Share

3 Sebatang Kara

Italy, Milan

Olivya POV On

Sejak pertemuanku dengan Bryan waktu itu, aku dan Bryan lebih sering berkomunikasi membahas hal yang menurutku tak penting. Soal pesan dari orang yang tak dikenal kemarin, aku anggap hanya pesan dari orang iseng. Buktinya aku tak menyesal sedikit pun menerima pertemanan Bryan. Justru aku merasa senang, karena aku tak merasa kesepian seperti dulu lagi.

Saat ini aku sedang membaca novel yang aku beli kemarin. Oh ralat, lebih tepatnya dibelikan oleh Bryan. Aku duduk di sofa balkon apartemen mewahku yang merupakan hadiah dari kepala panti asuhanku dulu. Sekarang aku sedang menikmati semiliran angin malam sambil ditemani coklat panas dan novel di tanganku. Sungguh nikmat dunia bagiku.

Aku menutup novelku lalu berdiri dari dudukku dan berjalan menuju pembatas balkon. Aku menatap keatas, dimana ada bulan bersinar dengan dikelilingi bintang-bintang yang juga menyinari malam ini. Sungguh indah. Aku tersenyum saat angin malam menerpa wajahku. Aku jadi teringat oleh Ibuku dan Kakakku, dimana saat kita bertiga berada ditaman belakang rumah sambil menatap indahnya bintang bertaburan.

Flashback On

Aku,Ibu,dan kakakku sedang bertiduran diatas rumput dengan alas kain. Saat ini kami sedang menatap indahnya langit malam dengan bintang yang menghiasinya.

“Olivya, jika suatu saat kakak dan ibu sudah berada diatas sana apa yang kamu lakuin?” tanya kakakku bernama Ranelly Macrime.

“Aku akan ikut kalian” jawabku tanpa mengalihkan pandanganku pada bintang.

“Jika kami menghadap Tuhan sekalipun?” kali ini Ibuku yang bertanya. Nama Ibuku yaitu Orlan Macrime.

“Ya, aku akan ikut. Kalian adalah bagian dari hidupku, kemana pun kalian pergi aku akan ikut. Menghadap Tuhan sekalipun” jawabku dengan enteng.

Ranelly bangun dari tidurnya dan menatapku yang masih posisi terlentang.

“Tidak Olv, kau tak boleh ikut. Ada masa depanmu yang sedang menantimu, kau akan bahagia dengan suamimu kelak yang begitu menyayangimu” ucapnya penuh keyakinan.

Aku pun bangun dan duduk. Aku menggeleng-gelengkan kepala seraya tersenyum.

“Tidak kak, kebahagiaanku hanya bersama kalian” balasku.

“Kau memang keras kepala Olv” ketus Kakakku dan kembali menidurkan badannya. Begitu juga denganku, ikut merebahkan tubuhku.

Entah mengapa perkataan kak Ranelly begitu nyata bagiku atau aku hanya sedang berhalusinasi.

“Oh ternyata kalian disini”

itu adalah suara ayah, seorang ayah yang sangat pekerja keras walau terkadang gajinya tak cukup untuk kami makan. Tapi ayah bukanlah seorang yang pantang menyerah begitu saja dan ia rela tak makan hanya untuk Kak Ranelly dan Aku makan. Bahkan ia tak pernah mengeluh lapar. Pernah saat itu, aku terbangun tengah malam untuk mengambil minum, dan kulihat ayah sedang makan sisa makananku dan Kak Ranelly yang tak habis, aku merasa kasihan padannya, segitu besarkah rasa perhatiannya pada keluarga kecilnya? Sungguh aku sangat beruntung punya ayah sepertinya.

“Ayah? Sudah pulang?” Ibuku bangun dan menghampiri ayah yang berdiri didekat pintu yang menghubungkan taman belakang dan rumah.

“Dari tadi loh ayah panggil in, tapi tak satu pun dari kalian yang merespon.” ucap ayah dengan nada seperti ingin mewek.

“Kita lagi asik berbincang yah, jadi gak tau deh kalo ayah datang. Maaf ya yah.” ucapku dengan senyuman imut ku.

“Tak apa, bukan masalah bagi ayah.” balas ayah.

