"Tidak bisa dibuka? Apa maksudmu dengan kata tidak bisa dibuka, Mar. Jangan bohong kamu," kata Santi mulai panik.
"Aku tidak bercanda, San. Ini betul-betul tidak bisa dibuka sama sekali," jawab Amar mulai panik"Apa?!" pekik Alma.Gadis berambut hitam panjang itu pun akhirnya melangkah maju mendekat pada daun pintu. Jemarinya menyentuh gagang pintu dan perlahan mulai menarik ke bawah. Alma merasa aneh, lalu dia mencoba lagi. Kali ini dengan penuh tenaga bahkan gagang tersebut di naik turunkan dengan cepat.Dahi gadis itu mengerut dalam. Dia merasa bingung dan aneh, di dalam hatinya dia sampai berpikir kenapa bisa seberat ini, seperti ada yang mengganjal pintu itu sehingga tidak bisa dibuka.Selama beberapa menit, gadis itu menggerak-gerakkan handel pintu. Dia bahkan sampai mengeluarkan sebuah kawat yang sangat pipih untuk membobol kunci pintu itu, tetapi semuanya terasa sia-sia. Pintu itu tetap tidak bisa dibukaSementara itu, di belakangnya, keenam temannya menunggu dengan wajah tegang, berharap semoga usaha Alma berhasil dan mereka bisa segera keluar dari rumah megah tetapi aneh dan tampak mengerikan itu"Huft, huft, iya sulit terbuka. Seakan terkunci otomatis. Ini bagaimana?" kata Alma.Kelima sahabat Amar dan Santi mulai ikut panik dengan jawaban Alma yang sudah memucat wajahnya karena panik."Ah. Kalian semua terlalu lemah, masa membuka pintu begitu saja tidak bisa. Bukankah tadi pintu ini terbuka dengan mudahnya saat kamu menyandarinya, San?" ucap Rusdi setengah mengejek."Rusdi, please, deh. Ini bukan saatnya mengejek atau menghina orang lain. Pintu ini memang susah dibuka, coba saja sendiri kalau kamu tidak percaya," sahut Santi ketus. Gadis itu merasa sangat kesal dengan ucapan Rusdi yang selalu saja memerahkan telinga siapa saja yang mendengarnyaRusdi merangsek maju, menghampiri Amar dan menggantikan pemuda itu membuka pintu yang mendadak tertutup ketika mereka sudah berada di dalam tadi.Rusdi meraba-raba pintu rumah nomor tiga belas itu dengan gemetar. Udara malam yang seharusnya sejuk terasa begitu mencekam di sekitarnya. Cahaya remang-remang lampu jalan hanya menambah aura misterius rumah tua ini."Ini lho yang aku rasakan dan khawatir sejak awal saat kita menentukan tujuan berlibur di sini," ujar Baim, "tetapi seakan kalian tidak mengerti perasaanku," lanjut Baim sambil menundukkan kepala"Jika terjadi sesuatu pada kalian, saat akan melewati masalah itu jangan lupa sebut nama Tuhan kalian. Semoga kalian terselamatkan!" kata Baim sarat akan maksud dan pesan.Kawannya, Andin, mendekatinya dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Tenang, Rus. Kita harus masuk ke dalam dan mencari tahu apa yang terjadi di sini. Tapi kita harus hati-hati."Dengan berat hati, Rusdi mencoba lagi membuka pintu tersebut, kali ini dengan lebih keras. Namun, pintu itu tetap tidak bergeming. Sepertinya seperti ada sesuatu yang menghalangi mereka.Tiba-tiba, mereka mendengar suara langkah kaki yang datang dari dalam rumah. Ketujuh sahabat itu memalingkan wajah mereka ke arah sumber suara, tetapi tidak ada siapa-siapa di sana. Hanya kegelapan yang menyelimuti lorong dalam rumah tersebut.Sementara itu, di sisi lain Alma memutuskan untuk mencari kunci cadangan yang mungkin ada di dekat pintu. Rusdi tetap di tempat, merasa adanya sesuatu yang mengawasinya. Saat Alma meraba-raba meja di sebelah pintu, tangan dingin tiba-tiba menyentuhnya, membuatnya berteriak histeris."Ada apa, Al?" teriak AldiRusdi berbalik, menemukan Alma yang terpaku oleh ketakutan. "Apa yang terjadi?" tanyanya panik.Alma dengan gemetar menunjuk ke arah meja. Di atasnya terletak selembar kertas yang terasa sangat dingin ketika disentuh. Andin dan Baim yang kebetulan saat itu membawa senter segera menyorotkan senternya ke arah kertas yang bertulisan di tengahnya, lalu membacanya bersama-sama, tulisan di kertas itu terlihat seperti tergores dengan keras: "Jangan masuk... atau kamu akan menjadi