Di depan gubuk ada pohon rambutan yang sangat tinggi dan besar. Setiap pagi banyak buah rambutan yang berjatuhan di bawah pohonnya.
Sambil menggendong Rere aku memungutti buah rambutan yang berjatuhan. Awalnya aku mencret, jika makan rambutan banyak, tapi sekarang sudah terbiasa, jadi mau makan banyak juga tidak mencret lagi.
Aku bingung nasi tinggal sepiring, untukku apa untuk Mas Rudi ya? Sebaiknya aku nanti tanyakan dia saja. Sebentar lagi dia pulang.
"Mas aku lapar, nasi itu untukku ya?" Pintaku pada Mas Rudi.
"Terus aku makan apa?" Mas Rudi balik bertanya.
"Mas kan bisa makan di gubuk mamak," terangku, memberikan solusi.
"Baiklah," jawab Mas Rudi singkat.
'Yes, aku enggak kelaparan,' kataku dalam hati, sambil tersenyum melihat Mas Rudi berjalan keluar gubuk, menuju gubuk orang tuanya.
"Keterlaluan! Kamu Lisna!" bentak ibu mertua.
Suara keras mamak mengejutkan diriku, yang sedang asik menyantap makan malam ala kadarnya."Seharusnya suami pulang kerja itu disiapkan makanan, bukan malah kamu makan sendiri, suaminya disuruh minta ke tempatku. Sebenarnya orang tuamu, mendidikmu jadi istri yang baik apa enggak siii?" Omelan ibu mertua.
'Rupanya aku salah,' ucapku dalam hati.
Ingin kumuntahkan makanan yang sudah masuk di dalam perut, tapi aku sangat lapar.
"Kenapa enggak masak lagi, kalau tahu nasinya tinggal sedikit?" tanya Mamak.
"Berasnya habis, Mak," kilahku singkat.
"Kan bisa turun ke gunung beli! Emangnya tidak punya kopi coklat atau kemiri untuk dijual?" Selidik Mamak.
"Ada, Mak, tapi aku tidak bisa, jika harus menggendong bayi dan membawa kopi coklat, seberat 20 kg naik turun gunung, Mak," kilahku menerangkan.
"Ah kamu, terlalu lemah tidak seperti aku," Mak berkata, sambil tersenyum sinis.
Ibu mertuaku pun pergi berlalu keluar dari gubuk, meninggalkan diriku yang sedang makan sambil menangis.
Selang berapa menit kemudian suamiku pulang, sepertinya dia sudah mandi di sungai belakang rumah.
Tanpa bicara padaku dia menggotong kopi coklat dalam karung. Diikat kencang di jok motor gunungnya.
Tanpa pamit, aku pun sudah tahu, jika dia mau ke desa. Aku sudah terbiasa dengan sikap Mas Rudi, yang tak pernah pamit.
Sepanjang malam aku tidak tidur, karena menunggu Mas Rudi pulang mengetuk pintu, takut saat dia pulang aku ketiduran dan tidak membukakan pintu pasti bisa terkena pukulan.
**************
Pukul depalapan pagi rambutan satu rinjing, sudah ludes aku makan habis. Namun, belum juga kelihatan batang hidung Mas Rudi.
"Pagi-pagi udah makan rambutan?" tanya Bapak mertua.
"Iya pak," jawabku singkat.
"Nih, singkong rebus dimakan?" kata bapak, sambil menyerahkan bungkusan dalam plastik hitam.
"Bukankah ini bekalnya bapak?" tanyaku, sambil tersenyum.
"Untukmu saja, jangan cerita sama Mamakmu ya!" perintah Bapak, sambil tersenyum.
"Iya pak, terimakasih," jawabku, dengan gembira."Sudah, Bapak mau ke kebun dahulu," pamitnya, Bapak pun bergegas pergi.
Bapak mertuaku sangat baik dan perhatian padaku, dia menganggap aku seperti anaknya sendiri.
Itu dia Mas Rudi sudah pulang, tetapi tidak membawa beras. Rupanya berasnya dia tinggalkan di rumah, yang terletak di desa, dengan jarak tempuh 5 jam jika kita menaiki motor dari sini.
Besok sudah memasuki bulan puasa, jadi aku harus pulang ke desa, untuk menyiapkan makan sahur dan buka puasa adik -adik Mas Rudi. Karena dari itu berasnya tidak dibawa ke gunung.
