"Jangan katakan kamu memasang CCTV di kamar mandi juga!" Mama berteriak dengan marah. Telingaku dijewer semakin kuat.
"Aduh, Ma ... Lepaskan! Ampun!" Teriakanku melengking. Aku sungguh kesakitan. Terasa panas dan sepertinya telingaku sudah merah. Aku tidak suka dijewer, apalagi sudah berumur dua puluh delapan tahun. Ini sungguh menggelikan.
Mama melepaskan telingaku tapi, masih menatapku dengan tatapan marah. Ia berkacak pinggang di hadapanku. Aku tahu dia menunggu jawabanku.
"Iya, nanti kuhapus. Aku hanya mau bermain-main. Bukankah Mama sudah membayar mainan itu seharga dua milyar?" ucapku membela diri.
"Arrghhh!" Perkataanku membuat mama kembali menjewer telingaku yang satunya lagi.
"Lepaskan, Ma. Sakit sekali!"
Mama melepaskan tangannya, kemudian menghentakkan pantatnya dengan kasar ke tepi ranjang.
"Gadis polos itu bukan mainan!" ucap mama dengan ketus. Aku mencebik, meremehkan perkataan mamaku.
"Itu dosa! Kamu tidak boleh melakukan hal seperti itu! Nanti bisa-bisa kau akan dikutuknya!" Mama memandangku dengan pandangan galaknya.
Aku memalingkan wajahku, melihat ke arah lain. Aku masih tidak mau menganggap serius perkataan mamaku.
"Bila kamu tetap mengangap uang dua milyar itu terlalu sayang untuk disia-siakan, maka kamu akan menerima rentetan akibatnya. Kamu akan jatuh cinta dengan gadis bodoh itu! Cintamu akan ditolaknya kemudian kamu akan menjadi gila!"
Ucapan mama membuatku tertawa terbahak-bahak.
"Sangat lucu sekali, Ma." Aku memegang perutku yang sudah sakit karena banyak tertawa hari ini. Sepertinya hari ini aku sangat bahagia sekali. Permainan ini sungguh menarik bagiku.
Tubuhku memang mengalami kelelahan akibat baru keluar dari Rumah sakit dengan segala suntikan yang tidak kusukai. Tapi bathinku merasa senang karena ada mainan yang mampu menghibur kedukaanku atas meninggalnya ayah.
"Kalau Mama bilang begitu, maka bagaimana nasib para pel*cur yang dibeli dengan harga fantastis? Apakah semua orang kaya akan jatuh cinta dengan pel*cur yang dibelinya? Karena terkutuk?"
"Ha ha ha..." Aku masih tertawa, sementara kulihat wajah ibuku datar dan menatapku dengan pandangan dinginnya. Aku pun menghentikan tawaku karena tidak terasa lucu baginya.
"Aduh, sudahlah. Perutku sudah sangat sakit. Mama pergilah. Aku masih ingin bermain-main."
Akhirnya ibuku itu menyerah, ia bangkit berdiri dan meninggalkan kamarku.
"Jangan izinkan gadis bodoh itu pergi, apapun alasannya, Aku masih ingin bermain-main dengan boneka dua milyarku!" seruku mengingatkan ibu.
Tapi, ibu tidak menyahutku sama sekali. Biarlah, yang penting dia sudah mendengar dan mengerti perkataanku.
"Jangan lupa matikan lampu!" seruku saat dia mendekati pintu kamar.
Klik. Lampu dimatikan dan pintu ditutup. Dengan segera aku menghidupkan layar tvku. "Semoga dia belum selesai berendam!"
Namun, sungguh aku kecewa. Tidak ada lagi sosok gadis barbar itu. "Eh, di mana dia?" ucapku dengan panik.
Aku mengklik mouseku dengan cepat. Mencari bayangannya.
"Eh, di sana!" Aku memperbesar tangkapan layar. Gadis itu berbaring di lantai yang dingin. Di sebelah satunya dari boneka itu ada.