bagian dari rumah ini."Mereka bertujuh saling bertukar pandang satu sama lain, merenungkan pilihan yang harus mereka ambil. Namun, perasaan rasa ingin tahu yang kuat membuat mereka akhirnya memutuskan untuk terus menjelajahi rumah tersebut. Mereka tahu bahwa hanya dengan mengungkap misteri ini, mereka bisa menenangkan hati yang gelisah."Bagaimana ini kawan?" tanya Baim."Iya tidak bagaimana pun, kita sudah terlanjur terkunci. Maka ayo kita harus bisa membuka dalang semua ini!" ajak Rusdi bersemangat."Baiklah!"Dengan hati-hati, Amar, Aldi, Andin, Santi, Rusdi, Alma, dan Baim menjelajahi setiap ruangan di rumah itu. Cahaya dari senter Andin menyoroti dinding yang penuh dengan lukisan aneh dan tak dikenal, membuat suasana semakin mencekam. Mereka merasa seolah-olah rumah itu memiliki ingatan sendiri yang mengerikan.Tiba-tiba, mereka mendengar suara langkah kaki lagi, kali ini lebih dekat. Ketujuh teman karib memutuskan untuk mengikuti suara itu, yang membawa mereka ke lantai atas. Di atas, mereka menemukan sebuah pintu yang tampaknya mengarah ke ruangan tersembunyi. Santi menggerakkan handel pintu yang ternyata terbuka dengan mudah."Gaes?""Coba kita lihat!"Ketika mereka masuk, mereka mendapati ruangan yang berisi berbagai benda aneh dan menyeramkan. Tanpa disadari oleh siapa pun, Santi berjalan ke tengah ruangan, di sana ada sebuah cermin besar yang tampak sangat tua. Ketika Santi melihat ke dalam cermin, dia terkejut melihat bayangan sosok misterius yang tidak ada di sisi lain cermin. Namun, ketika dia berbalik, tidak ada siapa-siapa di belakangnya."Apa itu tadi? Bayangan siapa yang tercetak jelas di cermin?" batin Santi dengan wajah memucat."Jangan macam-matan, ini rumah orang!!"Santi merasa jantungnya berdegup kencang saat dia berbalik dan melihat ruangan masih kosong. Dia berani melangkah mendekati cermin besar itu lagi, matanya terpaku pada bayangan misterius yang masih ada di dalamnya. Bayangan itu tampak semakin dekat, semakin nyata, dan Santi bisa melihat wajahnya sendiri bergelap dan terdistorsi dalam bayangan itu.Tiba-tiba, cermin besar itu pecah dengan keras, memecahkan keheningan mencekam yang melanda ruangan. Santi terlonjak mundur, dan pecahan cermin menghujani lantai. Saat Santi mencoba melarikan diri dari ruangan itu, dia mendengar suara tawa jahat yang mengisi udara, seakan-akan mengejarnya.Santi terus berlari melalui koridor-koridor gelap, pintu-pintu terbuka dan menutup di belakangnya dengan sendirinya. Dia merasa seperti terperangkap dalam mimpi buruk yang tak berujung. Semua suara yang aneh dan menakutkan terus menghantui telinganya, membuatnya semakin panik.Akhirnya, Santi menemukan dirinya kembali di depan cermin besar yang sudah utuh kembali. Bayangan misterius itu masih ada di dalamnya, tapi kali ini bayangan itu tersenyum dengan senyum yang sangat menyeramkan. Santi tahu dia harus berani menghadapinya.Dengan gemetar, Santi mencoba berbicara pada bayangan itu, "Siapa kamu? Apa yang kamu inginkan dariku?"Bayangan itu tertawa lagi, suaranya menusuk telinga Santi. "Aku adalah bayanganmu yang tergelap, Santi. Aku adalah rasa bersalahmu, ketakutanmu, dan semua ketidakpastian yang kamu sembunyikan. Aku datang untuk mengingatkanmu bahwa tak ada tempat untuk lari dari dirimu sendiri."Santi merasa kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Dia tidak bisa lagi membedakan antara kenyataan dan mimpi buruk ini. Kegelapan merayap, dan cermin itu tiba-tiba menelan Santi. Dalam sekejap, dia menghilang tanpa bekas.Ruangan itu kembali sunyi, dan cermin besar itu bersinar dengan cahaya samar-samar. Bayangan misterius itu tetap berada di dalamnya, menunggu orang berikutnya yang akan masuk dan menghadapi rasa takut mereka sendiri.Sementara itu, di ruangan lain. Rusdi, Alma, Aldi, Andin, Baim, dan Amar yang tidak menyadari hilangnya Santi masih terus memeriksa seluruh isi rumah yang anehnya masih terlihat sangat bersih meski dari