Share

Kumpul Bersama Mertua

Perintah konyol nan aneh sang suami masih terekam jelas di otak. Kala perintah tersebut nyatanya bak sulap belaka. Perintah diucapkan terkesan serius, nyatanya mengalahkan bisa ular bagi hati. Perintah itu nyatanya mengecoh niat, keihklasan, dan ketulusan beribu-ribu persen takarannya. Bak makhluk hidup diciptakan tanpa otak atau, mungkin terlampau kecewa hingga memilih abai.

Tangan gempal dengan jari bantet itu seketika bergeming kemarin, kala memastikan yang di dengar semu-semu sang indera pendengar. Tak yakin dengan indera pendengar saat itu. Theresia memberanikan diri menekan kenop pintu kamar lantai tiga milik Sean. Hampa, kosong, sunyi, dan rapi. Tampaknya pergerakan Sean sang cerdik bak kancil, demi tak diketahui oleh Theresia. Bodohnya saat itu Theresia tak mengamati bila koper Sean masih berada di posisi sama, tak berkutik dan digeser sedikitpun.

Tempat yang sama kala keberangkatan kembali Theresia pijak. Seluruh tubuh Theresia memang terbalut busana lengkap, tetapi bagian tubuh yang tak terlihat tengah bercucuran darah. Angin ruang tunggu bandara memang masih bersih, tanpa adanya polusi asap rokok maupun bau anyir darah. Tetapi hunusan mata orang-orang sekitar memandang kompak memandang rendah, membuat Theresia lupa kapan terakhir kali mendongakkan kepala.

"Hai, anak babi kemarilah!"

Pekikan dari pria bertubuh kekar dengan busana serba hitam, membuat seluruh pasang mata berada di ruang tunggu seketika berfokus pada satu titik. Titik yang semula mereka lirik sekilas. Theresia mendongak merasa janggal, dia mengamati notifikasi dari Oma sekilas.

Oma Sean

| Nak maafkan Oma tak bisa ikut menjemput.

| Oma telah menyuruh menantu agar menjemput.

Theresia mengigit bibir tebalnya erat-erat sekaligus meneguk ludah kasar. Rasa cemas hinggap membuat Theresia ketakutan.

"Anak babi cepatlah! Apakah kau kira tak lelah berdiri?! Jangan susahkan saya karena tak membawa tali tambang!"

"Cepat, Nyonya dan Tuan menunggu!"

Tanpa menggunakan rasa kemanusiaan, iba, hormat, apalagi tanggungjawab. Supir yang diperintah oleh Mama Sean, mengabaikan Theresia yang keberatan membawa koper. Bagaimana tidak berat bila dua koper ditarik bersamaan. Samping kiri miliknya, sedangkan kanan milik Sean.

Sang supir membanting pintu belakang mobil, yang lupa ditutup oleh Theresia. Theresia terperanjat dengan hati bersyukur tak terjepit. Pria berpakaian hitam itu melirik spion dalam mobil, melirik ekspresi Theresia, tersenyum miring, lalu berdecak.

"Cih, sok tersakiti sekali."

"Sudah buruk rupa banyak drama pula."

"Anak babi-anak babi beruntung sekali kau dilirik Nyonya besar jadi cucu menantu."

Menjelma bak penyandang tuna rungu, Theresia tak menggubris ejekan sang supir yang sayangnya realita. Theresia menatap kosong jendela hingga berujung tiba di kediaman orang tua Sean. Seluruh tubuh Theresia bergetar ketakutan. Alarm siaga, putaran kenangan beberapa hari lalu berputar jelas.

"Masuk bodoh! Apa yang kau tunggu?!"

"Kau harap saya membantu membawakan sampahmu itu? Oh mustahil, toh kau lebih rendah dibanding saya yang supir."

"Hai, kalian! Kau... Masuklah cepat!" sela salah satu asisten rumah tangga orang tua Sean, memotong barisan hinaan masih panjang dari mulut sang supir.

Ruangan bernuansa biru dan coklat kembali Theresia pandang begitu masuk. Deja vu sekilas terjadi kala depan pintu Theresia pijak. Bayangan dirinya di belakang bahu pengawal Oma terbesit, sebelum seseorang menariknya secara kasar.

"Buruk rupa, gendut, tuli, bodoh, lambat. Apa sih keuntungan yang di dapat Nyonya memiliki menantu seperti kau! Mimpi apa seisi rumah ini!"

