Share

Bab 5 Terkunci

"Tidak bisa dibuka? Apa maksudmu dengan kata tidak bisa dibuka, Mar. Jangan bohong kamu," kata Santi mulai panik.

"Aku tidak bercanda, San. Ini betul-betul tidak bisa dibuka sama sekali," jawab Amar mulai panik

"Apa?!" pekik Alma.

Gadis berambut hitam panjang itu pun akhirnya melangkah maju mendekat pada daun pintu. Jemarinya menyentuh gagang pintu dan perlahan mulai menarik ke bawah. Alma merasa aneh, lalu dia mencoba lagi. Kali ini dengan penuh tenaga bahkan gagang tersebut di naik turunkan dengan cepat.

Dahi gadis itu mengerut dalam. Dia merasa bingung dan aneh, di dalam hatinya dia sampai berpikir kenapa bisa seberat ini, seperti ada yang mengganjal pintu itu sehingga tidak bisa dibuka.

Selama beberapa menit, gadis itu menggerak-gerakkan handel pintu. Dia bahkan sampai mengeluarkan sebuah kawat yang sangat pipih untuk membobol kunci pintu itu, tetapi semuanya terasa sia-sia. Pintu itu tetap tidak bisa dibuka

Sementara itu, di belakangnya, keenam temannya menunggu dengan wajah tegang, berharap semoga usaha Alma berhasil dan mereka bisa segera keluar dari rumah megah tetapi aneh dan tampak mengerikan itu

"Huft, huft, iya sulit terbuka. Seakan terkunci otomatis. Ini bagaimana?" kata Alma.

Kelima sahabat Amar dan Santi mulai ikut panik dengan jawaban Alma yang sudah memucat wajahnya karena panik.

"Ah. Kalian semua terlalu lemah, masa membuka pintu begitu saja tidak bisa. Bukankah tadi pintu ini terbuka dengan mudahnya saat kamu menyandarinya, San?" ucap Rusdi setengah mengejek.

"Rusdi, please, deh. Ini bukan saatnya mengejek atau menghina orang lain. Pintu ini memang susah dibuka, coba saja sendiri kalau kamu tidak percaya," sahut Santi ketus. Gadis itu merasa sangat kesal dengan ucapan Rusdi yang selalu saja memerahkan telinga siapa saja yang mendengarnya

Rusdi merangsek maju, menghampiri Amar dan menggantikan pemuda itu membuka pintu yang mendadak tertutup ketika mereka sudah berada di dalam tadi.

Rusdi meraba-raba pintu rumah nomor tiga belas itu dengan gemetar. Udara malam yang seharusnya sejuk terasa begitu mencekam di sekitarnya. Cahaya remang-remang lampu jalan hanya menambah aura misterius rumah tua ini.

"Ini lho yang aku rasakan dan khawatir sejak awal saat kita menentukan tujuan berlibur di sini," ujar Baim, "tetapi seakan kalian tidak mengerti perasaanku," lanjut Baim sambil menundukkan kepala

"Jika terjadi sesuatu pada kalian, saat akan melewati masalah itu jangan lupa sebut nama Tuhan kalian. Semoga kalian terselamatkan!" kata Baim sarat akan maksud dan pesan.

Kawannya, Andin, mendekatinya dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Tenang, Rus. Kita harus masuk ke dalam dan mencari tahu apa yang terjadi di sini. Tapi kita harus hati-hati."

Dengan berat hati, Rusdi mencoba lagi membuka pintu tersebut, kali ini dengan lebih keras. Namun, pintu itu tetap tidak bergeming. Sepertinya seperti ada sesuatu yang menghalangi mereka.

Tiba-tiba, mereka mendengar suara langkah kaki yang datang dari dalam rumah. Ketujuh sahabat itu memalingkan wajah mereka ke arah sumber suara, tetapi tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya kegelapan yang menyelimuti lorong dalam rumah tersebut.

Sementara itu, di sisi lain Alma memutuskan untuk mencari kunci cadangan yang mungkin ada di dekat pintu. Rusdi tetap di tempat, merasa adanya sesuatu yang mengawasinya. Saat Alma meraba-raba meja di sebelah pintu, tangan dingin tiba-tiba menyentuhnya, membuatnya berteriak histeris.

"Ada apa, Al?" teriak Aldi

Rusdi berbalik, menemukan Alma yang terpaku oleh ketakutan. "Apa yang terjadi?" tanyanya panik.

Alma dengan gemetar menunjuk ke arah meja. Di atasnya terletak selembar kertas yang terasa sangat dingin ketika disentuh. Andin dan Baim yang kebetulan saat itu membawa senter segera menyorotkan senternya ke arah kertas yang bertulisan di tengahnya, lalu membacanya bersama-sama, tulisan di kertas itu terlihat seperti tergores dengan keras: "Jangan masuk... atau kamu akan menjadi bagian dari rumah ini."