bentuk bangunannya mereka yakin sudah lama tidak ditempati.Mereka terus memeriksa setiap sudut rumah yang tampak terlantar, suasana semakin terasa mencekam. Cahaya senter hanya menerangi sedikit dari ruangan yang gelap gulita itu, dan langkah-langkah mereka yang terdengar seperti gema di koridor kosong semakin menambah ketegangan.Alma, yang sejak awal telah merasa ada yang tidak beres di rumah ini, tiba-tiba merasa sesuatu menyentuh bahunya. Dia berteriak dan mundur cepat. Ternyata, itu hanya sebuah debu yang jatuh dari langit-langit. Namun, suara teriakan Alma rupanya mampu membuat rasa takut semakin merayap ke dalam hati mereka."Kamu kenapa sih, Al? Jangan teriak- teriak terus, ih. Bikin orang jantungan mulu, sih, kamu ini," protes Baim sambil mengusap dadanya yang berdetak lebih
"Entah, aku juga tidak tahu, Al." Alma, yang selama ini menjadi yang paling skeptis, merasa ada yang memegang lengannya. Dia berteriak dan berusaha melepaskan diri, namun tidak ada yang terlihat. Semua orang dalam kelompok itu semakin panik, berusaha mencari jalan keluar dari ruang bawah tanah yang gelap dan menakutkan ini.Bulu kuduk mereka meremang, wajah-wajah mereka pun memucat karena rasa takut yang luar biasa. Kepanikan semakin nyata di wajah keenam remaja itu.Sementara mereka berusaha keluar, pintu ruang bawah tanah tiba-tiba terkunci dengan sendirinya. Mereka terperangkap di dalam, berjuang melawan ketakutan yang semakin memuncak. "Aduh, sekarang kita malah terperangkap di sini. Kita harus bagaimana sekarang? Apa yang harus kita lakukan? Seandainya tadi kita tidak mengikuti keinginan Rusdi, kita pasti tidak akan terjebak di sini," keluh Amar menyalahkan Rusdi"Sialan kamu, Mar! Bukankah tadi aku memberikan pilihan pada kalian semua dan kalian memilih untuk masuk kemari. Lal
Menjelang dini hari, tidak satupun dari mereka yang bisa tertidur pulas. Karena tidak bisa tidur, mereka memilih untuk mengikuti langkah Andin membaca doa hingga pagi menjelang."Gaes, sepertinya matahari sudah cukup terang di luar. Bagaimana kalau kita coba lagi mencari jalan keluar dari sini, sekaligus mencari keberadaan Santi?" usul Alma."Aku setuju dengan usulmu, Al. Ayo, kita kerjakan sekarang."Mereka berenam pun bergegas membereskan barang- barang mereka dan bersiap mencari jalan keluar dari ruangan gelap tersebut. Baim, Aldi, Amar, dan Rusdi baru saja menyalakan senter ketika tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu.Tiba-tiba, pintu ruang bawah tanah itu terbuka dengan sendirinya, melihat hal itu gegas keenam remaja itu keluar dari ruang bawah tanah ke koridor yang gelap. Mereka tidak ingin menunggu lebih lama lagi dan segera berlari menuju pintu utama. Namun, ketika mencoba membuka pintu tersebut, mereka menyadari bahwa itu juga terkunci."Aargh, sial! Kenapa pintu ini tid
Namun, sayangnya hingga pertanyaan itu hilang ditelan bumi, tak ada satupun temannya yang berminat menjawab pertanyaan tersebut.Andin dan Alma menangis tersedu-sedu, mereka saling berpelukkan satu sama lain. Sementara, Amar, Rusdi dan Aldi saling menatap curiga satu sama lain."Kalian berdua kemarin berada di barisan paling belakang bersama Santi, 'kan? Jangan-jangan kalian yang telah membunuh Santi atau jangan-jangan, Aldi yang sudah melakukan hal itu," tuduh Rusdi pada Alma dan Aldi.Andin yang merasa kaget dengan ucapan Rusdi sontak melepaskan pelukannya dari Alma. Dengan tatapan takut, gadis itu berteriak histeris."Kalian berdua benar-benar kejam, tidak punya belas kasihan! Apa salah Santi pada kalian berdua sehingga kalian tega membunuhnya dengan cara menggantung tubuhnya setelah sebelumnya kalian menganiaya Santi terlebih dahulu!"Alma terhenyak mendengar tuduhan yang dilayangkan oleh Rusdi dan Andin. Dia betul-betul tidak menyangka jika kedua sahabatnya itu sampai hati menuduh
