Italy, Milan
Olivya POV OnSejak pertemuanku dengan Bryan waktu itu, aku dan Bryan lebih sering berkomunikasi membahas hal yang menurutku tak penting. Soal pesan dari orang yang tak dikenal kemarin, aku anggap hanya pesan dari orang iseng. Buktinya aku tak menyesal sedikit pun menerima pertemanan Bryan. Justru aku merasa senang, karena aku tak merasa kesepian seperti dulu lagi.Saat ini aku sedang membaca novel yang aku beli kemarin. Oh ralat, lebih tepatnya dibelikan oleh Bryan. Aku duduk di sofa balkon apartemen mewahku yang merupakan hadiah dari kepala panti asuhanku dulu. Sekarang aku sedang menikmati semiliran angin malam sambil ditemani coklat panas dan novel di tanganku. Sungguh nikmat dunia bagiku.Aku menutup novelku lalu berdiri dari dudukku dan berjalan menuju pembatas balkon. Aku menatap keatas, dimana ada bulan bersinar dengan dikelilingi bintang-bintang yang juga menyinari malam ini. Sungguh indah. Aku tersenyum saat angin malam menerpa wajahku. Aku jadi teringat oleh Ibuku dan Kakakku, dimana saat kita bertiga berada ditaman belakang rumah sambil menatap indahnya bintang bertaburan.Flashback OnAku,Ibu,dan kakakku sedang bertiduran diatas rumput dengan alas kain. Saat ini kami sedang menatap indahnya langit malam dengan bintang yang menghiasinya.“Olivya, jika suatu saat kakak dan ibu sudah berada diatas sana apa yang kamu lakuin?” tanya kakakku bernama Ranelly Macrime.“Aku akan ikut kalian” jawabku tanpa mengalihkan pandanganku pada bintang.“Jika kami menghadap Tuhan sekalipun?” kali ini Ibuku yang bertanya. Nama Ibuku yaitu Orlan Macrime.“Ya, aku akan ikut. Kalian adalah bagian dari hidupku, kemana pun kalian pergi aku akan ikut. Menghadap Tuhan sekalipun” jawabku dengan enteng.Ranelly bangun dari tidurnya dan menatapku yang masih posisi terlentang.“Tidak Olv, kau tak boleh ikut. Ada masa depanmu yang sedang menantimu, kau akan bahagia dengan suamimu kelak yang begitu menyayangimu” ucapnya penuh keyakinan.Aku pun bangun dan duduk. Aku menggeleng-gelengkan kepala seraya tersenyum.“Tidak kak, kebahagiaanku hanya bersama kalian” balasku.“Kau memang keras kepala Olv” ketus Kakakku dan kembali menidurkan badannya. Begitu juga denganku, ikut merebahkan tubuhku.Entah mengapa perkataan kak Ranelly begitu nyata bagiku atau aku hanya sedang berhalusinasi.“Oh ternyata kalian disini”itu adalah suara ayah, seorang ayah yang sangat pekerja keras walau terkadang gajinya tak cukup untuk kami makan. Tapi ayah bukanlah seorang yang pantang menyerah begitu saja dan ia rela tak makan hanya untuk Kak Ranelly dan Aku makan. Bahkan ia tak pernah mengeluh lapar. Pernah saat itu, aku terbangun tengah malam untuk mengambil minum, dan kulihat ayah sedang makan sisa makananku dan Kak Ranelly yang tak habis, aku merasa kasihan padannya, segitu besarkah rasa perhatiannya pada keluarga kecilnya? Sungguh aku sangat beruntung punya ayah sepertinya.“Ayah? Sudah pulang?” Ibuku bangun dan menghampiri ayah yang berdiri didekat pintu yang menghubungkan taman belakang dan rumah.“Dari tadi loh ayah panggil in, tapi tak satu pun dari kalian yang merespon.” ucap ayah dengan nada seperti ingin mewek.“Kita lagi asik berbincang yah, jadi gak tau deh kalo ayah datang. Maaf ya yah.” ucapku dengan senyuman imut ku.