"Terus aku makan apa dong, Mas?" tanyaku pada Mas Rudi.
"Ada mie instan di motor, ambil sana!" perintah Mas Rudi.
"Aku mau tidur sebentar, kamu siapkan barang-barang yang mau dibawa ke desa! Mumpung anakmu masih tidur," perintah Mas Rudi.
Tanpa menjawab pertanyaan, aku langsung melakukan apa yang telah diperintahkan Mas Rudi.
Dengan cepat aku menyeduh mie instan dengan air termos, lalu baju serta perlengkapan bayi kumasukkan dalam kardus, dan tas gendong.
*************
Sampailah kami di rumah besar dan megah, milik mertuaku yang di tempati kedua adik Mas Rudi, yang masih sekolah.
Aku harus mencuci baju, menyeterika baju dan menyiapkan segala keperluan kedua adik suamiku.
Mereka berdua laki-laki, jadi tidak tahu betapa sibuk dan capeknya, aku mengurus anak beserta isi rumah ini.
"Mas aku kan tinggal di desa belikan aku bedak dan baju yang pantas. Masak bajuku sudah bekas jahitan semua." pintaku, sebelum Mas Rudi naik ke gunung.
"Mau lenjeh-lenjehan, kamu?" pertanyaan Mas Rudi dengan nada tinggi, yang hanya kujawab, dengan nyengir kuda.
Seminggu sudah aku mengurus rumah beserta isinya, sedang Mas Rudi sudah kembali naik ke gunung.
Sore itu penjual baju yang di sebut Mbak Siti mampir ke rumah. Dia dengan setengah memaksa, merayuku membeli bajunya bahkan bisa ngutang dulu, tentu saja aku tergiur apa lagi bisa kredit seminggu sekali.
Kabar begitu cepat tersebar sampai ke kebun, jika aku telah berhutang baju kepada Mbak Siti.
Mas Rudi pun pulang ke desa dengan muka yang merah padam, membabi buta dia menampar, dan menendang kakiku seperti orang kesetanan.
"Kenapa kamu ngutang baju?" tanya Mas Rudi.
"Bikin malu keluarga!" bentak Mas Rudi.
"Apakah ini hasil didikannya orang tuamu?" pertanyaan dari Mas Rudi.
"Hah. Jawab!" bentak Mas Rudi.
Aku hanya bisa nangis duduk di lantai sambil memeluk lutut dan menyembunyikan muka, yang kututup di atas lutut.
"Hua, hua, hua..." tangis putriku, telah terbangun dari tidurnya.
"Yuk, Rere menangis, cepat ambil berisik tahu!" adik iparku berteriak, dia merasa tergangu dengan suara tangis Rere yang tidur di depan televisi.
Bergegas aku mengambil Rere, berjalan dengan kaki tertatih.
Kakiku terasa sangat sakit sekali untuk berjalan. Bibir terasa perih, padahal cuma mengeluarkan darah sedikit.
Mas Rudi pergi ke warung dia membeli bedak viva karung dan lipstik untukku.
"Lekas mandi beresin pakaianmu dan Rere! Kita berpisah untuk sementara waktu dulu, kuantar kamu kerumah orang tua. Pakai bedak ini yang tebal, biar tidak kelihatan begas tamparan itu! Dan kamu jangan cerita soal ini kepada orang tuamu. Jika kamu cerita aku tidak segan untuk membunuh, mengerti?" kata Mas Rudi.
"Tidak usah dibawa baju, Mas! aku malu semua sudah sangat usang. Aku bisa minta baju bekas Mbak Ayu dan anaknya," jawabku sambil terisak.
Bermacam hal berkecamuk di dalam hati, apa yang harus aku katakan pada orang tua dan saudaraku? entahlah aku merasa tidak sanggup lagi, tapi jika sampai bercerai bagaimana dengan nasip anakku? dan pastinya aku akan dicemooh orang-orang.
