Share

Perintah Menyiapkan Sarapan

Jam telah menunjukkan pukul delapan pagi, biasanya kediaman keluarga Sean telah kompak diisi dengan para asisten rumah tangga. Tetapi Mama Sean meminta agar para ART libur pulang kampung dadakan dengan waktu tak diketahui. Kecuali apabila sang Nyonya telah menghubungi agar segera kembali. Tanpa satu petak pun terlewat apalagi satu ruang, seluruh rumah masih dipadati oleh debu-debu.

Bahkan suara mesin cuci piring masih sunyi, tak sinkron dengan tumpukan piring yang menanti. Meja makan biasanya telah tersaji aneka makanan sarapan, pun masih sunyi tanpa sepiring hidangan. Tak menyisakan satu ART pun membuat kondisi rumah kian mencekam dan horor. Rumah ini masih dihuni oleh orang-orang, tetapi tidak dengan suasana berubah karena seseorang.

Hanya suara kipas angin yang mengisi keheningan ruangan sepetak kecil ini. Masih terbalut selimut tebal yang robek-robek dan sedikit mengempis, Theresia terlena walau keadaan yang tak sebanding dengan penghuni kamar lain. Ya, setidaknya dia harus bersyukur pada akhirnya memiliki selimut, merasakan sejuknya kipas angin, betapa empuk bantal, dan kasur lipat bukan beralaskan kardus. Kehangatan ruang bukan dingin dan panas pinggiran jalan, juga tak kalah membuat hati Theresia mengembungkan beribu-ribu kalimat syukur.

Bak raksasa tengah mendobrak, engsel pintu sedikit bercecer di lantai. Daun pintu terpisah dari dinding, karena kuatnya kegilaan sang wanita paruh baya. Bak menatap mangsa, kobaran emosi terpancar jelas kala Theresia tak terusik. Dia s***k secara kasar lilitan selimut lalu mengguncang kuat-kuat tubuh gempal Theresia.

"Hei babi! Bangun kau!"

"Dasar babi pemalas!"

"Apakah kau tuli? Kubilang bangun hei babi!"

"Dalam hitungan ketiga kau tak bangun, maka kau akan ku kembalikan lagi ke gang pembuangan sampah."

Berawal dari pekikan memekakkan telinga berujung ancaman, ntah sudah berapa persen tingkat terlena Theresia hingga tak terusik. Bahkan Theresia tak melenguh, merenggangkan tubuh, apalagi terduduk dengan setengah nyawa. Memutar bola mata jengah Mama Sean dibuatnya. Tumpukan baju Theresia dalam kardus lusuh, Mama Sean lempar secara asal. Theresia memekik sakit diperlakukan bak hewan.

Mimpi indahnya ternyata tak mampu dirinya nikmati, padahal sang bunga tidur sangat manis menampilkan keharmonisan. Tetapi bukan dengan usapan lembut, tepukan kecil, bisikan teguran bangun, melainkan lemparan baju bersih miliknya lah yang membangunkan. Dengan penglihatan setengah berat Theresia memastikan. Bulu kuduk dibuat meremang dalam sedetik kala melihat kebengisan ekspresi sang mertua.

"Kenapa kau lihat-lihat saya?!"

"Ada apa kau menatap seperti itu?!"

"Apa maumu hingga tak tahu diri hah! Bangun bodoh! Kau bukan Cinderella yang tinggal di negeri dongeng, lalu diratukan oleh pangeran!"

"Cepat masak sarapan!"

"Babi pemalas harusnya dienyahkan preman kau!"

Tak seperti kala masuk dimana melampiaskan emosi pada pintu, Mama Sean kali ini melampiaskan dengan hentakkan kaki. Sebelum keluar dari kamar Theresia, Mama Sean terlebih dahulu membuat barang-barang di ruang sempit itu bergetar. Theresia terpaku meresapi lelucon kehidupannya. Menghela nafas cukup lama sebelum beranjak ke dapur.

Bak seorang anak tengah mencari orang tua di tengah keramaian, Theresia hanya menoleh ke sana kemari menatap kecanggihan rumah Sean. Dimana ember untuk mencuci piring? Dimana pula panci, wajan, dan perabot lain untuk memasak? Bagaimana cara membuka kulkas di rumah Sean? Apakah sama seperti di kulkas minimarket?

Mendorong bahu secara kasar, bahkan tak memedulikan perikemanusiaan. Sean yang masih dengan penampilan rambut acak-acakan, mendorong sekuat tenaga bahu tebal milik Theresia. "Buruk rupa, lemah, bodoh, pemalas apa keunggulan hingga dilirik Oma?"

