Share

Rambutan Sialan

 

 Lapar sekali perutku padahal tadi siang sudah makan banyak. Mungkin ini efek dari menyusui, selalu terasa lapar padahal sudah ngemil rambutan. 

Di depan gubuk ada pohon rambutan yang sangat tinggi dan besar. Setiap pagi banyak buah rambutan yang berjatuhan di bawah pohonnya.

Sambil menggendong Rere aku memungutti buah rambutan yang berjatuhan. Awalnya aku mencret, jika makan rambutan banyak, tapi sekarang sudah terbiasa, jadi mau makan banyak juga tidak mencret lagi.

 Aku bingung nasi tinggal sepiring, untukku apa untuk Mas Rudi ya? Sebaiknya aku nanti tanyakan dia saja. Sebentar lagi dia pulang.

"Mas aku lapar, nasi itu untukku ya?" Pintaku pada Mas Rudi.

"Terus aku makan apa?" Mas Rudi balik bertanya.

"Mas kan bisa makan di gubuk mamak," terangku, memberikan solusi.

"Baiklah," jawab Mas Rudi singkat.

'Yes, aku enggak kelaparan,'  kataku dalam hati, sambil tersenyum melihat Mas Rudi berjalan keluar gubuk, menuju gubuk orang tuanya.

"Keterlaluan! Kamu Lisna!" bentak ibu mertua.

Suara keras mamak mengejutkan diriku, yang sedang asik menyantap makan malam ala kadarnya.

"Seharusnya suami pulang kerja itu disiapkan makanan, bukan malah kamu makan sendiri, suaminya disuruh minta ke tempatku. Sebenarnya orang tuamu, mendidikmu jadi istri yang baik apa enggak siii?" Omelan ibu mertua.

'Rupanya aku salah,' ucapku dalam hati.

Ingin kumuntahkan makanan yang sudah masuk di dalam perut, tapi aku sangat lapar.

"Kenapa enggak masak lagi, kalau tahu nasinya tinggal sedikit?" tanya Mamak.

"Berasnya habis, Mak," kilahku singkat.

"Kan bisa turun ke gunung beli! Emangnya tidak punya kopi coklat atau kemiri untuk dijual?" Selidik Mamak.

"Ada, Mak, tapi aku tidak bisa, jika harus menggendong bayi dan membawa kopi coklat, seberat 20 kg naik turun gunung, Mak," kilahku menerangkan.

"Ah kamu, terlalu lemah tidak seperti aku," Mak berkata, sambil tersenyum sinis.

       Ibu mertuaku pun pergi berlalu keluar dari gubuk, meninggalkan diriku yang sedang makan sambil menangis.

  Selang berapa menit kemudian suamiku pulang, sepertinya dia sudah mandi di sungai belakang rumah.

Tanpa bicara padaku dia menggotong kopi coklat dalam karung. Diikat kencang di jok motor gunungnya.

Tanpa pamit, aku pun sudah tahu, jika dia mau ke desa. Aku sudah terbiasa dengan sikap Mas Rudi, yang tak pernah pamit.

 Sepanjang malam aku tidak tidur, karena menunggu Mas Rudi pulang mengetuk pintu, takut saat dia pulang aku ketiduran dan tidak membukakan pintu pasti bisa terkena pukulan.

**************

Pukul depalapan pagi rambutan satu rinjing, sudah ludes aku makan habis. Namun, belum juga kelihatan batang hidung Mas Rudi.

"Pagi-pagi udah makan rambutan?" tanya Bapak mertua.

"Iya pak," jawabku singkat.

"Nih, singkong rebus dimakan?" kata bapak, sambil menyerahkan bungkusan dalam plastik hitam.

"Bukankah ini bekalnya bapak?" tanyaku, sambil tersenyum.

"Untukmu saja, jangan cerita sama Mamakmu ya!" perintah Bapak, sambil tersenyum.

"Iya pak, terimakasih," jawabku, dengan gembira.

"Sudah, Bapak mau ke kebun dahulu," pamitnya, Bapak pun bergegas pergi.

Bapak mertuaku sangat baik dan perhatian padaku, dia menganggap aku seperti anaknya sendiri.

Itu dia Mas Rudi sudah pulang, tetapi tidak membawa beras. Rupanya berasnya dia tinggalkan di rumah, yang terletak di desa, dengan jarak  tempuh 5 jam jika kita menaiki motor dari sini.