"Saya memang memiliki keindahan paras apalagi badan, tetapi saya memiliki keindahan lisan."

Beberapa detik sang asisten rumah tangga dibuat kagum hingga tak bisa berkata-kata. Tetapi hal itu tertepis jauh sebelum sang Nyonya yang berteriak. Theresia kembali lanjut dengan bimbingan asisten rumah tangga ke ruang keluarga. Kedua mertuanya, Sean, dan Laura berada di sana. Tak ada bau minyak yang siap membakar, dan mengobarkan api memang. Tetapi keadaan ruang tamu berubah jadi memanas setelah kehadiran Theresia.

"Oh sudah sampai ternyata." Bukan dengan sapaan hangat yang Papa Sean berikan. Melainkan hanyalah lirikan sekilas.

"Loh ini Mi, yang kata Mommy akan menjadi Bibi tambahan yang baru?" ejek Laura, tak lupa dengan senyum penghinaan.

"Iya Sayang, bagaimana menurut Lau? Tak pantas, ya?"

Laura melepaskan genggaman tangan Sean, mendekati Theresia, berputar mengamati secara rinci penampilan Theresia. Laura memiringkan kepala, mengusap dagu, lalu tersenyum miring. "Cocok sekali, Mi. Bolehkah kapan-kapan Lalu pekerjakan di rumah Lau dan Sean?"

Theresia membelalakkan mata terkejut. Dia memang telah biasa diinjak-injak, tetapi ntah mengapa hinaan kali ini bertubi-tubi jauh menyakitkan. Hatinya memang sakit, otak menuntut protes, tetapi lisan tak berani.

"Saya permisi," tutur Theresia berpamitan.

Suara tawa terdengar nyaring, merasa sangat puas melihat reaksi yang diberikan Theresia. Tawa tersebut kala menyadari suatu hal. "Ratu drama dan lancang sekali kau. Para Tuan dan Nyonya masih dimari belum mempersilakan, sudah bak anjing liar yang berlarian."

"Babe, kau tak lupa bukan apabila Oma asal memilihkan istri karena melihat sampah masyarakat ini."

"Ah, kau benar juga. Hanya satu pesawat dengannya saja sudah membuatku lupa, Babe. Terima kasih telah mengingatkanku." Sean mengecup singkat dahi Laura.

Senyum culas terukir di mulut mungil Laura. Yang layak menjadi pendamping Sean hanyalah dirinya. Yang layak menjadi menantu pula juga adalah diam. Theresia lebih pantas menjadi sampah masyarakat layaknya dulu. Patung? Menurut Laura , Theresia adalah patung tak jadi sehingga tak indah sama sekali.

"Nak biarkanlah dia beristirahat sejenak. Toh bukankah setelah istirahat dia harus langsung memasak untuk kita?" ejek Mama Sean seraya melirik Theresia.

"Oh ya, kau tanya saja sisa kamar ke Bibi yang kau temui senggang," perintah Mama Sean.

Theresia kembali mencari kopernya mencari ART yang sekiranya senggang, dan tentu berkenan dirinya tanyai. Ntah berapa banyak lagi Sang Pencipta hendak menguji. Karena tampaknya seisi rumah ini kompak diisi orang-orang dengan wataknya yang sama. Terkesan bodoh dan asal memang, tetapi Theresia mempercepat langkah kala melihat anak berusia delapan tahun asyik bermain.

"Hai, adik kecil."

Gadis kecil berusia delapan tahun yang merupakan salah satu anak ART, seketika meletakkan mainan di rumput palsu dalam rumah. Anak kecil tersebut menatap Theresia takut-takut. "I--Iya?"

"Apakah kau--"

"Jangan dekati putriku! Menyingkirlah kau babi!"

Anak kecil yang semula berniat Theresia jadikan narasumber, seketika ditarik paksa oleh ART yang tadi menuntun ke ruang keluarga. "Ibu, Tante ini manusia seperti kita bukan babi. Mengapa Ibu menyebut babi? Di sekitar kita juga tak ada babi?" balas sang anak dengan polos.

Memang bukan pembelaan secara langsung. Tetapi sudut hati Theresia dibuat tersenyum, merasakan ketulusan dan kepolosan gadis kecil di depannya.

"Intinya kalau Ibu bilang jangan maka jangan! Mengerti?"

Sang anak melirik Theresia takut-takut, lalu menganggukkan kepala.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status