Theresia mengusap bahunya terasa nyeri. Beruntunglah dia memiliki cukup tenaga, sehingga tak hingga mencium ubin. Theresia menepi memberikan jalan untuk Sean tengah membuka kulkas.

"Apabila kau tak mampu memasak yang enak, maka kau akan ku buang ke penampungan!" ancam Sean beranjak dari dapur.

Tak menanyakan kepada sang tuan rumah, apalagi pada ART yang terdapat batang hidungnya. Theresia mengeledah seluruh sisi dapur demi menyiapkan sarapan. Suara kegaduhan tak henti-henti terjadi, sebelum Theresia mulai bersiap memasak. Papa Sean merasa rumahnya bak kedatangan perampok.

Anak tangga demi anak tangga terlewat hingga netra terbelalak sempurna, melihat betapa tak rapinya keadaan dapur. Netra Papa Sean menahan tak lupa dengan kening mengernyit, memastikan siapa pelaku mengobrak-abrik salah satu sudut rumahnya. Rahang kokoh itu mengetat kala melihat tubuh Theresia. Kegeraman membuat kebengisan tak tertahan diluapkan.

Uap-uap makanan hasil masakan Theresia menguap di udara. Tangan berkeriput itu mendorong hingga dahi Theresia mencium panasnya panci. Mendesis kala dahinya terasa panas dan nyeri, Theresia berbalik menatap siapa lagi kalau ini. "Pa--Paman?"

Tak cukup memasukkan sekilas Theresia ke panci, Papa Sean menampar Theresia kuat-kuat hingga pipi terasa perih. "Jangan panggil saya! Bahkan saya tak sudi dipanggil hewan seperti anda!"

Theresia menunduk menatap sendu kaki gempalnya. Dia memiliki kaki dan tangan masing-masing dua, yang artinya sepasang. Bukan seperti hewan yang hanya memiliki kaki empat. Lantas mengapa lagi-lagi dirinya disetarakan dengan hewan?

"Ta--tapi saya bukan hewan."

Bak gunung siap meledakkan lahar karena meletus, Papa Sean menahan getaran tangannya. Menatap bengis lalu membuang pandangan. Dia memilih berlalu demi kesehatan di usia tua. Theresia menatap kosong kepergian Papa Sean, mengusap dahi, lalu tersadar dengan nasib masakannya. Beruntunglah masakan Theresia tak gosong, mengingat menyalakan api kecil.

"Si--silakan dimakan." Menepi setelah menyusun makanan di ruang makan, Theresia hanya menyimak reaksi Sean beserta orang tuanya kala menyicipi hasil tangannya.

Layaknya peralihan nada rendah ke tinggi secara bertahap dan perlahan. Dimulai dengan sang kepala keluarga mengernyit merasakan citarasa, disusul dengan sang istri dan putra tunggal mereka. Tak seperti sang suami dan putra yang datar, Mama Sean menjulurkan lidah merasa risih. Mama Sean menyapukan jari telunjuknya ke lidah secara kasar, mencari sumber kerisihan.

"Bodoh! Bagaimana bisa bulu babi bisa masuk ke hidangan?!"

"Benar Mi, sudah sampah justru menyajikan kita makanan berisikan sampah pula!"

"Dasar babi tolol pemakan limbah!"

Derit kursi yang digeser bersaman membuat telinga terasa geli. Theresia menciutkan bahu kala melihat langkah sepasang mertua dan suaminya mendekat. Alarm bahaya berdering mengode meminta antisipasi keamanan. Terlambat. Seluruh hidangan Theresia tak bercampur, ketiganya secara bergantian menyiram Theresia.

"Kita yang bodoh karena limbah sepertimu justru kami suruh masak!"

"Limbah ya tentu saja menghidangkan kerabatnya yaitu limbah, Mi."

"Sudahlah mari kita makan di luar saja."

Theresia menatap kosong tempatnya berpijak dengan tubuh gemetar. Tangisan akhirnya pecah, ditemani dengan lutut melemas. Serendah inikah dirinya dimata orang-orang? Mengapa? Apa paras, badan, dan harta menjadi tolak ukur poin pertama hingga ketiga?

"Wah Laura beruntung sekali kamu ke sini sebelum kita keluar, Nak," tutur Mama Sean dengan sangat girang.

Theresia menegang di tempat kala merapikan makanan yang tak lagi berwujud. Hatinya berdenyut nyeri, tersisih rasa iri.

"Kok lama Mi, memang bibi-bibi dimana?"

"Kami memperkerjakan asisten rumah tangga baru yang sayangnya justru bak babi!" ejek Sean sembari melirik ke arah dapur.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status