Semalaman aku bergadang karena putri kecil Rere badannya demam tinggi. Hidup di tengah kebun jauh dari bidan apalagi Puskesmas. Tetangga pun jauh hanya mertualah yang gubuknya di sebelah kami. Sebaik mereka padaku tapi lebih percaya akan ucapan dari anak laki-lakinya yang telah menjadi suamiku selama hampir dua tahun ini.
Penyesalanku kini telah tiada arti, larangan dari orang tua dan kakak tidak aku hiraukan. Diriku terbujuk dari gombalan manis yang berbuah penderitaan.
Rudi pria hitam manis berpawakan tinggi besar, yang aku kenal di dunia maya melalui aplikasi F*. Berawal dari like dan komentarnya yang menjadikan rasa di hati semakin akrab, pertemaan kami pun berlanjut ke messenger.
Aku Lisna seorang gadis berumur 20 tahun, anak dari keluarga biasa dan sederhana. Memiliki dua orang kakak perempuan dan satu orang adik perempuan.
Kedua kakakku sudah menikah mereka hidup bahagia. Aku bekerja sebagai baby sister di kota besar. Sedang adik bungsu masih sekolah di SMA.
Karena posisiku masih gadis, jadi berkewajiban membantu biaya adik sekolah.Libur hari raya Idul Fitri sudah tiba, begitu juga dengan kerjaku. Senanganya bisa pulang kampung berkumpul dengan keluarga, terutama bisa jumpa dengan Rudi tetangga desa.
Aku tidak pernah bergaul apalagi main ke desa sebelah. Jadi aku tidak mengenal siapa Rudi di kehidupan nyata.
Hari yang dinanti telah tiba, aku menuju ke tempat yang telah dijanjikan, di sebuah warung bakso yang jaraknya lumayan jauh dari rumahku, dengan menaiki ojek bergegas aku kesana.
Ternyata dia sudah sampai di sana, bahkan dia telah memesan bakso dan es campur.
"Hai. Sudah lama menunggu, Mas?" Sapaku, dengan dada berdegup kencang.
"Belum, mau makan apa? Pesanlah!" Perintahnya, yang aku jawab dengan anggukan.
Tanpa basa basi lagi aku pun memesan semangkuk bakso beranak tanpa mie, dan segelas jus alpukat, yang memang aku sengaja tidak makan dari tadi pagi.
Sambil ngobrol ngalor-ngidul, ludes tak tersisah makanan yang telah kami pesan.
"Berapa, Bu, baksonya?" tanya Mas Rudi pada ibu penjual.
"Semuanya apa, Mas? Ditambah dua bungkus yang dipesen sama Mbak yang cantik." Terang penjual bakso.
Aku memang pesan dua bungkus untuk keponakan dan adikku.
Dia bukannya langsung membayar malah seperti sedang mencari sesuatu.
"Dek, dompetku ketinggalan, bisa pinjem uangmu dulu, nanti aku ganti?" Pertanyaan yang tidak pernahku duga sebelumnya.
"Enggak papa, Mas, enggak diganti juga enggak apa, Mas, aku ikhlas." Jawabku disertai senyuman manis.Seusai membayar kami pun meninggalkan warung baso itu. Dia berencana mengantarku pulang, katanya ingin berkenalan dengan keluargaku itu alasannya.
Di tengah perjalanan katanya bensinnya habis. Dia kembali meminjam duit padaku untuk membeli bensin, dengan setengah tidak rida, aku menyerahkan selembar duit kertas kepadanya.
Sesampainya di rumah dia sangat sopan kepada kedua orang tuaku.
"Kok bawa pulang bakso segala?" Ibu bertanya padaku.
"Iya Bu, dibelikan oleh Mas Rudi." Jawabku mencoba memberikan pencitraan baik.
Pertemaan kami pun semakin akrab, tapi entah mengapa ayahku tidak setuju. Dalam pandangannya Mas Rudi bukan jodoh yang baik.
Aku pun diajak ke rumahnya yang megah dan besar. Orang tuanya pun ramah.
"Nanti jika kita sudah menikah, rumah ini untukmu, Dek Lisna, aku modalin buat usaha dagang. Aku ke kebun ngurusin kebun durian yang jumlahnya berhektar-hektar." Terang Mas Rudi, yang mejadikan kalbuku berhayal.
Singkat cerita kami pun bertunangan tentunya setelah restu dari orang tua. Dengan usaha membujuk rayu ayah siang malam, akhirnya dia menyetujuinya dengan berat hati. Namun, tidak aku hiraukan karena aku merasa sangat yakin, akan hidup seperti ratu dengan dinikahi olehnya.