"Bodoh sekali, apa tidak dingin lantai itu?" ucapku dengan kesal.
"Aku tidak ingin gadis itu sakit. Maksudku, tidak akan seru lagi permainan ini bila dia sakit! Eh, apa ya maksudku?" ucapku dengan bingung.
Perkataan ibu melintas sekilas di benakku, "Kamu akan jatuh cinta kepadanya dan menerima akibatnya!"
"Arrghh! biarkan saja!" gerutuku dengan kesal kemudian kumatikan layar tv itu.
Kuhentakkan pantatku dengan kasar di ranjang yang besar ini, lalu berusaha memejamkan mata.
"Bukankah dia baru saja berendam tadi? Sekarang tidur di lantai. Ini namanya cari masalah!" geramku.
Aku bangkit dan kembali menghidupkan layar tv, mencari sosok gadis barbar itu.
Terlihat gadis itu meringkuk memeluk tubuhnya sendiri. Aku terdiam, masih sambil memperhatikan gadis itu.
"Dia kedinginan. Bodoh sekali, padahal di lemari ada selimut!" Baru saja aku bergumam. Sudah terdengar suara gadis itu bersin beberapa kali.
"Tuh, kan! Bodoh sekali!" umpatku dengan kesal. Akhirnya, dengan terpaksa aku keluar dari kamar. Memakai sebuah topeng yang menutupi wajahku sepenuhnya.
Aku menyelinap di rumah sendiri seperti seorang maling. Melirik ke kiri dan ke kanan layaknya pencuri yang sedang melakukan aksi pencurian. Berjalan dengan berjinjit, menempel di dinding dan sesekali merangkak, menuju ke kamarku sendiri.
Setelah yakin tidak ada yang melihat, aku membuka pintu kamarku dengan kunci duplikat yang kumiliki.
Ceklek
Segera kumatikan lampu supaya gadis itu tidak terbangun. Aku melangkah pelan dan menutup pintu tanpa suara. Aku berdiri memandang gadis bodoh yang sudah terlelap dengan nyenyak itu.
"Kalau ada gempa pun, dia tidak akan bangun!" gumamku dalam hati sambil terkekeh.
Aku mendekatinya dan menggendongnya dengan pelan. Membaringkannya dengan lembut di ranjang, kemudian menyelimutinya.
"Tidurlah," ucapku dengan suara kecil.
Tapi, tanpa kusangka. Gadis itu mencengkram tanganku dengan erat.
"Papa, jangan pergi! Angel takut!" Gadis itu mengigau. Bisa kulihat dirinya yang ketakutan. Sepertinya ia berpikir aku adalah papanya.
Bagaimana tidak takut? Siapa yang berani tidur dengan mayat? Gadis itu tidak akan memeriksa apakah boneka atau mayat yang tidur di sampingnya. Dia bahkan, tidak berani mendekati mayat itu.
"Eit!" Aku berseru tertahan saat tangan gadis itu menarikku dan mendorongku hingga masuk dalam pelukannya. Tanpa sengaja, aku menindihnya di ranjang yang empuk itu.
"Aouhh!" Gadis itu melenguh dan membuatku terkesima.
Aku menggulingkan tubuhku ke sampingnya agar tidak menindih tubuh gadis kecil itu. Tapi, gadis bodoh ini malah memelukku dengan erat. Tidur dalam pelukanku. Dia menyandarkan kepalanya dengan mesra seperti memeluk sebuah boneka besar.
"Posisiku tidak enak!" Aku bergumam dalam hati. "Bonekaku berada di belakang pinggangku dan sedang kutindih."
Dengan meliuk sedikit, aku menggeser boneka itu supaya ada ruang bagi tubuhku berbaring.
"Eitts." Boneka sial itu malah jatuh ke lantai sementara aku tidak bisa bergerak. Tubuh mungil si bodoh ini menindihku hampir separuh tubuhku.
