Share

Bab 5. Zacky Sanjaya

"Jangan katakan kamu memasang CCTV di kamar mandi juga!" Mama berteriak dengan marah. Telingaku dijewer semakin kuat.

"Aduh, Ma ... Lepaskan! Ampun!" Teriakanku melengking. Aku sungguh kesakitan. Terasa panas dan sepertinya telingaku sudah merah. Aku tidak suka dijewer, apalagi sudah berumur dua puluh delapan tahun. Ini sungguh menggelikan.

Mama melepaskan telingaku tapi, masih menatapku dengan tatapan marah. Ia berkacak pinggang di hadapanku. Aku tahu dia menunggu jawabanku.

"Iya, nanti kuhapus. Aku hanya mau bermain-main. Bukankah Mama sudah membayar mainan itu seharga dua milyar?" ucapku membela diri.

"Arrghhh!" Perkataanku membuat mama kembali menjewer telingaku yang satunya lagi.

"Lepaskan, Ma. Sakit sekali!"

Mama melepaskan tangannya, kemudian menghentakkan pantatnya dengan kasar ke tepi ranjang.

"Gadis polos itu bukan mainan!" ucap mama dengan ketus. Aku mencebik, meremehkan perkataan mamaku.

"Itu dosa! Kamu tidak boleh melakukan hal seperti itu! Nanti bisa-bisa kau akan dikutuknya!" Mama memandangku dengan pandangan galaknya.

Aku memalingkan wajahku, melihat ke arah lain. Aku masih tidak mau menganggap serius perkataan mamaku.

"Bila kamu tetap mengangap uang dua milyar itu terlalu sayang untuk disia-siakan, maka kamu akan menerima rentetan akibatnya. Kamu akan jatuh cinta dengan gadis bodoh itu! Cintamu akan ditolaknya kemudian kamu akan menjadi gila!"

Ucapan mama membuatku tertawa terbahak-bahak.

"Sangat lucu sekali, Ma." Aku memegang perutku yang sudah sakit karena banyak tertawa hari ini. Sepertinya hari ini aku sangat bahagia  sekali. Permainan ini sungguh menarik bagiku.

Tubuhku memang mengalami kelelahan akibat baru keluar dari Rumah sakit dengan segala suntikan yang tidak kusukai. Tapi bathinku merasa senang karena ada mainan yang mampu menghibur kedukaanku atas meninggalnya ayah.

"Kalau Mama bilang begitu, maka bagaimana nasib para pel*cur yang dibeli dengan harga fantastis? Apakah semua orang kaya akan jatuh cinta dengan pel*cur yang dibelinya? Karena terkutuk?"

"Ha ha ha..." Aku masih tertawa, sementara kulihat wajah ibuku datar dan menatapku dengan pandangan dinginnya. Aku pun menghentikan tawaku karena tidak terasa lucu baginya.

"Aduh, sudahlah. Perutku sudah sangat sakit. Mama pergilah. Aku masih ingin bermain-main."

Akhirnya ibuku itu menyerah, ia bangkit berdiri dan meninggalkan kamarku.

"Jangan izinkan gadis bodoh itu pergi, apapun alasannya, Aku masih ingin bermain-main dengan boneka dua milyarku!" seruku mengingatkan ibu.

Tapi, ibu tidak menyahutku sama sekali. Biarlah, yang penting dia sudah mendengar dan mengerti perkataanku.

"Jangan lupa matikan lampu!" seruku saat dia mendekati pintu kamar.

Klik. Lampu dimatikan dan pintu ditutup. Dengan segera aku menghidupkan layar tvku. "Semoga dia belum selesai berendam!"

Namun, sungguh aku kecewa. Tidak ada lagi sosok gadis barbar itu. "Eh, di mana dia?" ucapku dengan panik.

Aku mengklik mouseku dengan cepat. Mencari bayangannya.

"Eh, di sana!" Aku memperbesar tangkapan layar. Gadis itu berbaring di lantai yang dingin. Di sebelah satunya dari boneka itu ada.

"Bodoh sekali, apa tidak dingin lantai itu?" ucapku dengan kesal.

"Aku tidak ingin gadis itu sakit. Maksudku, tidak akan seru lagi permainan ini bila dia sakit! Eh, apa ya maksudku?" ucapku dengan bingung.

Perkataan ibu melintas sekilas di benakku, "Kamu akan jatuh cinta kepadanya dan menerima akibatnya!"

"Arrghh! biarkan saja!" gerutuku dengan kesal kemudian kumatikan layar tv itu.

Kuhentakkan pantatku dengan kasar di ranjang yang besar ini, lalu berusaha memejamkan mata.

"Bukankah dia baru saja berendam tadi? Sekarang tidur di lantai. Ini namanya cari masalah!" geramku.

Aku bangkit dan kembali menghidupkan layar tv, mencari sosok gadis barbar itu.

