Share

Kegilaan Honeymoon

Gumpalan awan bak kumpulan biri-biri tak lagi mampu dipandang melalui jendela kaca pesawat, bukan pula bangunan-bangunan tampak sekecil semut kala siap mendarat. Kaca dengan bertuliskan Bandar Udara Komodo, telah mampu dipandang netra. Tak melewati tangga pesawat melainkan penumpang maskapai pesawat, diminta agar melalui garbarata yang terhubung dengan ruang tunggu. Mobil telah disediakan Oma di parkiran bandara, mengantar pengantin baru ke villa sekitar Pantai Pink di sekitar pulau komodo. Mobil yang disediakan Oma tak bisa langsung membawa ke villa berada di sekitar pantai.

Melainkan Sean dan Theresia harus kembali menempuh transportasi laut. Kapal yang diisi Sean, Theresia, dan barang-barang telah menampilkan keindahan pantai dengan pasir berwarna merah muda, yang terdiri dari pasir putih berpadu dengan karang merah telah menggoda untuk berlarian ke sana kemari sembari bergandengan. Bukankah dibayangkan saja telah terkesan romantis, bak romantika di kisah-kisah novel. Melihat keindahan matahari terbenam, secangkir coklat, teh, jahe, atau kopi lalu mulut mengunyah jagung bakar. Mengapa halusinasi selalu indah dan manis?

Sedangkan kemungkinan halusinasi dan realita selaras 50 : 50. Bagi orang-orang memang 50 : 50, tetapi bagi Theresia hal itu hanyalah dongeng disney masa kecil. Tak perlu matahari terbenam dengan adegan di novel, atau matahari terbit lalu tiba-tiba langit gelap dengan bergegas ke kamar bergelung di selimut bersama pasangan. Bagi Theresia keromantisan itu fana dan kepalsuan netra semata.

Terlalu mustahil dan tak mungkin menurut gadis bertubuh gempal itu. Romantika? Rasanya kehidupannya hanyalah genre angst, dibully dan dijauhi lalu tiba-tiba ditemui wanita tua dengan dibawa ke istana, lalu tiba-tiba jemari disematkan cincin dengan lelaki yang kini menjadi suaminya. Tanpa rasa cinta apalagi sayang dan suka. Melainkan dengan penindasan dan kekerasan Theresia rasa hidupnya kian buruk.

Sean tampak santai bersandar pada kapal telah menepi, karena beberapa menolong Theresia dalam membawa barang. Sean memutar bola mata kesal, rasanya dia bak tengah menonton perlombaan antara siput dan kura-kura berlari. "Hei, babi! Makanya diet supaya lebih gesit! Segitu saja lemah tak bisa gesit. Sia-sia rasanya saya membagi jatah beras dan lauk untuk babi buruk rupa seperti kau!"

Theresia mengigit erat-erat bibir bawahnya, mengetatkan rahang yang sayangnya justru tampak mengembungkan pipi. Bukan tawa ramah dan hangat kala, si cantik Laura melemparkan lelucon. Melainkan tawa Sean meledak kala melihat ekspresi Theresia. Sean mengigit ujung bibirnya, membuang pandangan, lalu berdeham keras hingga langkah nelayan berhenti karena terkejut.

"Hahahaha... Kau sangat mirip dengan ikan buntal? Kau tahu ikan buntal bukan? Apabila tidak maka aku akan penyuruh penyelam untuk memotret di sekitar pulau ini pasti ada."

"Den, istrinya jangan diejek seperti itu. Bagaimanapun itu istri Den, pasti Allah sengaja menakdirkan karena garisan takdir."

Lagi-lagi bak orang gila baru didiagnosa apabila kian parah. Sean kembali meledakkan tawanya, mengapa orang-orang sangat pintar membuat lelucon kehidupan? Sudah jelas-jelas mana mungkin lelaki setampan dirinya, justru menikahi gadis pinggiran, ntah asal-usulnya, gempal, berjerawat, berkulit hitam kusam, dan berhidung pesek. Jelas-jelas takdir Sean adalah bersama si cantik, cerdas, kaya yang tak lain adalah Laura sang kekasih.

"Apakah barang-barang saya sudah selesai kalian tata di dalam? Apabila sudah maka pergilah! Tinggalkan barang di kapal di samping babi ini, biarkan dia berolahraga agar sedikit lebih enak dipandang!" Sadis. Begitulah kalimat yang dirajut otak Sean, lalu terucap melalui lisan Sean.