Ayahku adalah seorang sopir bus umum, ayahku bernama Armon Macrime. Ayahku adalah putra bangsawan, namun Ibunya ayahku tak menganggap Ayahku sebagai anaknya lagi karena Ayah lebih milih ibu yang tak direstui ibunya Ayahku, daripada keluarga egoisnya dan harta. Cinta mereka berdua begitu kuat, bahkan ayah rela kehilangan harta daripada harus kehilangan Ibu.

Flashback Off

Tak terasa, air mata sudah mengalir dipipihku dan lama kelamaan tangisanku menjadi terisak. Aku sangat merindukan keluarga kecil ku. Kak Ranelly, Ibu, dan Ayah. Aku merindukan kalian semua. Disini, rasanya begitu sepi dan sunyi. Aku sebatang kara.

Ponsel ku berbunyi, aku menghapus air mataku dan masuk ke dalam kamar untuk mengambil ponsel ku yang berada diatas kasur. Aku membuka pesan yang barusan masuk. Dahiku berkerut saat membaca pesan itu. Aku lari menuju balkon dan mengedarkan pandangan untuk mencari seseorang, tak ada siapa pun. Hanya kendaraan yang berlalu lalang, lalu aku membaca ulang pesan itu.

+33147xxxxxxxx

Jangan menangis Olivya sayang, air matamu akan terbuang sia-sia. Simpan air matamu untuk besok kau menangis kebahagiaan.

Itulah isi pesan yang ku terima dan aku tak berniat untuk membalasnya. Aku kembali mengedarkan pandangan dan mataku berhenti pada sosok pria yang memakai hoodie hitam,celana hitam dan masker hitam, ditambah dengan kacamata hitam. Aku tau tatapanku dan dia bertemu, dapat dilihat jika wajah dan tubuhnya menghadap ke arahku. Lalu tak lama kemudian ponsel ku kembali berbunyi dan aku membuka pesan masuk itu yaitu nomor yang sama.

+33147xxxxxxxx

Olivya sayang, aku tahu kau sedang melihatku saat ini dan kau juga sudah membaca pesanku. Kenapa kau tak membalas pesanku sayang?

Itulah isi pesan kedua yang ku terima. Aku kembali melihat posisi pria misterius itu berdiri tapi ia sudah tidak ada dan menghilang. Aku merasa takut dan kembali masuk ke dalam kamar lalu mengunci pintu balkon dengan nafas yang memburu. Lalu aku berjalan ke arah ranjang dan merebahkan tubuhku diatas ranjang.

Aku merasa takut dan pusing secara bersamaan. Aku terkejut saat tiba-tiba ponsel ku berbunyi pertanda panggilan masuk dan aku melihat siapa yang meneleponku, perlahan sudut bibirku terangkat, membentuk sebuah senyuman. Ternyata Bryan yang meneleponku. Aku menggeser tombol hijau dan meletakkan ponsel ku ke telingaku.

“Halo Bry ada apa?” tanyaku mendahului.

Adanya panggilan masuk dari Bryan, setidaknya aku dapat mengurangi rasa cemas ku dari pesan yang sama sekali tak aku kenal siapa pengirimnya.

“Hai Liv, apa aku mengganggumu dengan meneleponmu malam-malam begini?” balasnya dari seberang sana.

“Tidak Bry, aku justru senang ada yang menemaniku malam-malam.” ucapku.

“Apa perlu aku ke apartemen mu sekarang? Untuk menemanimu.” tawarnya padaku. Terlihat aneh sekali, ada pria yang berkunjung ke apartemenku malam-malam. Pada dasarnya, aku belum pernah mengajak seorang laki-laki untuk berkunjung ke Apartemen ku. Ya, memang saja aku tak punya teman untuk aku ajak bermain disini, di apartemen ku.

“Tidak usah Bry! Sudah sangat malam.” Tolak ku.

“Ya sudah, Eh Liv! Aku tutup dulu ya, Mom memanggilku. Bye, good night.” ucapnya dan ia mematikan teleponnya secara sepihak tanpa membiarkan aku membalasnya.

Aku kembali merebahkan tubuhku diatas tempat tidur yang empuk nan lembut. Rasa sunyi dan sepi kembali menghampiri ku malam ini. Aku benar-benar seperti orang sebatang kara sekarang. Tapi memang begitu kan? Hahah, aku sebatang kara ya.

Olivya POV off

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status