Share

Bab 2 Perdebatan Rusdi dan Baim, Pertanda atau ...?

Aku rasa, aku tidak bisa ikut dalam liburan kali ini, Gaes," ujar Baim pada akhirnya.

"Ayolah, Im. Jangan seperti itu, tidak seru kalau salah satu dari kita tidak ikut ke acara liburan kali ini," ujar Alma

"Tapi, Al ... aku ... ." Baim kembali menggantung akhir kalimatnya, wajah pemuda itu terlihat kebingungan seperti sedang berusaha menutupi sesuatu.

"Sudahlah, Im. Tidak usah terlalu dipikirkan, kita semua pasti baik-baik saja. Lagi pula nanti kita akan meminta bantuan ke anak MAPALA untuk memandu kita ke sana. Jadi, jangan khawatir," ucap Aldi kembaran Alma.

Aldi merangkul dan menepuk bahu Baim untuk meyakinkan sahabatnya itu bahwa liburan kali ini akan menyenangkan dan tidak akan ada petaka atau apa pun seperti yang ditakutkan oleh Baim

Tidak Aldi saja yang berusaha meyakinkan Baim, lima teman karibnya yang lain pun ikut membujuk Baim agar bersedia ikut dalam liburan kali ini karena mereka bertujuh tidak akan pernah terpisahkan

Baim menghela napasnya dalam, ada rasa berat di dalam hatinya. Di satu sisi dia ingin sekali mengisi liburan semester kali bersama teman-temannya seperti yang biasa dia lakukan, tetapi di sisi lain ada sesuatu yang menahannya untuk pergi.

"Ayolah, Im, kamu jangan jadi pengecut seperti ini. Memang apa, sih, yang membuatmu sampai meragu seperti ini? Apa mamimu melarangmu untuk mendaki karena tidak ingin anak lelakinya yang lemah gemulai ini terluka?" Rusdi mengejek Baim sedemikian rupa.

Mendengar ejekan Rusdi, Baim yang awalnya diam di tempat duduknya, sontak langsung berdiri. Tangan kirinya menyambar leher baju Rusdi sementara tangan kanannya mengepal erat, siap melayangkan sebuah bogem mentah ke arah Rusdi.

Andin dan Amar yang secara kebetulan berdiri di dekat Rusdi pun langsung memeluk tubuh Baim yang tinggi besar, kemarahan Baim hampir saja membuat mereka berdua kewalahan. Sementara, Aldi, Santi, dan Alma berusaha menjauhkan Rusdi dari Baim yang sudah memerah mata dan wajahnya.

"Anjing kamu, Rus! Mau cari mati kamu?!" Baim meronta di dalam pelukan Amar dan Andin yang juga bertubuh tinggi besar.

Pemuda itu terus meronta, berusaha melepaskan diri karena ingin meninju mulut Rusdi yang sering berkata seenaknya sendiri. Sementara, Rusdi berdiri menantang dengan tampang mengejek.

"Cuih! Memangnya kamu bisa membunuhku, hah?! Memukul nyamuk saja tidak mati! Banci seperti kamu itu bisa apa?!" deceh Rusdi dengan pongahnya.

"Bangsat! Jaga mulutmu atau kurontokkan gigimu, Anjing!" Baim berteriak marah mendengar ejekan Rusdi yang semakin menjadi

"Sabar, Im. Sudah tidak usah diladeni itu omongan Rusdi. Toh, kamu sudah paham, 'kan, adat Rusdi yang selalu berkata seenaknya tanpa dipikir." Amar berusaha menenangkan Baim sebelum kemudian memalingkan wajahnya ke arah Rusdi yang terus menatap Baim dengan tatapan menghina. "Rusdi! Kamu juga jaga mulutmu, jangan pernah menghina seseorang! Kita ini bukan hanya sekedar bersahabat tapi sudah seperti saudara. Aku tidak mau persaudaraan kita ini pecah hanya karena ucapan yang tidak dijaga."

