Share

Bab 4 Rumah Megah

"Gaes, lihat!"

Suara teriakan Amar mengejutkan keenam sahabatnya yang lain. Sontak mereka berenam menghampiri Amar yang terlihat senang.

"Apa, Mar? Kenapa kamu berteriak seperti itu, apa ada sesuatu?" tanya Rusdi.

Amar tidak berkata apa-apa, dengan wajah tegang dia hanya menunjuk ke arah depan. Serentak keenam temannya itu melihat ke arah yang ditunjuk oleh Amar.

"Gaes, kalian lihat itu tidak?" Kali ini giliran Aldi yang bertanya pada teman-temannya.

"Jalan setapak! Apakah ini sebuah petunjuk?" kata Andin.

"Bisa jadi, ayo kita ikuti saja jalan ini!" ajak Alma.

Kemudian mereka pun mengikuti jalan setapak tersebut berbaris dua-dua. Andin dan Rusdi yang berjalan di urutan paling akhir. Keduanya saling bergandeng tangan, terutama Andin. Gadis itu terlihat sedikit khawatir yang berbalut dengan rasa takut.

Rusdi yang melihat perubahan wajah gadis di sampingnya semakin merapatkan gandengan tangannya. Bahkan lengan Rusdi sudah melingkar pada bahu gadis itu. Pemuda itu membisikkan kata perlindungan pada cuping kanan Andin.

"Apakah benar yang kamu katakan, Rusdi?" tanya Andin.

"Iya, Sayang. Aku padamu, untuk itu jangan takut. Aku akan selalu dekat denganmu sehingga keamananmu terpantau," ungkap Rusdi.

Andin tersenyum senang. Namun, angin kencang yang berhembus dingin membuat bulu kuduk gadis itu meremang. Sesaat kemudian bahu gadis itu seakan ada yang mencoleknya. Hal itu seketika membuat Andin menoleh pada wajah Rusdi.

Rusdi masih fokus pada jalan setapak di depannya. Kelokan demi kelokan telah mereka lalui, tetapi batis terdepan belum menemukan ujung dari setapak itu. Hingga Andin berteriak histeris.

"Andin, ada apa denganmu?" tanya Santi ya g ada di depannya.

"Apakah kalian melihat sesosok wanita bergaun Nona Belanda? Dia, dia tadi melintas begitu saja di antara dua pohon yang saling terkait itu!" kata Andin sambil menunjuk pada dua pohon besar yang batangnya saling berhimpit.

Santi dan Amar yang ada di barisan depan Andin segera berhenti dan mengamati dua pohon tersebut. Sementara Alma juga yang lainnya meneliti sekitar pohon itu. Aldi merasakan hawa dingin yang berbeda menyapa kulit arinya.

Sementara Baim, pemuda itu melangkah mendekat pada Aldi dan memeluk lengan pemuda itu dengan tampang ketakutan. Alma yang melihat tingkah Baim menjadi bergidik, apalagi yang dipeluk adalah saudara kembarnya.

"Iih, kalian ini!" ujar Alma.

"Napa, aku juga manusia. Wajar dong jika ada rasa takut. Secara ini hutan karet lho, bisa saja ada mahkluk lain di sini selain kita," ujar Baim.

"Iya tapi tidak gitu juga dong tangan kamu itu, Baim!" tegas Amar.

"Iri, bilang dong!" ejek Baim.

Mereka saling pandang dan seketika tertawa lepas akan aksi Baim yang ngasal. Baim pun menjadi sedikit malu tetapi masih saja merasa parno akan desir angin yang menyapa kulit arinya. Kembali tangannya menggapai sesuatu berharap mendapat pegangan.

Alma segera meraih tapak tangan sahabatnya itu yang menggantung dan menggenggamnya erat. Alam mencoba menyalurkan energi positif agar Baim tidak merasa sendiri. Namun, saat kepala Baim menoleh ke wajah Alma, gadis itu terdiam dan terpana. Sekilas tampak adanya wajah lain yang mengikuti wajah sahabatnya itu.

