Share

Suami kejam

"Ada apa Lisna kok cemberut?" tanya ibuku.

"Sudah sana bersiap berangkat, ikut suamimu nanti dosa loh!" perintah ibu.

Tidak kuasa untuk membantah perintah Ibuku, akhirnya aku pun berangkat juga ke rumah mertuaku  yang jaraknya entah berapa kilo meter, yang jelas menghabiskan waktu dua jam perjalanan yang  ditempuh dengan montor gunung milik Mas Rudi.

Beraneka pikiran berkecamuk menari di dalam otakku. 

'Apa yang akan terjadi nanti?, adakah aku akan disiksa lagi?'

Kutepis semua pikiran negatif itu. Kupikirkan tentang hal yang baik-baik saja biar hidupku menjadi lebih baik.

 

'Lihatlah Mas Rudi sudah membelikan baju untukku!'

'Pasti dia sadar, apa yang dia lakukan padaku itu salah.'

'Dia tidak bisa hidup tanpaku,' kataku dalam hati.

Benar saja Mas Rudi dan keluarganya bersikap baik terhadap diriku, dan aku pun merasa tidak perlu bercerai dengannya lagi.

Hari raya pertama kami bertamu di setiap rumah saudara Mas Rudi. Banyak saudara yang memberikan uang jajan kepada Rere, aku pun melihat Mas Rudi juga memberikan anak mereka uang jajan. 

Mereka semua memuji kebaikkan Mas Rudi, aku hanya tersenyum, mendengar pujian yang keluar dari mulut mereka.

Lelah rasanya kakiku berkeliling kampung, dengan menggunakan sandal berhak, tinggi pemberian dari Adikku, sambil menggendong Rere yang tubuhnya mulai montok, setelah tinggal tiga minggu di rumah orangtuaku.

Sore hari kami berangkat ke desaku, untuk halal-bihalal, karena jika ke sana besok, aku tidak punya baju baru untuk dipakai.

Mas Rudi hanya mengenakan celana kolor dan kaos oblong, biarpun itu baru tapi aku merasa malu pada saudara dan tetanggaku, di desa yang umumnya mereka pakai baju bagus dan mahal.

Benar saja begitu sampai di rumah orang tuaku mereka menertawakan Mas Rudi secara diam-diam.

Sebenarnya tadi pas Hallal-bihallal di desanya, Mas Rudi memakai baju bekas dari Abang Edi suami dari Kakakku. 

Mas Rudi merasa malu jika  memakai baju bekas  pemberian dari Abang Edi, dipakai di depan Abangku mungkin di gengsi.

 Saudara-saudara dan juga tetangga mereka memberikan uang jajan kepada Rere putriku, tapi Mas Rudi tidak memberikan anak mereka uang jajan ganti, dengan alasan uangnya sudah habis.

Bahkan pada malam harinya dia meminjam uang Rere, untuk beli rokok dan pulsa, entah sejak kapan Mas Rudi mulai menggunakan HP lagi. 

Rupanya Mas Rudi telah membohongiku, ternyata HP miliknya tidak dijual, hanya milikku saja yang dia jual untuk membeli beras kala itu.

Sudahlah, yang berlalu biarlah berlalu, aku tidak mau  ambil pusing,  yang terpenting sekarang  ialah semangat, untuk menjalani hidup baru, bersama Mas Rudi yang lebih baik.

Berkemas ria aku menyiapkan baju serta kue lebaran, yang akan dibawa ke kebun. Karena musim kopi jadi harus segera naik gunung, biarpun ini masih hari raya  Idul Fitri yang ke tiga.

Terkejutnya aku setelah sampai di kebun ternyata Mamak sudah di gubuk, dia membersihkan  gubukku yang sangat kotor. Ternyata selama aku di rumah orang tua, Mas Rudi tidur di gubuk orang tuanya.

Aktifitasku pun mulai seperti biasanya, pagi menyiapkan sarapan untuk Mas Rudi, merawat Rere yang sudah mulai belajar duduk.

Buah kopi sangat lebat, dan harus segera dipetik, karena jika terlambat maka akan berguguran di tanah, maka sia-sia 'lah sudah usaha kami para petani kopi, yang menunggu musim raya satu tahun sekali.

