Share

Bab 3. Sekamar dengan mayat.

Kulirik sekilas jenazah di sampingku dalam kegelapan, sinar rembulan samar-samar masuk dari balik tirai.

Pria kaku itu sudah diangkat keluar dari peti mati dan mereka membaringkannya di ranjang.

Masih dengan kain putih menutup wajahnya. Ingin rasanya membuka penutup kain putih itu, setidaknya aku bisa melihat wajah suamiku sekali saja. Tapi sungguh aku tidak berani.

Dengan takut aku duduk satu ranjang dengan mayat. Kecewa, sungguh kecewa dengan kedua orangtuaku yang meninggalkanku di sini.

"Gila, mereka semua kehilangan otaknya," bathinku. "Apa yang mereka harapkan dengan menidurkan mayat di sini?"

"J-jangan katakan, mereka benar-benar ingin aku hamil dari mayat ini?"

Aku membulatkan mataku dan memandang pria yang terbujur kaku itu dengan bulu kuduk berdiri.

Degh! Lampu hidup kembali. Aku bernafas dengan lega. Ac pendingin di kamar yang luas itu malah membuatku berkeringat jagung.

Aku pasrah. Harus tahan duduk sampai acara di luar selesai. Baru aku bisa pulang ke rumah.

"Ya, harapanku selesai acara  aku akan dibebaskan."

Tik tik tik tik ... Jam terus berdetik. Tak berani aku beranjak dari ranjang walau sudah sesak pipis dari tadi.

Perutku terasa sungguh lapar dan kepalaku sakit. Aku tidak cukup tidur semalaman.

"Mereka sungguh kejam sekali karena tidak memberikan makanan yang layak kepada pengantin!" Aku mengumpat dengan kesal.

"Suami mati ini-kan memang tidak perlu makan lagi, tapi aku masih hidup dan aku butuh makan!"

Kedua mataku mulai marah. Tidak menangis lagi karena bukan sedih tapi lapar!

Degh … tiba–tiba mati lampu lagi.

Badanku mematung karena ketakutan. "Ohh Sh*t, apalagi ini?" Sekujur tubuhku mematung. Merinding dan bulu kudukku mulai berdiri. Leherku tiba - tiba dingin seperti ada yang meniup dengan halus.

"Paa ... paa. Papa ... Tolong aku." teriakku kecil dengan tubuh yang sudah kaku total.

Tiba - tiba lampu hidup. Bergegas aku menoleh ke samping. Mayat itu masih disana. Dengan kain putih yang masih tertutup di wajahnya.

"Ups, sedikit  lega rasanya," ucapku sambil mengelus dadaku sendiri.

Samar-samar aku melihat bayangan yang berjalan bolak-balik di bawah celah daun pintu.

"Sepertinya ada yang berjaga di luar. Apakah lampu dimatikan dari luar?"

"Kurang ajar! Siapapun yang bermain-main disini!" gumamku dengan marah.

"Mama, Papa!" teriakku dengan marah.

"Aku sudah mau pulang!" Kugedor pintu kamar dengan gelisah.

Kesabaranku sudah melewati batas. Aku ingin pulang sekarang. Pikirku dengan mantap.

"Aku lapar!" teriakku masih dengan kemarahan yang tinggi sambil mengedor pintu.

"Barbar". Terdengar suara kecil dari arah belakangku yang membuatku membujur kaku kembali. Bulu kudukku berdiri lagi.

"Siapa?" Aku memutar tubuhku dan menoleh ke belakang. Masih tidak ada kejadian apapun. Gelap sekali dan aku semakin panik.

Apakah aku berhalusinasi? Sepertinya aku mendengar suara seorang pria memanggilku "Barbar."

Lampu sial itu hidup kembali, aku melirik ke arah ranjang. Tidak ada yang terjadi.

Tak lama kemudian terdengar kunci pintu diputar dari luar. Bundaku menampakkan wajahnya

"Mama!" Aku berseru dan menangis dalam pelukannya.

Beberapa pelayan masuk dan membawa mampan berisi makanan.

Aku melirik mereka dengan malas, mereka juga sedikit gemetaran karena ada mayat di ranjang.

"Nak, kamu belum bisa keluar. Sebentar lagi ya," ucap mama kemudian mendorongku masuk dan menguncinya kembali dari luar.

Aku ingin berontak tapi bundaku sudah menutup pintu dengan cepat.

"Mama!" Aku kembali mengedor pintu. Namun sepertinya usaha ini hanya akan membuatku kelelahan.

Dengan kecewa, aku duduk di ranjang. Menghentakkan pantatku dengan kasar sehingga si mayat ikut terguncang tanpa kusadari.

Kain putih yang menutup wajahnya terbang ke samping.

Aku menoleh dan terkejut. Dengan singgap aku berdiri dan mematung di tempatku. Kututup mulutku dengan kedua tanganku.