"Ada apa denganmu, Im? Sepertinya sedang ada sesuatu pada pikirmu hingga sesuatu membayang di wajahmu," papar Aldi.

Alma yang paham akan kalimat kembarannya merasa adanya aura yang berbeda ada di sekitar tubuh Baim. Namun, gadis itu tidak berani berkata lebih terbuka. Akhirnya Alma menganggukkan kepala. Baim menatap pada dua sahabat kembarnya silih berganti, kulitnya meremang seakan ada yang sedang meraba.

"Apa kalian tidak ada yang merasakan sesuatu?" tanya Baim.

"Merasakan apa ya, Im?" tanya Santi.

"Seperti ada yang meraba kulit luar, Misalnya?" tanya Baim.

Sandi mengedikkan bahunya tanda dia tidak mengerti dengan kalimat yang dimaksud oleh Baim. Gadis itu hanya bergerak lebih merapat pada tubuh Alma sambil kepalanya menoleh ke kanan dan kiri seperti sedang mencari sesuatu.

Baim terlihat semakin gusar dan ingin berteriak lantang, tetapi mulutnya hanya bergetar saja tanpa mengeluarkan suara. Aldi yang mulai paham seketika membaca beberapa ayat khusus pengusir mahkluk astral lalu membasuhkan kedua tapak tangannya pada wajah Baim.

"Bismillah!"

Seketika Baim tersentak lalu mendekap langan Aldi. Semua yang ada di sekitar merasa sedikit khawatir akan respon yang terjadi pada salah satu sahabatnya. Andin pun makin diam dan merapatkan tubuhnya pada Rusdi.

"Sudah, sudah sebaiknya kita segera melanjutkan perjalanan. Sebentar lagi malam!" ajak Aldi.

Akhirnya mereka pun kembali berjalan menuju ke pos 2. Di sana sudah menunggu tim mapala khusus jalur daki yang diambil oleh ketujuh sahabat tersebut. Secara mereka sudah memberi kabar akan kedatangannya, para tim mapala pun sudah siap.

Dengan memberi semangat pada semua sahabatnya, Aldi pun menyingkirkan rasa takutnya. Dia sebagai pimpinan liburan kali ini harus mampu meredam semua gejolak yang mulai timbul dari efek setiap gesekan antar sahabat.

"Apa pos 2 masih jauh, Al?" tanya Amar.

"Sebentar lagi apalagi jika kita sudah melewati gapura desa Sidopati maka pos dua semakin dekat jaraknya!" jawab Aldi.

"Tunggu, tunggu dech, Al. Desa Sidopati, kok berasa angker ya nama desa tersebut!" celetuk Santi.

"Iya benar. Jika ditilik dari namanya, Sido artinya jadi kemudian pati yang artinya mati. Jika di gabung menjadi dua kata yang menakutkan. Benar enggak sih gaes?" tanya Andin lebih jelas.

Mereka semua bergidik mendengar apa yang dijabarkan oleh Andin. Bola mata Baim seketika menyapu sekeliling yang mulai gelap. Kabut sudah mulai turun. Namun, samar pemuda itu seperti melihat sebuah jalan setapak. Maka dia lebih menajamkan indera penglihatan.

"Tunggu berhenti dulu, Gaes. Lihat di depan sana seperti ada jalan setapak yang rapi!" kata Baim.

"Ingat, jaga lisan kalian. Ini kita sudah memasuki hutan terlarang yang semua bisa saja terjadi. Apalagi sudah melewati gapura Sidopati. Jadi aku mohon jaga lisan kalian!" tegas Aldi.