Demi membantu pekerjaan Mas Rudi, setelah berbenah di rumah, aku membantunya memetik kopi di lereng bukit.

Rere tampak senang berada pada gendongan sedangkan kopi aku tarok di dalam karung. Aku berjalan memetik kopi, sambil menyeret karung yang terasa lebih berat daripada Rere.

Untung saja Ibuku membawakan kue sisa lebaran, yang banyak tanpa sepengetahuan Mas Rudi dan orang tuanya, Jadi bisa untuk bekalku ketika metik kopi bersama Rere.

Rutinitas berjalan seperti biasa selama seminggu. Tepat kuenya habis bersamaan selesainya kegiatan memetik kopi.

Hal yang paling berat ialah menumbuk kopi. Sangat melelahkan telapak tanganku yang dulu selembut sutra sekarang keras dan sekasar jalan aspal.

"Otot kawat balung besi muka aspal," itu semboyan yang cocok untuk Mas Rudi, aku jadi ketawa sendiri.

Kopi yang sudah berbentuk berasan dijual ke desa, entah dapat duit berapa aku tidak tahu. Menurut Mas Rudi setengah dari hasil penjualan kopi, akan di berikan kepada adiknya untuk tambahan membeli motor Ninja, dan sisanya untuk membeli pekarangan di desa, dekat rumah mertua yang akan dijual senilai 18 juta.

Karena duitnya kurang dua juta lagi, jadi Mas Rudi dan orang tuanya menyuruhku untuk meminjam uang kepada kakakku. Dengan janji tahun depan baru dibayar.

 Membawa oleh-oleh berupa biji kopi.  Aku langsung menuju kerumah kakak, dengan muka memelas, yang diajarkan oleh Mas Rudi, aku mengutarakan maksud dari niat datang berkunjung.

Seperti biasa Kakakku meminjamkan duit tanpa banyak tanya. Padahal hutang kami yang dulu banget sebelum nikah belum sempat dibayar.

Dengan perasaan senang kami pun meninggalkan rumah kakak, menuju ke desa Mas Rudi, dengan tujuan untuk membayar tanah pekarangan seluas 10 x 15 meter itu.

"Mas katanya surat beli tanah mau memakai KTP-ku kok gak jadi?" tanyaku heran.

Dia tadi berkata pada kakakku mau pakai KTP-ku.

 

"Hus, menjadi perempuan gak usah banyak tanya!" bentaknya.

"Iya," jawabku singkat. 

 Kami kembali lagi ke gunung yang di sebut hutan, tetapi saat ini musim peceklek duit kami habis, tabungan pun tidak ada, ditambah lagi musim kemarau. Lengkap sudah penderitaan kami.

Rere sering sakit-sakitan. Tidak ada hasil kebun, sampai dua bulan ke depannya,  menunggu musim durian dan jengkol. 

Makan pun ala kadarnya, serta harus rajin mencari kemiri, yang berjatuhan dari pohonnya di tengah hutan.

Menjual sepuluh kemiri yang masih ada kulitnya, bisa untuk membeli 1 kg beras yang rasanya enak.

 Kadang satu minggu hanya bisa mencari 50 kg kemiri, bahkan pernah cuma mendapat 15 kg kemiri, karena banyaknya orang yang mencari kemiri, jadi kami saling berebut, siapa cepat dia dapat.

Neraka kembali terjadi padaku. Mas Rudi mulai gila memancing, di desa setiap malam. Mas Rudi selalu turun gunung pukul lima sore dan pukul enam pagi baru pulang.

Entah syaitan apa yang sudah merasukinya? Padahal memancing di pemancingan itu harus membayar, dengan seharga 3 kg beras enak, dia gunakan untuk memancing yang paling banyak dapat ikan 2 ekor, bahkan sering tidak dapat ikan 

Dia bisa ngutang untuk memancing di pemancingan, hingga utangnya menjadi segunung Himalaya, dan jumlah utangnya terus bertumpuk. 

Sedangkan aku harus mencari kemiri untuk bertahan hidup bersama putri kecilku.

'Sampai kapankah aku akan hidup seperti ini?' ucapku dalam hati.

 

Tangisku setiap malam, di tengah hutan dalam sepi mendekap putri kecilku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status