Pria itu sangat pucat. Tapi, "Ia sangat ganteng!"

Aku memberanikan diri mendekati mayat itu. Kuperhatikan dengan jelas.

Pria itu seperti seorang bintang film pria yang biasa kulihat.

"Eh, bukan bintang film." Aku mengernyitkan alisku berusaha mengingat.

"D-dia, bukankah dia adalah seorang milyuner muda. Betul! Aku pernah melihat wajahnya. Ia bukan artis tapi wajahnya ada di majalah F*rbes, majalah orang kaya!" seruku karena berhasil mengingat dengan baik.

"Astaga, ganteng dan masih muda, sudah meninggal. Kasihan," ucapku tanpa sadar.

"Kasihan sekali kamu. Seandainya kamu masih hidup, pasti tidak akan ada wanita yang menolak untuk menjadi pasanganmu!" gumamku dengan sedih.

Bermonolog, mengapa hidup terasa begitu kejam bagi sebagian manusia.

Pria ini sudah memiliki segalanya, seorang pewaris dari keluarga yang memiliki kekayaan tanpa nominal. Tapi sudah harus direnggut nyawanya dan berakhir dengan tragis, harus menikah dalam kondisi sebagai mayat.

"Kamu lebih kasihan daripadaku," gumamku masih memperhatikan sosok kekar milik pria yang terbaring kaku itu.

Aku termenung cukup lama sebelum terdengar suara memalukan dari perutku.

"Ahh, aku lapar. Kamu tidak butuh makan tapi, aku butuh!"

Aku bergerak menuju ke meja kecil dimana berbagai makanan lezat disajikan.

"Setidaknya mereka memberiku makanan," gumamku.

Kubuka handphoneku sambil menikmati makanan itu. Kedua mataku melotot saat melihat layar berita di sebuah media sosial.

Dengan sengaja kunaikkan volumenya sehingga bisa didengar mayat itu juga. Karena aku kesal harus menanggung penderitaan sendirian.

"Dengar hei! Kalian dianggap aneh. Aku dianggap bodoh dan materialistis. Oh, hidup kacau ini sungguh nikmat!" ucapku dengan nyaring sambil menertawakan diri.

Terdengar suara pembawa acara televisi dalam berita terkini.

"Sebuah pernikahan yang aneh dilakukan di perumahan elit Tandean hari ini. Sang pengantin pria dinyatakan meninggal dunia setelah mengalami kecelakaan satu hari sebelumnya."

"Sebelumnya pria itu sudah ditunangkan dengan seorang wanita berinisial A. Wanita tunangannya itu menuntut sebuah pernikahan karena ia sudah lebih dulu hamil satu bulan."

"Benih dalam kandungan wanita berinisial A itu akan mewarisi semua kekayaan yang dimiliki oleh keluarga Sanjaya sebagai pewaris tunggal."

"Pernikahan aneh pun dilakukan hanya demi mendapatkan kejayaan, warisan dan kekuasaan. Demikian sekilas informasi hari ini."

Aku menertawakan diri sendiri sambil menyuap makanan ke dalam mulutku, "Hancurlah, aku tidak mungkin bisa berada di kampus lagi. Mereka mengedar fotoku, ha ha ha."

"Suka-suka mereka sajalah, mau menganggap apa. Aku yang dibilang menuntut sebuah pernikahan padahal keluarga kalian yang memaksaku dengan melemparkan uang dua milyar itu!"

Tak sengaja aku melirik pria yang sudah kaku dan pucat itu. Entah mengapa aku melihat ia mengernyitkan alisnya. Aku menggelengkan kepalaku.

"Apakah Aku sudah mulai berhalusinasi?" Kukulum sendokku dan memandang tanpa henti. Aku tidak merasa setakut tadi. Apakah karena sangat kelaparan sehingga takut? Tak hentinya aku bermonolog.

"Eh, bagaimana mereka bisa mengambil foto untuk dipublikasikan?" Aku bertanya dengan bingung karena sepanjang acara berlangsung, aku sama sekali tidak melihat keberadaan juru foto pengantin.

Tidak ada wartawan ataupun dari media sosial yang meliput. Dari keluarga kerabat juga, mereka terkesan kaku dan hanya beberapa dari mereka yang menghapus airmatanya. Aku menebak dua wanita itu adalah ibunda dan nenek dari pria ini.

Aku kembali menikmati makananku dan segera menghabiskannya. Aku butuh tenaga," ucapku lantang dan berusaha menyemangati diri.

"Hufft." Terdengar suara tawa tertahan.

Aku kembali mendelikkan kedua mataku, menatap ke arah pria itu.

"Kok sepertinya aku mendengar suara tawa yang tertahan ya?"

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Arianto Kogoya
enak sekali dan sangat tehibur
goodnovel comment avatar
Maira Yordani
seru2 sangat terhibur
goodnovel comment avatar
Alwa 021
pengen ketawa terus2 aku lucu sekli.........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status