Baru dua bulan kami bertunangan, dia memintaku untuk segera menikah dengannya.
"Berapa gajih mu, Dek?"
" Aku bisa memberimu lima kali lipat, jika kamu sudah menjadi istriku." Karena kata- kata inilah aku lekas pulang dari kota.
Kembali pulang membujuk rayu ayah agar kami segera menikah, dengan alasan aku sudah lelah jadi pembantunya orang. Ayah kembali luluh hatinya dan aku pun bersorak ria.
Pernikahan kami pun berlangsung sangat sederhana, bila dibandingkan dengan kakak pertamaku yang dipinang oleh petani sukses.
Seminggu setelah aku menikah diboyong ke rumah mertua yang megah.
Kenyataan jauh dari yang dibayangkan. Semua berbalik 100%, aku tidak tinggal di rumah megah itu, apalagi sampai diberi modal untuk dagang, seperti apa yang telah dia janjikan.
Aku dibawa ke kebun yang tepatnya disebut hutan, karena masih banyak binatang liar dan baru aku ketahui ternyata kebun yang luasnya berhektar itu, bukan miliknya melainkan milik negara (istilah kami masih kawasan), yang bisa kapan saja diusir dari kebun oleh pemerintah.
Tinggal di gubuk papan yang sempit, masak pun menggunakan tungku kayu. Semua berkakas tampak hitam, lebih parahnya lagi air yang dikonsumsi setiap harinya berasal dari sungai.
Beberapa bulan kemudian aku hamil, tetapi pekerjaan semakin berat dari besik rumput, sampai memunguti kemiri di hutan, aku lakukan untuk membantu suami, yang dulunya lembut berubah jadi tempra mental.
Neraka pun datang padaku setelah melahirkan. Aku yang dilarang menggunakan make-up, dan membeli baju baru, sehingga penampilanku kelihatannya lebih tua dari usia yang sebenarnya.Dia pun setiap malam selalu keluar rumah entah pergi ke mana. Teganya dia meninggalkan aku, dan seorang bayi merah, yang setiap malam menangis memecah sunyinya hutan yang mencekam.
Tengah malam Mas Rudi baru pulang, bahkan kadang subuh dia baru menampakkan batang hidungnya. Pulang marah-marah tidak jelas. Jika mengeluh beras dan bumbu dapur habis, aku pasti kena tampar sebelum dia memberikan duit kepadaku.Perjalanan dua jam dengan jalan kaki menyebrangi sungai jernih, berbatu dan dangkal, melewati hutan yang sesekali berpapasan dengan penduduk, yang mencari hasil hutan seperti kami.
Untuk menuju pasar tradisonal, yang hanya terdiri dari beberapa pedagang yang membuka kios. Mereka semua ialah sama orang perantauan, yang mencari rezky, cuma bedanya mereka memiliki modal jadi bisa membuka usaha.
Dalam keadaan perut yang sangat lapar aku berjalan naik turun bukit. Setengah berlari, walau kadang berhenti sejenak, untuk menarik nafas.
Segarnya air sungai yang jernih untuk mengusir haus dan dahagaku, sebagai bekal naik ke bukit, untuk pulang menuju gubuk derita, tempat sang buah hatiku sedang tertidur lelap saat ditinggalkan tadi.
Alangkah terkejutnya aku saat kudapati sang buah hati menangis terisak, dengan muka merah yang membiru, di depan pintu dapur yang jaraknya 2 meter dari amben.
Tangisku pecah, melihat entah bagaimana dia bisa jatuh dan sampai sejauh itu. Sepertinya dia sudah lama menangis, sehingga suaranya serak parau.
Kucari Mas Rudi di sudut ruangan, ternyata dia tidak ada. Mungkin seperti biasanya dia tidur di gubuk orang tuanya, yang gubuknya tepat di sebelahku, dengan alasan tidak mau tidurnya tergangu oleh suara tangis anaknya.
Ya, dia bisa tertidur lelap di sana karena sepi tiada orang. Pagi sekali kedua orang tuanya telah pergi ke kebun.
Basah dan kotor baju Rere, sambil terisak kuganti bajunya, lalu kususui dia supaya tertidur kembali.
"Plak."
Tamparan mendarat di pipiku.
"Apa yang kamu lakukan dari tadi, aku sudah lapar tahuuu!" Bentak suamiku, yang berubah menjadi monster.
"Jadi perempuan itu jangan pemalas, ngerjain apa-apa lama, kerjaan gak becus. Untung kamu menikah dengan aku coba jika dengan orang lain, belum tentu dia mau ngasih kamu duit." Mas Rudi terus saja memakiku.