Sementara Baim dan Andin berhasil menghentikan perselisihan antara Amar dan Aldi, mereka segera memutuskan untuk fokus pada tugas yang lebih mendesak. Mereka bersama-sama memikirkan cara untuk menurunkan jasad Santi dari atas tempat yang misterius ini, sambil mempersiapkan segala yang diperlukan untuk memberinya penghormatan terakhir. Di dalam rumah nomor tiga belas yang gelap dan mencekam, misteri semakin dalam, dan ketegangan di antara mereka semakin memuncak."Kita harus secepatnya mencari tangga untuk menurunkan tubuh Santi, masalahnya dimana kita bisa menemukan barang itu?" tanya Baim, "apa kita harus kembali meneliti kembali semua ruangan di rumah ini, hanya untuk mencari sebuah tangga?""Entah, Im. Jika harus kembali ke memeriksa rumah ini, rasanya aku sudah tidak sanggup lagi. Aku takut, Im," sahut Alma. "Lagipula rumah ini kelihatannya sudah sangat lama tidak ada penghuninya, barang-barang seperti tangga pasti sudah lapuk dimakan usia atau rayap.""Aku tau, Al. Tapi, masa iya
Mereka lalu mengeluarkan beberapa lembar kain tebal yang biasa mereka pakai untuk selimut untuk menutupi jasad Santi dan menyerahkannya kepada Amar. Usai menutupi jenazah salah satu teman karibnya, Amar pun kembali duduk di ruang tamu, tetapi tidak ada satupun suara keluar dari lisan mereka. Ketegangan masih terasa di udara, dan pertanyaan-pertanyaan misterius masih menghantui pikiran mereka. Apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini? Dan mengapa Santi harus mati dengan cara yang mengerikan?Keenam sahabat itu sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, sesekali mereka mengusap tengkuk dan kedua tangan mereka dikarenakan bulu kuduk mereka meremang. Di tengah suasana tegang tersebut, tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh tak beraturan dari perut Amar. "Kamu lapar, Mar?" Rusdi yang duduk paling dekat dengan Andin, auto menanyai Amar tanpa berbasa-basi lagi. "Iya, Rus. Maaf, aku tinggal dulu semuanya. Aku mau mencari bahan makanan yang sukup jawaban untuk kita semua." Usai mengatakan h
Alma merasa cemas dan tidak bisa menenangkan dirinya. Dia terus berdoa dalam hati, memohon agar Amar kembali dengan selamat dari rumah yang misterius itu. Pikirannya terus melayang pada Santi yang telah kehilangan nyawanya di tempat ini, dan dia berharap tidak akan ada korban lain.Waktu terus berlalu, dan ketegangan di ruangan semakin terasa. Mereka semua duduk dalam keheningan yang gelap, hanya diselingi oleh suara-suara aneh dari luar rumah. Mereka tahu bahwa Amar adalah satu-satunya harapan mereka untuk mendapatkan makanan, tetapi kekhawatiran mereka semakin mendalam seiring berjalannya waktu.Andin, Rusdi, Baim, dan Aldi juga merasakan ketegangan yang sama. Mereka saling melemparkan pandangan yang penuh kekhawatiran, tetapi tak ada yang berani mengucapkan kata-kata. Mereka hanya bisa menunggu dan berharap bahwa Amar akan kembali dengan selamat, membawa berita bahwa mereka bisa keluar dari rumah itu dan melanjutkan rencana liburan mereka atau kembali ke rumah dengan membawa jenaza
Setelah beberapa lama berusaha, akhirnya, Amar berhasil mencongkel lemari besar itu. Dengan bernafsu, Amar membuka pintu itu, berharap mendapati beberapa bahan makanan yang bisa dibawanya dan dimakan bersama enam sahabat karibnya Namun, ternyata dugaannya salah, yang Amar dapati saat lemari itu berhasil dibuka adalah sepotong tangan kiri yang terlihat masih sangat segar seperti baru saja dipotong. Alih-alih berteriak meminta pertolongan, Amar malah mengamati potongan tangan yang bersimbah darah itu dengan penuh rasa ingin tahu. "Potongan tangan ini...sepertinya aku kenal?" Amar bergumam sendiri sambil mengamati potongan tangan itu. Dengan rasa penasaean, pemuda itu mengambil lempengan besi yang tadi dipakainya untuk mencongkel pintu lemari, kemudian memutar potongan tangan tersebut. "Hei, cincin di jari kelingking ini kenapa mirip sekali dengan cincin yang kupakai, ya? Tapi, masa iya, cincinku itu ada yang menyamai, padahal kan itu pesanan khusus." Lagi-lagi Amar hanya menggumam