'Oh Tuhan, berilah petunjuk untukku.Jalan yang terbaik buat Rere,' berdo'a aku dalam diam."Ada apa Lisna kok cemberut?" tanya ibuku."Sudah sana bersiap berangkat, ikut suamimu nanti dosa loh!" perintah ibu.Tidak kuasa untuk membantah perintah Ibuku, akhirnya aku pun berangkat juga ke rumah mertuaku yang jaraknya entah berapa kilo meter, yang jelas menghabiskan waktu dua jam perjalanan yang ditempuh dengan montor gunung milik Mas Rudi.Beraneka pikiran berkecamuk menari di dalam otakku.'Apa yang akan terjadi nanti?, adakah aku akan disiksa lagi?'Kutepis semua pikiran negatif itu. Kupikirkan tentang hal yang baik-baik saja biar hidupku menjadi lebih baik.'Lihatlah Mas Rudi sudah membelikan baju untukku!''Pasti dia sadar, apa yang dia lakukan padaku itu salah.''Dia tidak bisa hidup tanpaku,' kataku dalam hati.Benar saja Mas Rudi dan keluarganya bersikap baik terhadap diriku, dan aku pun merasa tidak perlu bercerai dengannya lagi.Hari raya pertama kami bertamu di setiap rumah s
Sesak terasa di pagi buta mamak sudah marah-marah enggak jelas pada Aku, yang tidak mengerti apapun. Seolah semua kesalahan tertuju pada diri ini, biar pun Mas Rudi yang bersalah tetap saja diriku, yang kena damprat Mamak."Seharusnya kamu itu jadi istri pintar ngurusin suami, jadi suaminya tidak pergi memancing setiap malam. Pasti Rudi sudah bosan sama kamu, makanya tiap malam selalu ditinggal pergi terus sama dia. Dasar perempuan bodoh! Enggak bejus kerjaannya, ngurusin suami satu aja enggak bisa. Tolol kamu!" umpat Mamak.Aku hanya diam menangis sambil memeluk Rere, yang ikut menangis dengan keras. Mungkin dia terkejut dengan suara neneknya, yang seperti petir menyambar gubuk papan bambu milik kami."Jika dikasih tahu itu, jangan diam saja! Sekali-sekali jawab, kenapa? Apa kamu tak kasian sama Rudi, hah? Malam bergadang, siang harus berkerja di kebun, bahkan sering kali dia ketiduran di keb
"Ada apa Lisna kok cemberut?" tanya ibuku."Sudah sana bersiap berangkat, ikut suamimu nanti dosa loh!" perintah ibu.Tidak kuasa untuk membantah perintah Ibuku, akhirnya aku pun berangkat juga ke rumah mertuaku yang jaraknya entah berapa kilo meter, yang jelas menghabiskan waktu dua jam perjalanan yang ditempuh dengan montor gunung milik Mas Rudi.Beraneka pikiran berkecamuk menari di dalam otakku.'Apa yang akan terjadi nanti?, adakah aku akan disiksa lagi?' tanyaku dalam hati, yang tidak mendapatkan jawaban.Kutepis semua pikiran negatif itu. Kupikirkan tentang hal yang baik-baik saja biar hidup menjadi lebih baik.'Lihatlah Mas Rudi sudah membelikan baju untukku!' aku menghibur diri sendiri.'Pasti dia sadar, apa yang dia lakukan padaku itu salah.''Dia tidak bisa hidup tanpaku,' kataku dalam hati.
Aku terus saja mengeluarkan isi perutku. Sampai cairan kuning kental, yang rasanya sangat pahit.Perut pun menjadi terasa lapar, karena aku masih menyusui putriku. Namun, perasaan mau muntah, tidak dapat aku bendung lagi. Entahlah sampai kapan musim durian ini akan berlangsung. Sementara sekarang masih awal musim dari mulai jatuhnya durian.Entah mengapa aku tidak bisa makan durian? Jngankan untuk memakannya. Baru mencium aroma durian saja aku udah muntah-muntah.Semalaman aku tidak bisa tidur, karena teman-teman Mas Rudi datang ke gubuk. Mereka melakukan pesta durian. Mereka ketawa dan bercanda dengan suara keras, sontak saja Rere jadi terganggu tidurnya. Rere rewel terus dan selalu minta gendong kepadaku, yang sedang merasakan mual.Aku ingin menegur mereka, tetapi takut dimarah oleh Mas Rudi.'Ya Allah semoga mereka lekas pulang,' do'aku dalam hati.Tepat pukul satu malam aku tidak mendengar suara mereka lagi berbincan