Mendengar teguran dari Amar, bukannya merasa malu dan meminta maaf, Rusdi malah meludah tepat di depan kaki Amar. Wajahnya terlihat sangat kesal dan penuh amarah. Setelah menatap Amar dan Baim tajam, pemuda itu pun lalu pergi meninggalkan para sahabatnya

Andin yang lebih dekat dengan Rusdi pun segera berlari menghampirinya setelah sebelumnya berkata pada teman-temannya bahwa dia akan mencoba membujuk Rusdi supaya bersedia meminta maaf pada Baim.

Sepeninggal Rusdi dan Andin, ketiga temannya yang lain mengajak Baim untuk kembali duduk, semantara Aldi berlari ke kantin membeli air minum kemasan untuk mereka berlima. Sambil mengusap bahu pemuda yang memang lebih feminin dibandingkan sahabat prianya yang lain, Santi dan Alma berusaha menenangkan Baim supaya tidak terus merasa marah kepada Rusdi.

"Bagaimana aku tidak marah? Kata-katanya yang seperti itu sama saja dengan menghina ibuku -- wanita yang sudah melahirkan dan membesarkanku selama ini. Aku tidak suka itu! Kalau dia mau menghina, hina saja aku tapi jangan ibuku!" Pemuda itu masih meradang karena mengingat semua perkataan Rusdi

"Kami paham, Im. Kami juga tidak suka dengan kata-kata Rusdi yang seringkali menyakiti hati, kami pun sudah sering menasehatinya agar tidak seenaknya saja dalam berbicara tapi dia tidak pernah mau mendengarkan. Jadi, kami rasa lebih baik kita doakan saja, semoga dia cepat sadar dan tidak terus-terusan seperti ini."

Baim menghela napasnya kasar, mereka bertujuh memang sudah sejak kecil bersahabat. Bahkan beberapa di antara mereka pun bertetangga yang otomatis membuat saling mengetahui karakter mereka masing-masing.

Mereka semua berasal dari keluarga yang kaya raya, hanya saja orang tua Rusdi cenderung tidak memperhatikan perasaan orang lain dalam berbicara dan ini menurun pada Rusdi. Sebenarnya, keenam sahabat itu sudah sering memberi nasehat pada Rusdi tetapi karena tidak pernah mempan, akhirnya, mereka memutuskan untuk mendiamkan saja

Sementara itu, tidak jauh dari tempat Baim dan kawan kawannya, Andin sedang berusaha menenangkan Rusdi yang tampak emosi karena sikap Baim yang menurutnya terlalu penakut sebagai seorang lelaki

"Terus, aku harus mengalah dan minta maaf sama dia, iya?! Aku tidak mau, Ndin! Apa yang kukatakan itu benar, kan, Baim itu terlalu lembek jadi laki-laki, masa baru begitu saja sudah marah-marah tidak jelas."

Dengan sabar, Andin mencoba meredakan amarah Rusdi. Dia berkata, "Rusdi, ingatlah semua kenangan indah saat kamu dan Baim bersama sejak kecil. Pertengkaran seperti ini hanya akan merusak persahabatan kalian. Bagaimana kalau kalian berbicara baik-baik dan mencoba menyelesaikan masalah ini?"

Rusdi perlahan mulai merenung, mengingat masa kecil mereka yang penuh kebahagiaan. Setelah beberapa saat, dia akhirnya setuju, "Kamu benar, Andin. Aku tak ingin kehilangan sahabat sejati seperti Baim. Ayo, kita bicara dengan dia."

Rusdi dan Baim akhirnya bertemu, masing-masing dengan niat baik. Rusdi berkata dengan tulus, "Baim, aku minta maaf atas kekeliruanku tadi. Aku tak ingin pertengkaran ini merusak persahabatan kita."

Baim tersenyum dan merangkul Rusdi, "Tidak apa-apa, Rusdi. Aku juga minta maaf jika ada yang salah dari pihakku. Kita berdua sudah terlalu lama bersahabat untuk saling marah-marah seperti ini."

