Share

Misteri Rumah Nomor 13
Misteri Rumah Nomor 13
Penulis: Maylafaisha

Bab 1. Sebastiaan Van de Kroft

"Dasar wanita jalang! Kamu tidak pantas untuk hidup, kamu harus mati! Mati! Mati!" Terdengar sumpah serapah dari dalam sebuah rumah mewah yang berada di dekat sebuah perkebunan karet.

"Tidak! Tidak! Jangan, saya tidak bersalah. Jangan bunuh saya, tolong jangan bunuh saya," pinta seorang wanita muda sambil mengesot menjauh.

"Jangan lari kau, Jalang! Perempuan sundal sepertimu itu lebih baik menjadi penghuni neraka," caci seorang lelaki pada seseorang.

Pria muda berdarah Belanda itu lalu mendekati seorang perempuan yang meringkuk di pojok ruangan sambil menangis. Tubuhnya bergetar dengan hebatnya karena rasa takut yang begitu dahsyat.

Wajahnya menunduk sambil menangis, dia tidak berani menatap lelaki yang terus menghampirinya dengan membawa sebuah pisau belati yang sudah terhunus. Mata keduanya sama-sama memerah.

Wanita itu terus menangis ketakutan, dia mencoba beringsut menjauh dari sang lelaki tetapi apa mau dikata, dia sudah terjepit di pojok ruangan yang tak memungkinkan dia untuk berpindah lagi.

"Kamu harus mati, Wening. Aku tidak akan membiarkan pengkhianat sepertimu terus hidup dan menyakiti hatiku. Kamu harus mati dan menjadi penghuni neraka!" Pria Belanda itu mendesis marah, langkah kakinya terus mendekati Weningasih yang merasa ketakutan karena harus berhadapan dengan maut.

"Tidak, tidak, Tuan, jangan bunuh saya. Tuan sudah salah paham, saya tidak mengkhianati siapa pun," tampik Wening.

"Hoer, onbeschaemd vercke, teef, kochelaresse!" Sebastiaan Van de Kroft kembali memaki Wening, wanita pribumi yang dinikahinya satu bulan silam. "Aku menyesal menikahi pribumi berbau busuk sepertimu. Pembohong! Kau pikir aku tidak tahu apa yang sudah kau lakukan di belakangku, hah!"

Wening terus menggeleng, dia menampik semua tuduhan Sebastiaan, pria berkebangsaan Belanda yang menjadi tuan tanah di desanya dan menguasai semua perkebunan yang ada termasuk perkebunan orang tua Wening setelah dua orang tua itu mati di tangan Sebastiaan dengan cara yang kejam.

Wanita itu terus berusaha meyakinkan bahwa dirinya tidak pernah bermain api dengan Jono, lelaki pribumi yang diangkat Sebastiaan sebagai pengawal pribadinya, seperti yang tengah dituduhkan suaminya pada dirinya.

Sementara itu, Sebastiaan yang sudah kesetanan tidak mau tahu dengan penjelasan Wening yang terus saja menolak mengakui tuduhan perselingkuhan yang dialamatkan padanya.

Dalam lima hitungan, Sebastiaan sudah berhasil mendapatkan Wening. Dengan sekali tarik, Sebastiaan menarik rambut panjang Wening hingga terlepas ikatan sanggulnya, Sebastiaan menyentakkan tangannya yang masih menjambak rambut Wening hingga wanita itu terpelanting ke tanah.

"Auh, sakit, Tuan. Tolong jangan sakiti saya lagi, Tuan. Saya benar-benar tidak mengerti dengan semua yang Tuan bicarakan. Saya tidak pernah bermain apa seperti yang tuan tuduhkan pada saya," elak Wening yang masih teguh dengan pendapatnya.

"Oh, ya, lalu kenapa tadi malam aku melihat kalian berdua keluar dari dalam gudang gabah dengan keadaan tidak karuan?" tuduh Sebastiaan.

Wening terkejut mendengar perkataan Sebastiaan, dia tidak menyangka jika hal itu diketahui oleh suaminya. Wening lalu menjelaskan bahwa Jono berusaha memperkosanya tetapi gagal karena dia berhasil melarikan diri dari lelaki itu.

Sayang, Sebastiaan tidak mau mendengarkan penjelasan Wening. Tangannya kembali meraih surai indah istrinya, menjambak wanita itu dengan kasar dan tiba-tiba terdengar sebuah pekikan tertahan. Hanya sekejab lalu menghilang begitu saja.

Sebastiaan menatap puas tembok di depannya yang kini sudah berubah warna dengan semburat warna merah. Lelaki itu tertawa sambil memiringkan bibirnya seraya bergumam sendiri.

"Sudah kubilang, jangan pernah berani bermain api denganku jika kau ingin selamat. Tapi, sayangnya kau tak percaya dengan semua ucapanku. Kau sudah kubereskan, tinggal laki-laki yang sudah berani menyentuhmu itu saja lagi yang harus kuselesaikan."

Sebastiaan menyipitkan matanya, sebuah senyum sadis terukir di wajahnya. Sorot matanya menatap licik ke bawah ke arah tubuh istrinya yang telah luruh bersimbah darah.

Pria itu kemudian berteriak, "Jono!"

Mendengar suara sang tuan memanggil, Jono datang tergopoh-gopoh mendatangi arah suara. "Siap, Tuan! Ada yang bisa saya kerjakan untuk Tuan?"