Mereka melanjutkan langkahnya, Aldi dan Alma berjalan lebih dulu diikuti Baik yang jemarinya tidak mau lepas dari tali tas Aldi. Beberapa kali Aldi menghindar, tetapi tangan Baim masih kekeh bertahan di sana. Akhirnya Aldi pun membiarkan semuanya terjadi.

"Karena hari sudah malam, apa sebaiknya kita ikuti saja jalan setapak ini, Al?" tanya Amar.

"Bagaimana dengan usul Amar ini, Kawan?" tanya Aldi.

"Aku ikut!" jawab Santi, Andin dam Rusdi bersamaan.

Sedangkan Baim, pemuda itu terlihat menggelengkan kepalanya tanda dia tidak setuju. Terjadi perdebatan kecil kembali yang menyinggung Baim dan Rusdi. Keduanya sering sekali beda pendapat. Baim yang merasa ada yang mengganjal pada perjalanan mereka kali ini selalu di ejek oleh Rusdi sebagai pria penakut.

"Sudah jangan berkelahi lagi, sebaiknya kita ikuti jalan setapak ini. Siapa tahu ada tempat berteduh, sepertinya angin kencang membawa uap air pertanda sebentar lagi akan turun hujan," papar Amar.

"Iya kau benar, Amar. Ayo Baim kau ikut aku saja menjauh dari Rusdi!" ajak Aldi lalu dia berjalan lebih dulu yang artinya keduanya memimpin.

Ketujuh sahabat terus berjalan mengikuti jalan setapak. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 500 meter, Aldi dan Baim melihat sebuah rumah yang terlihat rapi dan bersih. Sepertinya sang pemilik pandai merawatnya.

Baim mencengkeram lengan Aldi, pemuda itu semakin bergetar kala melihat angka pada nomer rumah itu. Namun, bibirnya masih bungkam. Beberapa teman yang lain melihat bangunan itu dengan decak kagum. Bahkan diantara mereka ada yang sudah tidak tahan ingin segera masuk untuk melihat isi daro rumah yang terlihat kokoh dari luar.

"Ayo segera kita masuk rumah itu, Al. Lihatlah air sudah mulai turun dari langit, sementara pos 2 masih 500 meter lagi di depan!" ajak Andin.

"Kau benar. Ayo segerakan saja. Airnya makin deras!"

Mereka segera berteduh di teras rumah yang cukup lebar. Begitu semua berhasil berteduh, air seketika langsung tumpah ruah bal air bah. Hujan begitu deras hingga menimbulkan angin kencang dan petir menggelegar silih berganti.

Angin yang begitu kencang mampu menggerakkan daun jendela yang sedikit membuka. Derit kayu yang bersentuhan dengan lantai membuat Andin dan Santi berjengit bersamaan. Pintu terbuka dengan lebar, sehingga membuat Santi yang bersandar pada pintu langsung duduk terjengkang.

"Kau tidak apa, San?" tanya Aldi, "baiklah berhubung pintu ini membuka, apa kalian setuju jika kita bermalam di sini lebih dulu sambil menunggu hujan reda?!" lanjut Aldi.

"Baik, bolehlah jika sementara. Aku setuju!" jawab Baim.

Satu per satu mereka masuk ke rumah tersebut. Begitu semua masuk pintu langsung menutup dengan keras tepat di belakang Amar. Seketika tubuh Amar terhentak akibat rasa terkejutnya.

"Jangan dibanting dong pintunya, Mar!" bentak Santi.

"Siapa juga," kilah Amar.

"Eeh, kok hujannya langsung reda. Bagaimana jika kita tidak jadi bermalam disini?" kata Baim.

Mendengar apa yang dikatakan oleh Baim, Amar seketika berbalik badan. Tangannya terulur meraih gagang pintu untuk membukanya. Bola matanya membulat sempurna kala mendapati pintu itu tidak dapat dibuka.

"Amar, buka dong! Cepat uy," ujar Santi lantang.

"Ini ... ini sulit dibuka kawan!" kata Amar terbata.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status