Bila aku bergerak terlalu banyak, maka gadis bodoh ini akan terbangun.
Aku mendengkus dengan kesal. Sedikit merasa jijik karena aku bukan tipe pria yang suka bersentuhan dengan siapapun.
"Ufhht." Aku mengatur nafasku. Tubuhku yang baru saja mengalami kecelakaan juga sedang kelelahan. Kulirik jam tanganku. "Jam empat pagi."
"Biarlah dia tidur satu jam. Aku akan menggesernya setelah satu jam," ucapku sambil mengelus rambutnya yang panjang.
"Hmm, gadis ini wangi sekali." Aku merasa gadis ini sangat nyaman berada dalam pelukanku. Mungkin dia merasa hangat.
Tik tik tik tik. Jam berdetik seirama dengan degup jantungku yang tidak menentu. Nafasku mulai sesak akibat dada mungil gadis ini menempel tepat di tubuhku.
"Gadis ini masih polos. Kita terpaut hampir sepuluh tahun!" gumamku sambil menelan ludah.
"Dua milyar seharusnya harga yang cukup adil bagiku untuk ikut menikmati tubuhnya." Tanpa sadar pikiran kotor melintas di benakku.
"Eh," ucapku dengan lirih. "Apa ini? Mengapa pikiranku melenceng seperti ini? Ahh, sepertinya aku butuh istirahat!" gumamku sembari mengeser tangan kecil yang memeluk pinggangku.
Dengan nafas masih memburu, aku duduk di tepi ranjang.
"Aku harus segera meninggalkan kamar ini!" gumamku dalam hati. Aku berdiri dan mendengkus. Sebelum melangkah, aku menoleh dan terkejut setengah mati. Dalam remang-remang cahaya yang masuk melalui gorden, gadis bodoh itu membuka matanya.
Degh!!
Pandangan kami bertemu. Aku menelan ludahku dengan kasar, mematung di tempatku berdiri.
Sebenarnya aku terbangun karena sesak pipis, pendingin di kamar pengantin ini bekerja terlalu baik. Aku hampir membeku. "Sial, mati lampu lagi!" umpatku dalam hati sambil duduk di ranjang yang empuk. Tiba-tiba, kedua netraku menangkap bayangan yang tidak wajar. Jantungku mulai berpacu dengan kencang. Betapa terkejut diriku saat melihat seseorang sedang berdiri di hadapanku. Pandangan mata yang terbatas karena kegelapan membuatku menyadari sesuatu hal. Saat ini, aku sedang tidur di ranjang di sebelah mayat dan sialnya, mayat itu tidak ada di sebelahku! Bulu kudukku semakin meremang. "Arrghhh! Setan!" teriakku dengan panik. Pria bertopeng itu langsung menyerangku dan menutup mulutku yang sedang berteriak dengan keras. Tentu saja aku memberontak dengan semua usaha dan kekuatan yang ada. Kutendang tubuhnya dengan kakiku, kugigit tangannya dengan geram kemudian kugigit bahunya yang keras sampai gigiku sepertinya mau putus. Pokoknya dimanapun ada kesempatan, aku akan menyepak, mencakar
Zacky tertawa sembari memegang perutnya-pria itu merasa puas sekali melihat gadis mainannya menangis dan terduduk di depan daun pintu."Arrgh, sakit sekali," rintih Zacky. Akibat perkelahian kecil yang dilakukannya dengan Angel semalam, tubuhnya mendapatkan cakaran, serta luka di beberapa tempat. Dilirik tangannya sendiri-pertengahan antara jari jempol dan telunjuk. Bekas gigitan itu masih meninggalkan d*rah kering.Lututnya juga sakit akibat terhantam ke lantai dengan keras saat ingin menangkap gadis kecil itu."Dia lincah sekali seperti ular, liar dan gesit. Dasar gadis barbar!" umpat Zacky sembari bergerak ke kamar mandi.Zacky membuka pakaiannya dan melihat pantulan tubuhnya di cermin. Wajah yang ganteng, rahang yang keras dan tubuh berotot dengan enam kotak teratur di bagian perut yang rata tapi, sekarang ditambahi tiga garis bekas cakaran."Wanita si*lan!" Kembali terdengar umpatan Zacky.Postur pria itu sangat sempurna. Dengan tinggi 180 cm, lengan kekar dan dada bidang serta