Diriku bener-bener mabuk durian. Namun, teman-teman Mas Rudi setiap hari selalu makan, minum dan tidur di gubuk. Dengan alasan bahwa gubukku lebih dekat dengan hutan, kenyataanya memang seperti adanya itu. Ayah datang berkunjung ke kebun. Kala Mas Rudi berserta teman-temannya sedang istirahat siang, di dalam gubuk.Ayah membawa kabar jika sepupuku, yang rumahnya tepat di samping rumah orang tuaku. Dia akan menikah dan pernikahannya diadakan secara meriah, jadi aku harus pulang ke desa untuk beberapa hari.Mas Rudi pun seperti biasanya bersifat sangat ramah dan sopan kepada Ayah. Tidak ketinggalan juga kebiasaan membual, yang sangat berlebihan. Bahkan sangat bertolak dari kenyataan yang ada.Mertuaku tidak menyapa Ayah sama sekali, jangankan tanya kabar tersenyum saja pun tidak.Setelah basa-basi dan menyantap beberapa buah duri
"Rudii, sini mampir dulu, untuk minum kopi!" perintah Paman."Buru-buru, Man, besok lagi." sahut Mas Rudi, sambil mengegas motor."Enggak bawa durian?" selidik Paman."Besok kalau pas hari repsepsinya aku bawakan durian. Mau berapa buah, Paman?" ujar Mas Rudi."Berapa saja, yang penting gratis." sahut Paman, sambil tersenyum."Okay lah, aku pulang dulu takut kemalaman di jalan." ujar Mas Rudi."Iya hati-hati!" pesan Paman.Ndroooon .....ndrooon, droooon.Mas Rudi pun gergegas pulang ke kebun. Dengan mengendarai motor gunungnya, yang gelepotan tanah merah.Mereka semua memuji dan menyanjungku, yang memiliki suami baik hati. Memiliki kebun durian, yang luasnya sampai berhektar - hektar. Setiap perkataan mereka, aku hanya mampu menjawabnya dalam hati, sambil tersenyum untuk menutupi luka di hati.Rere sudah terlelap. Mungkin dia merasa capek dan badannya pun sedikit demam. Mungkin
Aku berjalan ke dapur mengambil enam buah mangkuk dan sendok, berserta sendok garbunya juga. Kuletakkan di meja ruang tamu berserta air putih dalam teko dan gelas kaca, yang dibawa oleh adikku. Tanpa menghiraukan Mas Rudi dan Andi, yang saling menatap sinis. Kutuang bakso dan mie ayam ke mangkuknya masing-masing. Aku lebih milih bakso supaya bisa berbagi dengan Rere, yang sudah mulai tumbuh gigi. "Jangan dimakan itu! Ada guna-gunanya," ujar Mas Rudi, setengah teriak kepadaku. Aku pun menjadi terkejut, hingga kuah bakso sedang kutuang ke mangkok pun tumpah sedikit. "Aah, benarkah? sahutku, sambil melihat Andi. "Aku tidak gila! Seperti Rudi," kilah Andi, yang melirik ke arah Mas Rudi. Jemudian dia menatapku tajam. "Biar kubaca Al-fatihah dulu jika mienya berubah warna berarti ada guna-gunanya," terang Adikku, penuh percaya diri. "Iya," kami menjawab dengan serempak. "Tidak berubah warna, bisa di
Kupandangi gubuk yang sudah rapi, seolah tidak terjadi apa pun. Bahkan sedikit abu dan arang pun tidak ada seolah tak pernah terjadi kebakaran.Orang tua Mas Rudi tersenyum saat melihatku. Mereka langsung meminta Rere dari gendonganku untuk ditimang-timang oleh mereka.Terkejutnya aku begitu masuk ke gubuk. Gubuk tampak bersih dan rapi di amben tertata rapih hidangan, yang aromanya menggugah perut sudah terasa lapar. Mas Rudi menerangkan jika ini masakan Mamak, yang sengaja untuk menantu kesayangannya, jadi aku harus makan sampai habis.Seusai makan, aku ke gubuk mertua untuk mengambil Rere, tetapi saat tiba di sana rupanya Rere masih tidur. Mamak pun menyuruhku untuk membantunya mengupas kulit jengkol, yang jumlahnya sangat banyak.Entah sampai berapa jam aku mengupas jengkol, sambil bermain dengan Rere yang sudah bangun dari tidurnya. Dia kelihatan sangat senang bermain kulit jengkol. Bapak dan Mas Rudi pun sudah pulang dari memetik jengkol