Sebastiaan membalikkan badannya menghadap Jono yang menatapnya tanpa kedip meski bau amis darah menyeruak mulai masuk ke dalam indera penciumannya. Sebastiaan menghampiri Jono dan membisikkan sesuatu pada pria itu.

Mendengar perintah tuannya membuat Jono reflek menggeleng, apalagi setelah melihat jasad wanita yang berada di depannya dengan keadaan yang mengerikan

"Kenapa kamu menolak, heh?! Bukannya kemarin malam kalian berdua sudah bertukar peluh di gudang gabah? Jangan kamu pikir aku tak tahu! Sekarang cepat lakukan perintahku atau kubunuh kau!"

"Tapi, Tuan ... ." Jono tidak menyelesaikan kalimatnya karena sebuah peluru telah melubangi dahinya hingga menembus tulang tengkoraknya dan bersarang di sana.

Usai menghabisi kedua orang itu, Sebastiaan melangkah masuk ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya yang masih berpakaian lengkap. Selepas berganti pakaian, barulah pria itu memanggil para penjaga dan menyuruh mereka agar menyingkirkan kedua mayat tersebut sekaligus membersihkan noda darah yang membekas

"Perintah Tuan sudah kami laksanakan. Apa ada hal lain lagi yang harus kami lakukan, Tuan?" tanya salah seorang penjaga yang baru saja selesai mengerjakan perintah Sebastiaan.

"Tidak. Tugas kalian sekarang hanyalah tingkatkan penjagaan, jangan sampai ada binatang pengerat lagi seperti mereka berdua. Jika kalian menemukan yang seperti itu, langsung habisi saja di tempat, jangan kasih ampun!"

"Baik, Tuan!"

Sebastiaan menganggukkan kepalanya lalu pergi meninggalkan para penjaga yang langsung kembali ke pos masing-masing.

Semenjak kejadian itu, Sebastiaan seakan menjadi sosok yang berbeda, sorot matanya yang biasanya hangat dan ramah kini berubah dingin dan tajam. Sikapnya pun berubah menjadi mudah marah dan tanpa ampun.

Tak satupun pekerja di rumah itu berani menatap Sebastiaan apalagi membicarakan masalah Wening dan Jono, sebab meski semuanya sudah mengetahui penyebab kematian Wening dan Jono, tetapi tak satu pun orang di rumah itu yang berani menyinggung masalah tersebut kecuali jika mereka ingin bernasib sama dengan kedua orang itu.

Suasana perkebunan itu menjadi suram dan mencekam, tidak ada satupun yang berani berbuat macam-macam meskipun hanya sekedar bercanda.

"Bagus! Dengan kematian kedua tikus biadab itu, tidak akan ada lagi yang berani bermain curang di belakangku," gumam Sebastiaan sambil tersenyum puas.

Berpuluh tahun kemudian, di sebuah fakultas universitas ternama ada sekelompok kecil mahasiswa yang tengah berdiskusi, raut wajah mereka terlihat sangat tegang, sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu yang serius.

"Jadi, kemana kita mengisi liburan kali ini?" tanya salah satu dari mereka.

"Bagaimana kalau kita ke pantai? Tapi, kali ini ke daerah Jawa Tengah saja, kita liburan di Jogjakarta dan salah satu tujuan kita ke Parang Tritis. Bagaimana?" jawab salah satu gadis dari tiga wanita yang ada dalam kelompok tersebut.

"Jangan ke pantai lagi, deh, kita sudah terlalu sering liburan ke pantai. Bagaimana kalau kali ini kita liburan ke gunung saja, mendaki gunung. Pasti asyik, berkemah di alam terbuka, menikmati keindahan alam semesta," usul seorang pemuda.

Lima dari tujuh pemuda pemudi itu saling bertukar pandang dan saling melempar tanya satu sama lain. "Usulan Rusdi itu terdengar sangat menarik. Bagaimana menurut kalian?"

"Aku setuju dengan pendapatmu, Al. Entah dengan yang lainnya," sahut Santi.

Empat teman Santi dan Aldi yang lainnya pun rupanya tidak keberatan dengan ide tersebut, karena sebagian besar sudah setuju makan diputuskan liburan kali ini adalah mendaki gunung.

Remaja-remaja itu terlihat antusias, hal itu bisa dilihat dari ekspresi wajah dan sikap mereka yang tak henti-hentinya membahas persiapan mendaki dengan sorot mata yang berbinar-binar.

Rusdi pun merasa senang karena usulannya kali ini disetujui oleh hampir semua temannya, hanya ada satu orang yang sejak tadi diam tidak berpendapat apa-apa.

"Im, kamu kenapa? Kok sedari tadi diam saja? Kamu ikut, 'kan, liburan kali ini?" tanya Santi pada Baim yang duduk di seberangnya

Baim menghela napasnya dalam-dalam. Ada sesuatu yang terasa berat di dalam dadanya, seperti ada sesuatu yang menghalanginya untuk mengiyakan rencana tersebut, tetapi dia tidak tahu apa itu.

Santi kembali bertanya pada Baim, tetapi tidak ada jawaban dari pemuda itu, hingga beberapa saat kemudian barulah dia membuka suara.

"Aku rasa sebaiknya kita urungkan saja rencana liburan kali ini. Lebih baik kita diam di rumah saja."

"Kenapa? Ada apa, Im?" Kali ini Aldi yang menimpali perkataan Baim

"Aku ... ."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status