Dua orang pelayan masuk dan mengantarkan makanan kepada Zacky. Salah seorangnya adalah kepala pelayan-Martha namanya. Wanita yang berumur lima puluhan dan sudah melayani keluarga Sanjaya selama dua puluh tahun itu melirik layar tv yang berada di meja Zacky. Kemudian melirik sejumlah uang yang sudah disediakan Zacky di meja yang sama."Bukankah dia akan dilepaskan hari ini?" Martha memberanikan diri bertanya.Zacky membalas dengan tatapan dingin.Martha segera mengundurkan diri-keluar dari kamar itu dalam diam. Wanita tua itu tahu, Zacky tidak suka bila kesenangannya terganggu apalagi dikomentari.Zacky melahap sarapan sembari melihat pergerakkan dari Angel-mainan barunya.***Aku buru-buru mundur karena terdengar suara anak kunci yang memutar-pertanda pintu akan dibuka!Dua orang pelayan masuk, membawakan makanan kemudian menyajikannya ke meja kecil di sudut kamar.Aku memanfaatkan kesempatan ini untuk berlari keluar. Tapi, naas sekali k
"Apakah ini berarti kalian akan melawan hukum?" Zacky memandang kedua orang itu dengan tatapan datar. Aura dingin mulai ditunjukkannya."H-hukum? Hukum apa?" Irsan dan Maya duduk kembali di sofa nan empuk di ruangan tamu itu.Tom-asisten Zacky berdiri di samping Zacky. Pria itu sudah siap dengan dokumen perjanjian di tangannya."Bukankah kamu sudah menandatangani semua perjanjian dan aku membayar dua milyar sesuai harga yang tercatat?"Irsan dan Maya saling memandang, "A-apa yang kita tanda tangani?" ucap Maya, melayangkan pandangan ke arah suaminya dengan bingung.Irsan menaikkan bahunya, sementara sebuah dokumen dilempar ke meja oleh Tom."Bacalah sendiri," ucap Zacky sambil menguap."Pergilah sesudah mengerti, aku mengantuk sekali!" lanjut Zacky kemudian pria itu berdiri, meninggalkan kedua orang tua itu yang sibuk membaca dokumen yang sudah ditandatangani oleh mereka tanpa sadar."Eh, tapi aku hanya tanda tangan
"Apa yang harus kulakukan dengan uang ini," ucap Irsan kepada istrinya. Mereka sudah sampai di rumah kecil yang mereka sewa pertahun.Maya terdiam sembari menatap tas yang terisi penuh itu. Uang asli. Satu-satunya putri yang ia cintai dijualnya tanpa sadar. Airmata menetes dari kedua netranya."Marilah pergi membeli sebuah rumah dan berlayar seperti yang dikatakan Tom," ucap Maya dengan lirih.Mereka hanya bisa mempercayai bahwa Nyonya Emma akan menjaga Angel dengan baik. "Anak gadis pasti akan menikah suatu saat. Sebagai orang tua, kita juga sudah tidak mampu menentang apa pun tanpa kekuasaan," ucap Irsan dengan lirih."Marilah pergi membeli sebuah rumah, kemudian kita berlayar, menikmati masa tua kita," lanjutnya yang kemudian mendapat persetujuan dari istrinya.Kedua pasangan yang sudah berumur itu saling berpelukan dengan sedih. Mereka hanya bisa mendoakan semoga Angel diperlakukan dengan baik.***"Lepaskan aku! Mengapa Mama dan Papa belum juga datang untuk menjemputku?" Isak ta