Aku tidak berani menjawab, kemudian beranjak bangkit dari amben sambil menggendong buah hatiku yang menangis. Aku dan Rere menangis bersama sambil menyiapkan sarapan ala kadarnya.
Mengutuk diri, merenungi nasib tiada tempat untuk mengadu, yang jelas aku harus cepat memasak mie instan, yang kubeli di pasar tadi. Kayu bakar sepertinya tak bersahabat dengan diriku, menjadi sangat susah untuk dibakar.
Cerita ini dibuat setelah putriku mulai belajar merangkak .Tidak sanggup jika harus cerita dari hamil muda sampai melahirkan. Warna kulit Rere putih kemerahan, mungkin karena perpaduan warna kulit putihku dan hitam suamiku.************* Waktu hamil mudah aku nyidam makanan apa pun tidak kesampaian, kecuali sambal belut dan sayur pakis. Jika pingin bakso hanya bisa menangis dan hanya terlaksana di alam mimpi, jika ayam dan ikan air tawar sering mengkonsumsi, karena setiap sore, Mas Rudi memasang perangkap ikan (wu- wu), di sungai kecil belakang gubuk, juga banyak ayam hutan yang bisa ditangkap.Kadang ada pemburu lewat memberiku daging dari hasil buruannya. Entah itu daging apa, tapi aku sangat suka dari pada harus mengkonsumsi sayur pakis setiap hari.Biarpun hamil masih tetap disuruh kerja ini dan itu, bahkan sempat pulang ke rumah orang tua, dengan naik ojek dari gunung (kebun) sampai rumah orang tua, dengan ongkos yang
"Mengapa anak perempuan yang kamu lahirkan,Dek?" tanya Mas Rudi."Hust, enggak boleh asal ngomong!" bentak Bu bidan."Cepat di azanni (iqomatkan) putrinya!" perintah Bu bidan kepada Mas Rudi."Bisa azan enggak?" Bu bidan kembali bertanya."Biarin Lisna tidur, dia kecapekan jangan digangu!" perintah Bu bidan kepada Mas Rudi."Iya," jawab Mas Rudi, singkat.Sayup kudengar suara percakapan Mas Rudi dan Buk Bidan. Bidan yang biasanya ramah dan lembut, entah mengapa dia berbicara dengan nada ketus pada Mas Rudi.Aku ketiduran sampai pukul tujuh pagi. Ternyata sudah ramai orang yang datang di rumah Bu bidan, untuk melihat bayiku.Mas Rudi datang dengan membawa susu formula untuk bayi. Karena Asiku belum keluar dan bayinya menangis terus. Rupanya tadi pagi Mas Rudi disuruh mencuci baju dan kain yang terkena darah.
Lapar sekali perutku padahal tadi siang sudah makan banyak. Mungkin ini efek dari menyusui, selalu terasa lapar padahal sudah ngemil rambutan.Di depan gubuk ada pohon rambutan yang sangat tinggi dan besar. Setiap pagi banyak buah rambutan yang berjatuhan di bawah pohonnya.Sambil menggendong Rere aku memungutti buah rambutan yang berjatuhan. Awalnya aku mencret, jika makan rambutan banyak, tapi sekarang sudah terbiasa, jadi mau makan banyak juga tidak mencret lagi.Aku bingung nasi tinggal sepiring, untukku apa untuk Mas Rudi ya? Sebaiknya aku nanti tanyakan dia saja. Sebentar lagi dia pulang."Mas aku lapar, nasi itu untukku ya?" Pintaku pada Mas Rudi."Terus aku makan apa?" Mas Rudi balik bertanya."Mas kan bisa makan di gubuk mamak," terangku, memberikan solusi."Baiklah," jawab Mas Rudi singkat.'Yes, aku enggak kelaparan,' kataku dalam hati, sambil tersenyum melihat Mas Rudi berjalan keluar g
"Ada apa Lisna kok cemberut?" tanya ibuku."Sudah sana bersiap berangkat, ikut suamimu nanti dosa loh!" perintah ibu.Tidak kuasa untuk membantah perintah Ibuku, akhirnya aku pun berangkat juga ke rumah mertuaku yang jaraknya entah berapa kilo meter, yang jelas menghabiskan waktu dua jam perjalanan yang ditempuh dengan montor gunung milik Mas Rudi.Beraneka pikiran berkecamuk menari di dalam otakku.'Apa yang akan terjadi nanti?, adakah aku akan disiksa lagi?'Kutepis semua pikiran negatif itu. Kupikirkan tentang hal yang baik-baik saja biar hidupku menjadi lebih baik.'Lihatlah Mas Rudi sudah membelikan baju untukku!''Pasti dia sadar, apa yang dia lakukan padaku itu salah.''Dia tidak bisa hidup tanpaku,' kataku dalam hati.Benar saja Mas Rudi dan keluarganya bersikap baik terhadap diriku, dan aku pun merasa tidak perlu bercerai dengannya lagi.Hari raya pertama kami bertamu di setiap rumah s