Mereka bertujuh saling bertukar pandang satu sama lain, merenungkan pilihan yang harus mereka ambil. Namun, perasaan rasa ingin tahu yang kuat membuat mereka akhirnya memutuskan untuk terus menjelajahi rumah tersebut. Mereka tahu bahwa hanya dengan mengungkap misteri ini, mereka bisa menenangkan hati yang gelisah.

"Bagaimana ini kawan?" tanya Baim.

"Iya tidak bagaimana pun, kita sudah terlanjur terkunci. Maka ayo kita harus bisa membuka dalang semua ini!" ajak Rusdi bersemangat.

"Baiklah!"

Dengan hati-hati, Amar, Aldi, Andin, Santi, Rusdi, Alma, dan Baim menjelajahi setiap ruangan di rumah itu. Cahaya dari senter Andin menyoroti dinding yang penuh dengan lukisan aneh dan tak dikenal, membuat suasana semakin mencekam. Mereka merasa seolah-olah rumah itu memiliki ingatan sendiri yang mengerikan.

Tiba-tiba, mereka mendengar suara langkah kaki lagi, kali ini lebih dekat. Ketujuh teman karib memutuskan untuk mengikuti suara itu, yang membawa mereka ke lantai atas. Di atas, mereka menemukan sebuah pintu yang tampaknya mengarah ke ruangan tersembunyi. Santi menggerakkan handel pintu yang ternyata terbuka dengan mudah.

"Gaes?"

"Coba kita lihat!"

Ketika mereka masuk, mereka mendapati ruangan yang berisi berbagai benda aneh dan menyeramkan. Tanpa disadari oleh siapa pun, Santi berjalan ke tengah ruangan, di sana ada sebuah cermin besar yang tampak sangat tua. Ketika Santi melihat ke dalam cermin, dia terkejut melihat bayangan sosok misterius yang tidak ada di sisi lain cermin. Namun, ketika dia berbalik, tidak ada siapa-siapa di belakangnya.

"Apa itu tadi? Bayangan siapa yang tercetak jelas di cermin?" batin Santi dengan wajah memucat.

"Jangan macam-matan, ini rumah orang!!"

Santi merasa jantungnya berdegup kencang saat dia berbalik dan melihat ruangan masih kosong. Dia berani melangkah mendekati cermin besar itu lagi, matanya terpaku pada bayangan misterius yang masih ada di dalamnya. Bayangan itu tampak semakin dekat, semakin nyata, dan Santi bisa melihat wajahnya sendiri bergelap dan terdistorsi dalam bayangan itu.

Tiba-tiba, cermin besar itu pecah dengan keras, memecahkan keheningan mencekam yang melanda ruangan. Santi terlonjak mundur, dan pecahan cermin menghujani lantai. Saat Santi mencoba melarikan diri dari ruangan itu, dia mendengar suara tawa jahat yang mengisi udara, seakan-akan mengejarnya.

Santi terus berlari melalui koridor-koridor gelap, pintu-pintu terbuka dan menutup di belakangnya dengan sendirinya. Dia merasa seperti terperangkap dalam mimpi buruk yang tak berujung. Semua suara yang aneh dan menakutkan terus menghantui telinganya, membuatnya semakin panik.

Akhirnya, Santi menemukan dirinya kembali di depan cermin besar yang sudah utuh kembali. Bayangan misterius itu masih ada di dalamnya, tapi kali ini bayangan itu tersenyum dengan senyum yang sangat menyeramkan. Santi tahu dia harus berani menghadapinya.

Dengan gemetar, Santi mencoba berbicara pada bayangan itu, "Siapa kamu? Apa yang kamu inginkan dariku?"

Bayangan itu tertawa lagi, suaranya menusuk telinga Santi. "Aku adalah bayanganmu yang tergelap, Santi. Aku adalah rasa bersalahmu, ketakutanmu, dan semua ketidakpastian yang kamu sembunyikan. Aku datang untuk mengingatkanmu bahwa tak ada tempat untuk lari dari dirimu sendiri."

Santi merasa kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Dia tidak bisa lagi membedakan antara kenyataan dan mimpi buruk ini. Kegelapan merayap, dan cermin itu tiba-tiba menelan Santi. Dalam sekejap, dia menghilang tanpa bekas.

Ruangan itu kembali sunyi, dan cermin besar itu bersinar dengan cahaya samar-samar. Bayangan misterius itu tetap berada di dalamnya, menunggu orang berikutnya yang akan masuk dan menghadapi rasa takut mereka sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status