Kedua mata Zacky menatap tanpa berkedip. Layar tv di depannya merekam bagaimana Angel dengan santai membuka pakaiannya kemudian menukarnya dengan lingerie yang baru saja diberikan oleh kepala pelayan."Setidaknya pakaian ini pas di tubuhku, hhmm ... kemeja jelek kebesaran saja pelit sekali dipinjamkan. Sudah meninggal masih juga pelit. Apakah enggak sekalian dikuburkan saja pakaiannya?" Terdengar suara gadis barbar itu mengomel sembari mematut dirinya di cermin.Zacky memperbesar hasil tangkapan layar. Memperhatikan dengan detail lekuk-lekuk tubuh yang ditampilkan layar. Zacky menelan liurnya sendiri."D-dia sungguh cantik dan seksi. Menarik sekali!" ucap Zacky sambil tersenyum. Ia sudah tidak sanggup menahan gairah akibat halusinasinya sendiri.Dua wanita penghibur segera dibawa Tom untuk menghadap Zacky yang menghubunginya saat itu juga.Kedua wanita itu tertunduk dengan gemetaran, menunggu Zacky memberikan instruksi. Zacky menenguk minuman beralkohol untuk meredam rasa sakitnya aki
Zacky membaringkan dirinya di samping Angel. Memeluk si gadis barbar dari belakang. Menhirup aroma wangi menguar dari kisi-kisi rambutnya. Tak ada niat sedikit pun bagi pria itu untuk melecehkan gadis tersebut. Ia malah menyelimuti tubuh Angel. Walaupun dalam hati, pria itu menahan gairah alami yang sudah membuat kepalanya mulai berdenyut. Tapi, ia tidak ingin gadis barbar itu tiba-tiba bangun dan berkelahi dengannya lagi. "Aku tidak akan menganggap gadis polos sepertimu sebagai penghibur. Lagipula, bagian feminim-mu ternyata kecil," ucap Zacky sambil meraba beberapa bagian tubuh Angel. Meremasnya dengan pelan. "Hmmm, lembut, tapi tidak cukup untuk menaikkan seleraku," bisik Zacky di telinga Angel. Gadis polos itu sudah tertidur dengan nyenyak. Tidak merasakan apapun. Kalau Angel sudah tertidur memang seperti itu. Semua otak dan pikirannya benar-benar istirahat total. Tapi, tiba-tiba gadis itu memutar tubuhnya, memeluk Zacky seperti sedang memeluk boneka besar. Kaki kecilnya dile
"Bagaimana aku bisa memikirkan pertanyaan hanya dalam waktu setengah jam?" tanyaku dengan mulut yang terisi penuh."Sambil makan pula!" gerutuku, masih sambil menyuap sesendok bubur ke mulutku.Kepala pelayan itu hanya tersenyum dengan penuh arti. Sesekali ia melirik jam di dinding."Pertanyaan pertama," ucap bu Martha. Aku berpikir sejenak. "Uhm, mengapa Ayah dan Ibuku belum menjemputku?" Bu Martha segera mencatat pertanyaanku kemudian berkata, "Pertanyaan kedua." Aku melirik wajah kepala pelayan yang datar itu. Bu Martha hanya menatapku tanpa ekspresi."Mengapa kalian masih menahanku?" Sekali lagi kulihat, kepala pelayan itu mencatat dengan serius."Pertanyaan ketiga," ucapnya ketus. Aku memasukkan sesuap bubur ke mulutku sambil berpikir."Apa tugasku yang tadi kamu bilang?" Kepala pelayan itu menganggukkan kepalanya masih sambil menulis. Sesekali ia melirik jam di dinding."Pertanyaan keempat, silahkan! Tersisa 5 menit lagi" "Hah?" Aku tersedak makananku. Wanita paruh baya itu sam