Share

Omelan Mamak

Sesak terasa di pagi buta mamak sudah marah-marah enggak jelas pada Aku, yang tidak mengerti apapun. Seolah semua kesalahan tertuju pada diri ini, biar pun Mas Rudi yang bersalah tetap saja diriku, yang kena damprat Mamak.

"Seharusnya kamu itu jadi istri pintar ngurusin suami, jadi suaminya tidak pergi memancing setiap malam. Pasti Rudi sudah bosan sama kamu, makanya tiap malam selalu ditinggal pergi terus sama dia. Dasar perempuan bodoh! Enggak bejus kerjaannya, ngurusin suami satu aja enggak bisa. Tolol kamu!" umpat Mamak.

Aku hanya diam menangis sambil memeluk Rere, yang ikut menangis dengan keras. Mungkin dia terkejut dengan suara neneknya, yang seperti petir menyambar gubuk papan bambu milik kami.

"Jika dikasih tahu itu, jangan diam saja! Sekali-sekali jawab, kenapa? Apa kamu tak kasian sama Rudi, hah? Malam bergadang, siang harus berkerja di kebun, bahkan sering kali dia ketiduran di kebun," ocehan Mamak.

"Mak mana sarapanku?" tanya Bapak, kepada Mamak. Mamak pun berhenti bicara.

Mamak langsung terdiam, ketika bapak muncul dari arah pintu depan. Mamak berdengus kesal dan melirik ke arahku, dengan tatapan sinis. Dia berjalan menuju pintu gubuk.

"Brak."

 Dibuka dan ditutup secara kasar, pintu gubuk yang mulai keropos oleh mamak. Aku dan Rere pun terkejut. Bapak menoleh padaku sambil senyum simpul.

"Sabar ya, Lisna! Mamakmu emang seperti itu," ucap Bapak. Suaranya lembut dan penuh perhatian, sambil mendekat dan meminta Rere dari dekapanku.

Kuberikan Rere pada Bapak, yang sangat menyayangi cucu perempuan satu-satunya  Dengan penuh kasih sayang, bapak menimang Rere, sambil bersenandung kecil. Aku pun tersenyum bahagia melihat tingkah bapak, yang lucu saat mengajak Rere bicara. Seakan-akan melupakan luapan emosi Mamak.

"Aku dengar hari ini ada bidan desa, yang datang ke pasar. Sebaiknya kamu ikut aku untuk turun gunung, Rere diimunisasi biar badannya sehat," ajak bapak, sambil membelai rambut Rere.

 Kulihat netra Bapak berkaca-kaca, sambil menciumi wajah mungil putriku. Mungkin dia merasakan apa, yang aku rasakan selama hidup di kebun. Prihal sikap mamak dan Mas Rudi, yang selalu marah-marah.

"Baik pak, nanti saya bersiap-siap," sahutku, sambil mencoba untuk tersenyum manis.

Selama ini hanya bapaklah, yang baik padaku. Bahkan jika aku atau Rere sakit dia yang akan membonceng kami, dengan motor gunungnya menuju ke Puskesmas dekat pasar di kampung.

Sebenarnya berobat ke puskesmas tidak perlu membayar, karena kami memiliki kartu kuning. Namun, tidak pernah digunakan, sebab setiap kali aku atau Rere sakit Mas Rudi enggan mengantarkan ke Puskesmas untuk berobat.

Di tengah perjalaanan aku berpapasan dengan Mas Rudi. Kami berhenti sebentar hanya sekedar menyapa, aku pun memberikan kunci gubuk kepadanya.

Rupanya hari ini dia mendapatkan banyak ikan. Terlihat dari senyum bahagianya. Kulirik ada kardus, yang dibonceng di jok motornya. Begitulah jika dia dapat ikan banyak, biasanya setengah lebih dari hasil memancing ikan pasti akan dijual. Hasil dari penjualan ikan akan dibelikan mie instan dan gula pasir.

Begitulah Mas Rudi jika sedang bahagia, dia sangat baik padaku. Namun, jika sedang susah dan ada masalah pasti dia akan melampiaskannya padaku. Bahkan tidak segan-segan untuk mencaci maki dan memukul.

Seperti biasa mengantri untuk menunggu giliran ditimbang dan ketemu bidan, karena posyandu dilaksanakan satu bulan sekali. Tidak heran jika semua ibu dan balita pasti akan hadir. Apalagi akan mendapatkan bubur dan biskuit gratis untuk para balita, yang datang ke Puskesmas.

"Bu Lisna, diperhatikan anaknya ya!" seru Bu bidan, dengan mimik iba.

"Iya, Buk," jawabku singkat.

"Masak umurnya bertambah, tapi berat dan tingginya masih sama, gimana to, Bu Lisna, ini?" selidik Bu bidan, sambil matanya menatap Rere lekat-lekat.

" Maaf kan saya, Bu Bidan," ujarku, sambil tersenyum simpul.

"Loh kok minta maaf sama saya?"  Bu bidan balik bertanya.

"Iya, Bu," sahutku, sambil nyengir kuda.

Sudah dua kali pertemuan seperti inilah, yang Bu Bidan katakan padaku. Kali ini Rere mendapat biskuit, paling banyak dari pada yang lain. Karena Rere berada di garis merah pada diagram buku timbangan, jadi mendapat bubur dan biskuit untuk selama satu bulan.

Setelah selesai kami tidak langsung pulang ke gubuk. Bapak mentraktirku makan bakso. Di warung basonya adik perempuan bapak, yang bernama Bik Juminah. Baru kali ini aku bisa merasakan makan dengan tenang dan nikmat. Di hari biasa aku makan sambil menggendong Rere, yang rewel setiap kali disambi makan.

Bik Jum dan Bapak kelihatan sangat gembira bermain dengan cucu perempuan satu-satunya. Rere pun tidak berhenti tertawa terbahak-bahak. Entah mengapa Mamak tidak pernah mau menggendong anakku? Padahal wajah Rere sangat mirip dengan wajah Mas Rudi.

Hari mulai sore kami pun bergegas pulang ke gunung, karena sudah mulai musim hujan. Biasanya jalan akan menjadi becek dan sangat susah menempuh perjalanan yang licin dan terjal.

Sampai di gubuk kubuka plastik hitam pemberian dari Bik Jum. 

"Hem" desahku pelan. Kala melihat isi plastik tersebut. Senangnya diriku begitu melihat banyak sekali pemberian dari Bik Jum. Ada ikan dan teri rebus kesukaanku, mie instan, gula pasir, minyak sayur kemasan dan sambal ikan laut. Semuanya lengkap, bagaikan orang pulang dari pasar.

Malam ini aku tidak perlu memasak, karena bik Jum juga memberiku nasi, yang dimasukan dalam rantang bekas yang katanya untukku.

************************

 "Hoek, hoek, hoek," aku muntah-muntah, begitu Mas Rudi masuk ke dalam gubuk, dengan membawa buah durian.

'Syukurlah sekarang sudah mulai musim durian. Namun, bagaimana dengan nasipku selanjutnya?' ucapku dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status