“Tak apa, bukan masalah bagi ayah.” balas ayah.Ayahku adalah seorang sopir bus umum, ayahku bernama Armon Macrime. Ayahku adalah putra bangsawan, namun Ibunya ayahku tak menganggap Ayahku sebagai anaknya lagi karena Ayah lebih milih ibu yang tak direstui ibunya Ayahku, daripada keluarga egoisnya dan harta. Cinta mereka berdua begitu kuat, bahkan ayah rela kehilangan harta daripada harus kehilangan Ibu.Flashback OffTak terasa, air mata sudah mengalir dipipihku dan lama kelamaan tangisanku menjadi terisak. Aku sangat merindukan keluarga kecil ku. Kak Ranelly, Ibu, dan Ayah. Aku merindukan kalian semua. Disini, rasanya begitu sepi dan sunyi. Aku sebatang kara.Ponsel ku berbunyi, aku menghapus air mataku dan masuk ke dalam kamar untuk mengambil ponsel ku yang berada diatas kasur. Aku membuka pesan yang barusan masuk. Dahiku berkerut saat membaca pesan itu. Aku lari menuju balkon dan mengedarkan pandangan untuk mencari seseorang, tak ada siapa pun. Hanya kendaraan yang berlalu lalang, lalu aku membaca ulang pesan itu.+33147xxxxxxxxJangan menangis Olivya sayang, air matamu akan terbuang sia-sia. Simpan air matamu untuk besok kau menangis kebahagiaan.Itulah isi pesan yang ku terima dan aku tak berniat untuk membalasnya. Aku kembali mengedarkan pandangan dan mataku berhenti pada sosok pria yang memakai hoodie hitam,celana hitam dan masker hitam, ditambah dengan kacamata hitam. Aku tau tatapanku dan dia bertemu, dapat dilihat jika wajah dan tubuhnya menghadap ke arahku. Lalu tak lama kemudian ponsel ku kembali berbunyi dan aku membuka pesan masuk itu yaitu nomor yang sama.+33147xxxxxxxxOlivya sayang, aku tahu kau sedang melihatku saat ini dan kau juga sudah membaca pesanku. Kenapa kau tak membalas pesanku sayang?Itulah isi pesan kedua yang ku terima. Aku kembali melihat posisi pria misterius itu berdiri tapi ia sudah tidak ada dan menghilang. Aku merasa takut dan kembali masuk ke dalam kamar lalu mengunci pintu balkon dengan nafas yang memburu. Lalu aku berjalan ke arah ranjang dan merebahkan tubuhku diatas ranjang.Aku merasa takut dan pusing secara bersamaan. Aku terkejut saat tiba-tiba ponsel ku berbunyi pertanda panggilan masuk dan aku melihat siapa yang meneleponku, perlahan sudut bibirku terangkat, membentuk sebuah senyuman. Ternyata Bryan yang meneleponku. Aku menggeser tombol hijau dan meletakkan ponsel ku ke telingaku.“Halo Bry ada apa?” tanyaku mendahului.Adanya panggilan masuk dari Bryan, setidaknya aku dapat mengurangi rasa cemas ku dari pesan yang sama sekali tak aku kenal siapa pengirimnya.“Hai Liv, apa aku mengganggumu dengan meneleponmu malam-malam begini?” balasnya dari seberang sana.“Tidak Bry, aku justru senang ada yang menemaniku malam-malam.” ucapku.“Apa perlu aku ke apartemen mu sekarang? Untuk menemanimu.” tawarnya padaku. Terlihat aneh sekali, ada pria yang berkunjung ke apartemenku malam-malam. Pada dasarnya, aku belum pernah mengajak seorang laki-laki untuk berkunjung ke Apartemen ku. Ya, memang saja aku tak punya teman untuk aku ajak bermain disini, di apartemen ku.“Tidak usah Bry! Sudah sangat malam.” Tolak ku.“Ya sudah, Eh Liv! Aku tutup dulu ya, Mom memanggilku. Bye, good night.” ucapnya dan ia mematikan teleponnya secara sepihak tanpa membiarkan aku membalasnya.Aku kembali merebahkan tubuhku diatas tempat tidur yang empuk nan lembut. Rasa sunyi dan sepi kembali menghampiri ku malam ini. Aku benar-benar seperti orang sebatang kara sekarang. Tapi memang begitu kan? Hahah, aku sebatang kara ya.Olivya POV offSeorang pria sedang duduk disofa yang ada diruang kerjanya sambil menyesap wine ditangannya. Pria itu terus menatap foto seorang gadis yang ia dapat dari anak buahnya. Senyuman dibibirnya tak kunjung surut, ibu jarinya terus mengelus-ngelus foto gadis itu. Tok tok tokPintu ruang kerjanya terketuk oleh seseorang dari luar.“Masuk!” ucap pria itu tanpa mengalihkan pandangannya kearah foto seorang gadis. Dan masuklah anak buahnya yang usianya lebih tua dari tuannya. Pria itu adalah Madrick yang sedang fokus menatap foto gadisnya.“Adaapa?” tanya Mad dengan tatapan tajamnya karena mengganggu pikirannya akan foto gadis yang ia genggam. Anak buahnya tak kunjung menjawab dan membuat Mad menggeram marah.“Katakan apa tujuanmu menggangguku?!! Jika kau hanya terus membisu!! Lebih baik kau keluar sebelum peluruku menembus jantungmu” bentak Mad pada anak buahnya yang bernama Raco. “Itu tuan—tu—tuan” ucap Raco dengan takut dan terbata-bata.Dorr, PyarrrRaco terkejut saat guci disebelah posisi