Sesak terasa di pagi buta mamak sudah marah-marah enggak jelas pada Aku, yang tidak mengerti apapun. Seolah semua kesalahan tertuju pada diri ini, biar pun Mas Rudi yang bersalah tetap saja diriku, yang kena damprat Mamak."Seharusnya kamu itu jadi istri pintar ngurusin suami, jadi suaminya tidak pergi memancing setiap malam. Pasti Rudi sudah bosan sama kamu, makanya tiap malam selalu ditinggal pergi terus sama dia. Dasar perempuan bodoh! Enggak bejus kerjaannya, ngurusin suami satu aja enggak bisa. Tolol kamu!" umpat Mamak.Aku hanya diam menangis sambil memeluk Rere, yang ikut menangis dengan keras. Mungkin dia terkejut dengan suara neneknya, yang seperti petir menyambar gubuk papan bambu milik kami."Jika dikasih tahu itu, jangan diam saja! Sekali-sekali jawab, kenapa? Apa kamu tak kasian sama Rudi, hah? Malam bergadang, siang harus berkerja di kebun, bahkan sering kali dia ketiduran di keb
"Ada apa Lisna kok cemberut?" tanya ibuku."Sudah sana bersiap berangkat, ikut suamimu nanti dosa loh!" perintah ibu.Tidak kuasa untuk membantah perintah Ibuku, akhirnya aku pun berangkat juga ke rumah mertuaku yang jaraknya entah berapa kilo meter, yang jelas menghabiskan waktu dua jam perjalanan yang ditempuh dengan montor gunung milik Mas Rudi.Beraneka pikiran berkecamuk menari di dalam otakku.'Apa yang akan terjadi nanti?, adakah aku akan disiksa lagi?' tanyaku dalam hati, yang tidak mendapatkan jawaban.Kutepis semua pikiran negatif itu. Kupikirkan tentang hal yang baik-baik saja biar hidup menjadi lebih baik.'Lihatlah Mas Rudi sudah membelikan baju untukku!' aku menghibur diri sendiri.'Pasti dia sadar, apa yang dia lakukan padaku itu salah.''Dia tidak bisa hidup tanpaku,' kataku dalam hati.
Aku terus saja mengeluarkan isi perutku. Sampai cairan kuning kental, yang rasanya sangat pahit.Perut pun menjadi terasa lapar, karena aku masih menyusui putriku. Namun, perasaan mau muntah, tidak dapat aku bendung lagi. Entahlah sampai kapan musim durian ini akan berlangsung. Sementara sekarang masih awal musim dari mulai jatuhnya durian.Entah mengapa aku tidak bisa makan durian? Jngankan untuk memakannya. Baru mencium aroma durian saja aku udah muntah-muntah.Semalaman aku tidak bisa tidur, karena teman-teman Mas Rudi datang ke gubuk. Mereka melakukan pesta durian. Mereka ketawa dan bercanda dengan suara keras, sontak saja Rere jadi terganggu tidurnya. Rere rewel terus dan selalu minta gendong kepadaku, yang sedang merasakan mual.Aku ingin menegur mereka, tetapi takut dimarah oleh Mas Rudi.'Ya Allah semoga mereka lekas pulang,' do'aku dalam hati.Tepat pukul satu malam aku tidak mendengar suara mereka lagi berbincan
Diriku bener-bener mabuk durian. Namun, teman-teman Mas Rudi setiap hari selalu makan, minum dan tidur di gubuk. Dengan alasan bahwa gubukku lebih dekat dengan hutan, kenyataanya memang seperti adanya itu. Ayah datang berkunjung ke kebun. Kala Mas Rudi berserta teman-temannya sedang istirahat siang, di dalam gubuk.Ayah membawa kabar jika sepupuku, yang rumahnya tepat di samping rumah orang tuaku. Dia akan menikah dan pernikahannya diadakan secara meriah, jadi aku harus pulang ke desa untuk beberapa hari.Mas Rudi pun seperti biasanya bersifat sangat ramah dan sopan kepada Ayah. Tidak ketinggalan juga kebiasaan membual, yang sangat berlebihan. Bahkan sangat bertolak dari kenyataan yang ada.Mertuaku tidak menyapa Ayah sama sekali, jangankan tanya kabar tersenyum saja pun tidak.Setelah basa-basi dan menyantap beberapa buah duri