang sedang merasakan mual.Aku ingin menegur mereka, tetapi takut dimarah oleh Mas Rudi.'Ya Allah semoga mereka lekas pulang,' do'aku dalam hati.Tepat pukul satu malam aku tidak mendengar suara mereka lagi berbincan
Diriku bener-bener mabuk durian. Namun, teman-teman Mas Rudi setiap hari selalu makan, minum dan tidur di gubuk. Dengan alasan bahwa gubukku lebih dekat dengan hutan, kenyataanya memang seperti adanya itu. Ayah datang berkunjung ke kebun. Kala Mas Rudi berserta teman-temannya sedang istirahat siang, di dalam gubuk.Ayah membawa kabar jika sepupuku, yang rumahnya tepat di samping rumah orang tuaku. Dia akan menikah dan pernikahannya diadakan secara meriah, jadi aku harus pulang ke desa untuk beberapa hari.Mas Rudi pun seperti biasanya bersifat sangat ramah dan sopan kepada Ayah. Tidak ketinggalan juga kebiasaan membual, yang sangat berlebihan. Bahkan sangat bertolak dari kenyataan yang ada.Mertuaku tidak menyapa Ayah sama sekali, jangankan tanya kabar tersenyum saja pun tidak.Setelah basa-basi dan menyantap beberapa buah duri
"Rudii, sini mampir dulu, untuk minum kopi!" perintah Paman."Buru-buru, Man, besok lagi." sahut Mas Rudi, sambil mengegas motor."Enggak bawa durian?" selidik Paman."Besok kalau pas hari repsepsinya aku bawakan durian. Mau berapa buah, Paman?" ujar Mas Rudi."Berapa saja, yang penting gratis." sahut Paman, sambil tersenyum."Okay lah, aku pulang dulu takut kemalaman di jalan." ujar Mas Rudi."Iya hati-hati!" pesan Paman.Ndroooon .....ndrooon, droooon.Mas Rudi pun gergegas pulang ke kebun. Dengan mengendarai motor gunungnya, yang gelepotan tanah merah.Mereka semua memuji dan menyanjungku, yang memiliki suami baik hati. Memiliki kebun durian, yang luasnya sampai berhektar - hektar. Setiap perkataan mereka, aku hanya mampu menjawabnya dalam hati, sambil tersenyum untuk menutupi luka di hati.Rere sudah terlelap. Mungkin dia merasa capek dan badannya pun sedikit demam. Mungkin