Theresia menundukkan kepala, berharap Tuhan mendengarkan doa dalam hatinya. Semoga neraka yang diciptakan Sean hanyalah fana. Semoga keberuntungan dan kebahagiaan bertubi-tubi akan menjadi buah yang manis. Tak masalah apabila masih jauh, lama, berkelok-kelok, dan panjang jalannya, tetapi dia sangat memeluk erat prinsip ini.

"Non nggak apa-apa kami tinggal?" Selaku ayah yang selalu di lautan dibanding daratan, Theresia membuat salah satu pria bekerja itu teringat anaknya telah berumah tangga di jauh sana. Pemikiran cemas orang tua terbesit kala melihat kebengisan Sean.

"Ti--"

"Hai! Kalian tuli? Kubilang pergi apabila sudah selesai! Saya hendak beristirahat tanpa aroma seorangpun di sekitar saya. Bau kalian membuat mimpi buruk menghampiri saya!"

Bak telah diguyur satu truk semen, ketiga nelayan membantu memindahkan serta menata barang menatap datar Sean. Ingin rasanya mencabik-cabik apabila, tak ingat mereka mendapatkan uang bergepok-gepok hanya demi si bengis Sean dan si berhati seluas samudra Theresia.

"Yang sabar walau berat, ya Nak," kata nelayan paruh baya menyemangati Theresia.

Bak melihat secercah cahaya di tengah kegelapan gulita gua, Theresia seketika kembali mendongak lalu tersenyum hangat. "Terima kasih, saya harap keselamatan menyertai kalian selalu."

Koper-koper telah berhasil Theresia pindahkan seorang diri. Tangan Sean tak bernoda sedikit pun. Lelaki itu justru langsung berbaring sejenak di sofa. Theresia membelalakkan mata lebar-lebar, kala koper besar Sean tendang karena menghalangi kaki panjangnya.

"Kau tak buta kan aku?! Mengapa sudah tahu koper ini salah ditempatkan oleh nelayan-nelayan bodoh itu, tetapi tak kau singkarkan?!"

Theresia meringis karena beratnya koper ntah apas saja isinya itu, menindih seluruh kakinya tanpa terbalut sandal, sepatu, ataupun tipisnya kaus kaki. Theresia melepas alas kaki sedari tadi karena penasaran merasakan lembutnya pasir, walau memikul beratnya barang dan omongan sang suami.

"APABILA KAU KESEMPITAN DI RUANG TAMU, MAKA SEHARUSNYA KAU LANGSUNG SAJA KE LANTAI TIGA DAN TERLELAP HINGGA MINGGU DEPAN SAAT KITA KEMBALI!"

Sean dibuat sekilas terkesiap dengan intonasi bentakan Theresia. Dia tak menyangka gadis gempal di depannya ini mampu marah juga. Sean kembali mengontrol ekspresinya, agar Theresia justru menjadi-jadi dengan mengira dirinya takut pada Theresia. Sean menegakkan tubuhnya bersiap beranjak, menjauh dari Theresia. Beruntung villa hanya ditinggali mereka saja, sehingga Sean bebas memperlakukan Theresia bagaimana.

"Minggu depan ada apa? Mengapa kita dengan Minggu depan? Oh, Kembali ya... Hahahaha halusinasi sekali si Cinderella buruk rupa ini. Aku sendiri yang pulang, kau di sini saja bersama komodo. Kurasa Oma memesan tiket bukan untuk bulan madu, melainkan menjadikan kau umpan komodo." Puas menekan kuat-kuat rahang Theresia, Sean berlalu menaiki tangga lantai tiga.

"Oh ya, tolong masak dan siapkan di luar. Mengerti, babi?!" teriak Sean dari depan kamarnya di lantai tiga.

"Ah, satu lagi kau tidur di lantai saja. Tolong koperku taruh depan kamar, jangan pernah panggil nama saya, apalagi masuk ke kamar ini! Atau kau... Nanti malam kumasukkan ke laut agar dimakan hiu," ancam Sean sebelum benar-benar masuk kamar.

Theresia memang sering diperlakukan layaknya hewan, pertemuan dengan Oma membuat dia terbius bila hidupnya akan bahagia seterusnya. Tetapi nyatanya dia hanya berpindah lorong, dan tetap diperlakukan layaknya hewan. Sesuai keinginan Sean tadi, makan malam telah tersaji di luar. Sayangnya lelaki itu ntah kemana, bahkan kala suara hewan-hewan liar mulai semu-semu terdengar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status