Terlihat gadis itu meringkuk memeluk tubuhnya sendiri. Aku terdiam, masih sambil memperhatikan gadis itu.

"Dia kedinginan. Bodoh sekali, padahal di lemari ada selimut!" Baru saja aku bergumam. Sudah terdengar suara gadis itu bersin beberapa kali.

"Tuh, kan! Bodoh sekali!" umpatku dengan kesal. Akhirnya, dengan terpaksa aku keluar dari kamar. Memakai sebuah topeng yang menutupi wajahku sepenuhnya.

Aku menyelinap di rumah sendiri seperti seorang maling. Melirik ke kiri dan ke kanan layaknya pencuri yang sedang melakukan aksi pencurian. Berjalan dengan berjinjit, menempel di dinding dan sesekali merangkak, menuju ke kamarku sendiri.

Setelah yakin tidak ada yang melihat, aku membuka pintu kamarku dengan kunci duplikat yang kumiliki.

Ceklek

Segera kumatikan lampu supaya gadis itu tidak terbangun. Aku melangkah pelan dan menutup pintu tanpa suara. Aku berdiri memandang gadis bodoh yang sudah terlelap dengan nyenyak itu.

"Kalau ada gempa pun, dia tidak akan bangun!" gumamku dalam hati sambil terkekeh.

Aku mendekatinya dan menggendongnya dengan pelan. Membaringkannya dengan lembut di ranjang, kemudian menyelimutinya.

"Tidurlah," ucapku dengan suara kecil.

Tapi, tanpa kusangka. Gadis itu mencengkram tanganku dengan erat.

"Papa, jangan pergi! Angel takut!"  Gadis itu mengigau. Bisa kulihat dirinya yang ketakutan. Sepertinya ia berpikir aku adalah papanya.

Bagaimana tidak takut? Siapa yang berani tidur dengan mayat? Gadis itu tidak akan memeriksa apakah boneka atau mayat yang tidur di sampingnya. Dia bahkan, tidak berani mendekati mayat itu.

"Eit!" Aku berseru tertahan saat tangan gadis itu menarikku dan mendorongku hingga masuk dalam pelukannya. Tanpa sengaja, aku menindihnya di ranjang yang empuk itu.

"Aouhh!" Gadis itu melenguh dan membuatku terkesima.

Aku menggulingkan tubuhku ke sampingnya agar tidak menindih tubuh gadis kecil itu. Tapi, gadis bodoh ini malah memelukku dengan erat. Tidur dalam pelukanku. Dia menyandarkan kepalanya dengan mesra seperti memeluk sebuah boneka besar.

"Posisiku tidak enak!" Aku bergumam dalam hati. "Bonekaku berada di belakang pinggangku dan sedang kutindih."

Dengan meliuk sedikit, aku menggeser boneka itu supaya ada ruang bagi tubuhku berbaring.

"Eitts." Boneka sial itu malah jatuh ke lantai sementara aku tidak bisa bergerak. Tubuh mungil si bodoh ini menindihku hampir separuh tubuhku.

Bila aku bergerak terlalu banyak, maka gadis bodoh ini akan terbangun.

Aku mendengkus dengan kesal. Sedikit merasa jijik karena aku bukan tipe pria yang suka bersentuhan dengan siapapun.

"Ufhht." Aku mengatur nafasku. Tubuhku yang baru saja mengalami kecelakaan juga sedang kelelahan. Kulirik jam tanganku. "Jam empat pagi."

"Biarlah dia tidur satu jam. Aku akan menggesernya setelah satu jam," ucapku sambil mengelus rambutnya yang panjang.

"Hmm, gadis ini wangi sekali." Aku merasa gadis ini sangat nyaman berada dalam pelukanku. Mungkin dia merasa hangat.

Tik tik tik tik. Jam berdetik seirama dengan degup jantungku yang tidak menentu. Nafasku mulai sesak akibat dada mungil gadis ini menempel tepat di tubuhku.

"Gadis ini masih polos. Kita terpaut hampir sepuluh tahun!" gumamku sambil menelan ludah.

"Dua milyar seharusnya harga yang cukup adil bagiku untuk ikut menikmati tubuhnya." Tanpa sadar pikiran kotor melintas di benakku.

"Eh," ucapku dengan lirih. "Apa ini? Mengapa pikiranku melenceng seperti ini? Ahh, sepertinya aku butuh istirahat!" gumamku sembari mengeser tangan kecil yang memeluk pinggangku.

Dengan nafas masih memburu, aku duduk di tepi ranjang.

"Aku harus segera meninggalkan kamar ini!" gumamku dalam hati. Aku berdiri dan mendengkus. Sebelum melangkah, aku menoleh dan terkejut setengah mati. Dalam remang-remang cahaya yang masuk melalui gorden, gadis bodoh itu membuka matanya.

Degh!!

Pandangan kami bertemu. Aku menelan ludahku dengan kasar, mematung di tempatku berdiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status