Disebuah ruangan yang temaram dengan pencahayaan yang minim dan disertai suara jeritan yang sangat pilu. Dua orang paruh baya tengah duduk dikursi yang sudah usang dengan kedua tangan dan kakinya terikat, siapapun yang melihatnya pasti akan merasa iba dengan penampilan dari dua orang yang tengah terikat itu. Dua orang itu adalah seorang mafia asal America dan istrinya, Edeve Biancaro dan Yatty Biancaro. Wajah mereka sudah penuh lebam dan luka sayat. Seperti biasa, Mad duduk didepan mereka sambil menyesap champagne milik Edeve yang ia ambil dari lemari pendingin milik Edeve. Bukan Mad yang menyiksa mereka melainkan anak buahnya.“Gaston!!” panggil Mad dengan suara tingginya dan menggema diruangan tersebut. Kali ini Mad ingin menyiksa Edeve dan Istrinya Edeve digudang yang ada dimansion milik Edeve sendiri.“Ya tuan?” tanya Gaston dengan hormat.“Ambil semua uang milik Edeve dibrankas dan juga pistol produksi kita yang ia curi” ucap Mad demgan santai.“Hei!! Aku tak mencuri pistolmu bo
Seandainya ia tak melakukan kecurangan pada Mad. Seandainya ia tak melakukan kecerobohan dimasa lalu.Seandainya ia dulu mencintai Yatty dengan cara yang benar. Mungkin ini semua takkan pernah terjadi. Tapi sayang waktu terus berputar maju dan tak bisa untuk mundur walau hanya sedetik. “Maafkan aku, maaf. Aku memang salah, aku memang egois. Pergilah, jaga Edran baik-baik. Carilah pendamping yang kamu cintai dengan tulus. Mad bunuh aku sekarang, aku sudah siap menghadapi kematianku” ucap Edeve dengan tegas. “Ed—“ Dorr “EDEVE!!” pekik Yatty saat melihat suaminya sudah tak berdaya, kepalanya tertembak oleh Mad.“Ed.... Hiks hiks” Yatty mengguncang tubuh Edeve yang masih terikat di kursi. “Terima kasih sudah berbaik hati untuk membebaskan ku dan juga Edran” ucap Yatty dan melangkah untuk keluar gudang, namun langkahnya terhenti ketika Mad mengucapkan hal yang membuat hatinya menjadi sangat takut. “Berani kau melaporkan polisi, nyawamu dan anakmu akan melayang sebelum aku masuk penj
Dengan langkah panjang dan cepatnya, seorang pria sangat tergesa-gesa memasuki sebuah ruangan yang akan menjadi tujuannya saat ini. Sudah beberapa kali panggilan demi panggilan telah menyambar telinganya dengan tegas. Sangking banyak tugas yang meliliti otaknya, dengan terpaksa ia mengabaikan panggilan tegas itu. Pria itu menghirup nafasnya dalam-dalam saat tangannya sudah menyentuh handel pintu yang dingin itu. Kali ini ruangan yang ia masuki adalah ruang kerja ayahnya yang ada dimansion milik ayahnya ini. Jangan anggap sepeleh jika sang ayah sudah mengamuk. Ceklek Pria itu membuka pintunya dengan hati-hati, seakan takut jika sang pemilik ruangan ini tergganggu. “Kau terlambat 15 menit” ucap sang ayah saat pria itu sudah sepenuhnya memasukkan badannya kedalam ruangan itu. Pria itu menutup kembali pintunya. “Hanya lima belas menit? Itu tak terlalu lama” balas pria itu. Dirinya pun heran, entah kemana perginya rasa takut tadi. “Bukan soal lamanya, namun tentang kedisplinan dalam