Besok sudah memasuki bulan puasa, jadi aku harus pulang ke desa, untuk menyiapkan makan sahur dan buka puasa adik -adik Mas Rudi. Karena dari itu berasnya tidak dibawa ke gunung.

"Terus aku makan apa dong, Mas?" tanyaku pada Mas Rudi.

 "Ada mie instan di motor, ambil sana!" perintah Mas Rudi.

 "Aku mau tidur sebentar, kamu siapkan barang-barang yang mau dibawa ke desa! Mumpung anakmu masih tidur," perintah Mas Rudi.

Tanpa menjawab pertanyaan, aku langsung melakukan apa yang telah diperintahkan Mas Rudi.

Dengan cepat aku menyeduh mie instan dengan air termos, lalu baju serta perlengkapan bayi kumasukkan dalam kardus, dan tas gendong.

*************

Sampailah kami di rumah besar dan megah, milik mertuaku yang di tempati kedua adik Mas Rudi, yang masih sekolah.

Aku harus mencuci baju, menyeterika baju dan menyiapkan segala keperluan kedua adik suamiku.

Mereka berdua laki-laki, jadi tidak tahu betapa sibuk dan capeknya, aku mengurus anak beserta isi rumah ini.

"Mas aku kan tinggal di desa belikan aku bedak dan baju yang pantas. Masak bajuku sudah bekas jahitan semua." pintaku, sebelum Mas Rudi naik ke gunung.

 "Mau lenjeh-lenjehan, kamu?" pertanyaan Mas Rudi dengan nada tinggi, yang hanya kujawab, dengan nyengir kuda.

Seminggu sudah aku mengurus rumah beserta isinya, sedang Mas Rudi sudah kembali naik ke gunung.

Sore itu penjual baju yang di sebut Mbak Siti mampir ke rumah. Dia dengan setengah memaksa, merayuku membeli bajunya bahkan bisa ngutang dulu, tentu saja aku tergiur apa lagi bisa kredit seminggu sekali.

 Kabar begitu cepat tersebar sampai ke kebun, jika aku telah berhutang baju kepada Mbak Siti.

 Mas Rudi pun pulang ke desa dengan muka yang merah padam, membabi buta dia menampar, dan menendang kakiku seperti orang kesetanan.

"Kenapa kamu ngutang baju?" tanya Mas Rudi.

"Bikin malu keluarga!" bentak Mas Rudi.

"Apakah ini hasil didikannya orang tuamu?" pertanyaan dari Mas Rudi.

"Hah. Jawab!" bentak Mas Rudi.

Aku hanya bisa nangis duduk di lantai sambil memeluk lutut dan menyembunyikan muka, yang kututup di atas lutut.

"Hua, hua, hua..." tangis putriku, telah terbangun dari tidurnya.

"Yuk, Rere menangis, cepat ambil berisik tahu!" adik iparku berteriak, dia merasa tergangu dengan suara tangis Rere yang tidur di depan televisi.

Bergegas aku mengambil Rere, berjalan dengan kaki tertatih. 

Kakiku terasa sangat sakit sekali untuk berjalan. Bibir terasa perih, padahal cuma mengeluarkan darah sedikit.

 Mas Rudi pergi ke warung dia membeli bedak viva karung dan lipstik untukku.

"Lekas mandi beresin pakaianmu dan Rere! Kita berpisah untuk sementara waktu dulu, kuantar kamu kerumah orang tua. Pakai bedak ini yang tebal, biar tidak kelihatan begas tamparan itu! Dan kamu jangan cerita soal ini kepada orang tuamu. Jika kamu cerita aku tidak segan untuk membunuh, mengerti?" kata Mas Rudi.

"Tidak usah dibawa baju, Mas! aku malu semua sudah sangat usang. Aku bisa minta baju bekas Mbak Ayu dan anaknya," jawabku sambil terisak.

Bermacam hal berkecamuk di dalam hati, apa yang harus aku katakan pada orang tua dan saudaraku? entahlah aku merasa tidak sanggup lagi, tapi jika sampai bercerai bagaimana dengan nasip anakku? dan pastinya aku akan dicemooh orang-orang.

  

'Oh Tuhan, berilah petunjuk untukku.Jalan yang terbaik buat Rere,' berdo'a aku dalam diam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status