Rusdi membujuk Baim agar mau ikut dalam liburan kali ini, apalagi mereka bertujuh belum pernah mendaki gunung sebelumnya

Rusdi dengan semangat berkata pada Baim, "Baim, ini kesempatan emas! Kita bertujuh belum pernah mendaki gunung sebelumnya. Ini akan menjadi petualangan yang tak terlupakan. Ayo, ikutlah dalam liburan kali ini, kita akan membuat kenangan baru bersama!"

Baim merasa tergugah oleh semangat Rusdi. Setelah sejenak berpikir, dia tersenyum, "Baiklah, Rusdi. Aku setuju untuk ikut dalam liburan ini. Mari kita buat kenangan indah bersama teman-teman kita yang lain saat mendaki gunung."

Rusdi dan Baim, bersama dengan teman-teman mereka yang lain, duduk bersama untuk berdiskusi tentang jadwal keberangkatan mereka. Mereka membicarakan tanggal, waktu, dan persiapan apa yang diperlukan untuk mendaki gunung. Semua sepakat untuk merencanakan perjalanan dengan baik agar semuanya berjalan lancar. Mereka sangat bersemangat untuk petualangan mendaki gunung bersama.

Di hari yang telah ditentukan, Rusdi, Baim, dan teman-teman mereka yang lain bersiap-siap dengan semangat tinggi untuk memulai pendakian gunung. Mereka memeriksa perlengkapan, memastikan semua persiapan sudah selesai, dan akhirnya memulai perjalanan menuju gunung yang mereka tuju. Dalam petualangan mendaki ini, mereka siap untuk menghadapi tantangan, menjelajahi alam, dan membuat kenangan yang tak terlupakan bersama-sama.

Setelah beberapa jam berkendara, ketujuh sahabat itu sampai di area penginapan yang ada di kaki gunung. Mengingat sudah lewat tengah hari, Amar mengusulkan untuk menginap saja di salah satu penginapan yang ada di sana. Akan tetapi, Rusdi menolak usulan tersebut, dia bahkan menolak menghubungi MAPALA setempat untuk memandu perjalanan mereka. Penolakannya itu membuat teman-temannya terkejut.

Rusdi menjelaskan, "Maaf, teman-teman. Aku memikirkan sesuatu. Bagi aku, bagian paling menarik dalam mendaki adalah menghabiskan malam di bawah bintang-bintang. Aku ingin berkemah di lereng gunung malam ini."

Teman-teman yang lain merenung sejenak, dan akhirnya mereka setuju dengan keinginan Rusdi. Mereka berencana untuk mendirikan perkemahan sederhana di lereng gunung dan menghabiskan malam di sana, merasakan keindahan alam yang lebih dekat. Dengan penuh semangat, mereka bersiap untuk perjalanan malam mendaki gunung.

Saat mereka sedang dalam perjalanan menuju ke lereng gunung, Alma tiba-tiba saja perasaannya menjadi tidak enak. Dia berhenti dan melihat sekelilingnya, seperti sedang mengamati sesuatu. Akan tetapi, karena teman-temannya yang lain terus berjalan maka Alma pun mengikuti dengan langkah pelan. Hingga akhirnya, dia menyadari bahwa telah terjadi sesuatu pada mereka bertujuh

"Mengapa berhenti di sini, Al?" tanya Baim yang sudah mulai terlihat rasa takutnya.

"Aku hanya bingung saja, menurutku hutan ini kok tidak segera menemui ujungnya. Apakah kita sudah melewati Hutan Serah Jiwo?" tanya Aldi.

"Hutan apalagi itu, Al? Dari mananya saja serem, cuy," ujar Amar yang ikut berhenti.

"Sepertinya titik kita berdiri sudah dekat dengan tujuan kita. Sebaiknya kita lanjutkan lagi perjalanan kita, semoga kita segera menemukan orang di depan sana!" kata Alma.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status