Olivya POV Dapat kulihat dia sedang menggeram marah. Aku kaget saat ia mendorongku secara paksa masuk kedalam mobil sportnya ini, setelah itu dia menutup pintunya dengan sangat kencang. Dasar pria arogan, bagaimana kalo mobil bagusnya ini rusak? Emang seberapa kaya dia? Lihat tampangnya saja biasa saja.Tanpa aku sadari, aku menangis. Entah karena apa aku tiba-tiba menangis. Karena takut mungkin.“Heh kenapa kau menangis?” tanya pria arogan itu yang saat ini sudah disebelahku, lebih tepatnya dibagian pengemudi.“Tentu saja aku menangis, kau menculikku. Hiks...hiks..” ucapku dengan teriakkan.“Oh ayolah Vya—“ “Bagaimana kau tahu namaku heh? Pasti kau sudah merencanakannya sebelum menculikku.” Aku tahu dia menggeram marah, mungkin karena aku memotong ucapannya.“Dengar ini baik-baik Vya, Aku tidak menculikmu. Aku hanya mengamankanmu, okay?” balasnya.“Oh God, mengamankan ku dari apa? Apakah aku dalam bahaya?” “Ya, kau dalam bahaya”“Bahaya ten—““Kau ini cerewet sekali. Diam lah, dan
Olivya duduk diam diatas kasur sambil menonton acara tv. Siaran tv kali ini sangat membosankan bagi Olivya. “Acara tv-nya sangat membuatku bosan. Hm, aku jadi merindukan apartemenku.” Gumamnya dengan kesal.Matanya memincing saat mendengar suara gaduh didepan pintu. Suara itu seperti benda jatuh dan pada akhirnya pecah. Samar-samar Olivya mendengar suara bentakan diluar sana. Rasa penasaran terus mendorong Olivya untuk segera menguping dari balik pintu. Olivya melangkahkan kakinya dengan pelan mengarah pada pintu kamar. Telinganya ia tempelkan untuk memperjelas pendengarannya.“Dasar tidak berguna!! Sudah ku bayar mahal dirimu tapi apa yang aku dapat darimu, heh? Hanya omong kosong!!” Olivya mengernyit saat mendengar bentakan seseorang dengan sangat keras.“Seperti suara pria arogan,” gumam Olivya.“Maafkan aku tuan, mafia itu benar-benar susah sekali untuk dilacak. Gps tentangnya mati semua.” Suara seseorang dengan sangat pelan tapi tetap saja masih dapat didengar oleh Olivya.Disis
Aku merasakan ada seseorang yang memelukku dari belakang dengan sangat erat. Aku sedikit tersentak, saat tahu siapa yang sedang memelukku dari belakang, yaitu Mad. Aku tak berontak, entah mengapa. Aku merasa nyaman berada dipelukkannya. Sangat aneh memang, karena aku baru bertemu dengannya kemarin.Mad meletakkan dagunya pada ceruk leherku. “Vya,” panggilnya.“Hm?” balasku.Mad menyembunyikan wajahnya diceruk leherku dan aku merasakan pundak ku yang basah.Apakah ia menangis? “Mad? Kenapa?” tanyaku sambil mengusap rambutnya.“Biarkan seperti ini, Vya.” Gumannya dengan suara parau. Aku memilih diam dan berkutik dengan pikiranku.Tak lama kemudian, Mad mengangkat wajahnya dan memutar tubuhku hingga menatapnya. Benar dugaanku, pria ini habis menangis. Tapi mengapa? Matanya menyorot bahwa membuktikan kalau pria ini banyak sekali beban penderitaan dan kehancuran.“Ayo masuk, kau butuh istirahat.” Ucapnya masih dengan suara parau. Mad menarik tanganku dan aku menahan kakiku. Ia menoleh da
Olivya berdiri didekat jendela kamarnya. Kejadian kemarin sangat membuatnya trauma. Olivya melamun, perlahan air matanya turun melolos dipipinya. Terbayang bagaimana orang tuanya dibunuh dengan tragis.Saat itu, seharusnya aku tidak kabur. Sebaiknya aku mati bersama mereka batin Olivya."Shhh," ringis Oliv saat luka ditangannya terasa nyeri. Ia melihat perban ditangannya yang sedikit dilumuri darah. Luka sayatannya kembali mengeluarkan darah."Hidupku penuh dengan masalah." gumam Oliv. Pikirannya kembali pada kejadian kemarin.FlashbackSuara pukulan, tembakan, serta hantaman begitu kuat, masuk kedalam indera pendengaran Oliv.Didepan matanya, ia menyaksikan Mad sedang bertarung dengan banyak sekali orang-orang berbadan besar. Tubuh mungil Olivya bergetar hebat saat mendengar suara-suara tembakan serta jeritan yang berakhir kematian.Mad berhasil membawanya keluar dari kukungan wanita gila yang menyiksa Oliv. Tapi, sepertinya Tuhan masih ingin memberi cobaan. Saat sudah keluar dari ger