Share

Ulang Tahun Papa Sean dan Sean

Seminggu sudah suasana rumah terasa damai, tanpa kekerasan dilakukan oleh Sean dan orang tuanya. Bukan karena ketiga penghuni rumah yang sakit. Bukan pula sang samsak emosi terkapar, bebas kekerasan hanya berlaku tak lebih seminggu. Dikarenakan mereka pindah inap sementara ke hotel.

Kembar beda usia itulah Sean dan sang Papa. Hotel mewah di jantung kota menjadi pilihan perayaan ulang tahun pria berusia 75 tahun dan 35 tahun. Ditemani dengan orang terkasih agar hari kian terasa istimewa, bahkan senyum dua pria itu tak henti terukir. Wanita yang rela menghamburkan saldo demi sang pria.

Kedua orang tua Sean telah mempersiapkan cincin pernikahan untuk Sean dan Laura. Theresia? Gadis gempal itu ada di lantai paling bawah berbeda dengan mereka, satu lantai bersama para pelayan yang akan melayani acara. Acara tampaknya akan terasa damai dan meriah, mengingat Oma tengah menjalankan pengobatan di luar sedari bulan lalu.

"Apakah semuanya sudah aman?" Layaknya Nyonya pemilik acara yang mendanai seluruh acara. Laura dengan kemeja kebesaran dan celana pendek sama-sama sepaha, secara tiba-tiba muncul tanpa suara dari pintu utama ruangan gedung.

Suara alat menyatukan aneka bahan dekorasi untuk 100% sebelum nanti malam, pada pukul tujuh membuat suara sang gadis bak angin belaka. Ruangan yang tak sunyi tetapi Laura mendapat sahutan sunyi tanpa sepatah kalimat pun. Gadis berambut bob itu menghampiri Laura, setelah pegawai ataupun temannya tak ada yang menyahuti untuk menghampiri Laura. Laura mengedarkan pandangan mengawasi dekorasi tengah ada, dengan tangan bersedekap, dan mengangguk-anggukkan kepala, sembari mengira-ngira kurang apa yang perlu diubah atau tambah secara dadakan.

Pemilik acara dan para pihak dekorasi bukankah yang menang tetap pemilik acara? Apalagi bila sifat sang pemilik acara adalah semena-mena. Langkah sang gadis bergeming, netranya menajam dadakan, dia terperanjat kala tiba-tiba ada suara di sandingnya.

"Dengan Nyonya Muda Laura?"

"Ah! Ya, dengan saya. Ada apa?"

"Bagaimana menurut anda Nyonya? Apakah masih ada yang perlu ditambahkan atau ketinggalan?"

Laura menatap kembali seluruh penjuru ruangan dari posisi tempatnya berpijak. Tak yakin dengan kejelian, Laura berjalan perlahan sembari keningnya mengernyit mengawasi. Netranya melirik sini ke arah pekerja di sekitar objek dia amati.

"Kau lihat itu! Mengapa fotonya miring?! Mengapa vas berwarna hitam? Bukankah kami minta vas bening? Dimana mawar biru? Mengapa warna putih yang telah pasaran? Kau pikir acara ini hanya candaan iya?!"

Jemari-jemari yang semula sibuk dengan dekorasi, bergeming bersama rasa gemetar akibat amukan Laura. Mbak terasa di tengah kandang raja rimba, netral semula menatap takut sang klien berusaha kembali fokus. Wanita masih di belakang Laura, berpindah posisi agar di hadapan. Dia membungkuk sopan sebagai permintaan maaf.

"Maafkan kami! Kami akan perbaiki sesuai permintaan, Nyonya Laura. Saya selaku perwakilan mohon maaf sebesar-besarnya. Kami akan merombak semuanya. Maaf kami kebanyakan bercanda di mata Nyonya."

Laura memutar bola mata jengah, berdecak, lalu berlalu meninggalkan kala mendapat notifikasi dari sang kekasih untuk makan siang. Cafe dengan di hadapan kolam renang telah disulap agar bisa menjadi tempat untuk makan siang. Bincang-bincang tetap dilakukan walau makanan telah tersaji di depan mata, kegiatan berlangsung berjam-jam itu terhenti kala topik pembicaraan akhirnya tiba. Laura duduk di samping Sean. Dia memberikan hadiah telah diambil terlebih dahulu, barulah makan siang dimulai sebelum pesta berlangsung.

Para hadirin dengan tangan menggenggam undangan diberikan, mulai memasuki ruangan dituju. Desas-desus penilaian langsung terjadi di kerumunan, berbeda orang di kerumunan tetapi membahas topik yang sama. Tanda tanya besar tercetak kala kotak beludru hitam terselip diujung bawah. Tak terlihat jelas memang, tetapi tak mungkin bila cincin itu dikenakan orang tua Sean bukan? Sean? Bukankah pria matang itu asyik berpacaran dengan Laura, akankah ini sekalian pernikahan dadakan tak diketahui siapapun?

"Kalian memang tak diundang kala pernikahan Sean, ya?"

"Pernikahan? Bukankah Sean baru bertunangan dengan Laura kabarnya."

"Eh? Kau tak tahu kabar baru tampaknya."

"Kabar--"

Musik pengiring telah diputar setelah perintah petugas pembuka pintu. Kedua pasang akan menjadi bintang acara, mulai memasuki ruangan dengan gaun dan jas hasil tangan desainer tersohor. Ketukan antara high heels dan pantofel berhak saling bersahutan secara bergantian. Jemari lentik tertaut pada lengan sang pria memperkuat kesan, bahwa desas-desus terjadi hanyalah isu palsu belaka. Senyum kedua wanita beda usia itu sama-sama terukir.

"Selamat malam para hadirin sekalian. Terima kasih telah menyempatkan waktu di tengah kesibukan untuk acara ulangtahun saya dan putra saya. Kami harap semoga acara layak bagi kalian. Selamat menikmati acara," ungkap Papa Sean mewakili kata sambutan.

Anak-anak tangga sebelum podium Papa Sean tapaki secara perlahan. Ekor mata pria lanjut usia itu tampak bekerja sama dengan mulut, melengkung senyum miring tercetak semu. Berbaur sebelum acara rahasia dilangsungkan. Tak ada pasang mata satupun yang curiga. Kala langkah perlahan wanita dengan gaun menjuntai, mendekati gadis gempal tak asing bagi beberapa tamu ikut hadir beberapa bulan silam.

"Kau!"

"Hei, kau! Ku bilang kau, siapapun namamu itu!"

Theresia menoleh ke sana kemari mencari seseorang. Decakan kesal yang nyaring membuat gadis dengan busana tak seharusnya malam ini, seketika memfokuskan pandangan ke wanita bergaun silver di hadapannya. Kilauan silver membuat netranya terasa terkena pantulan kaca.

"Sa--saya Nyonya?"

"Ya! Siapa namamu?"

Theresia meneguk ludah kasar. Layaknya radio pemutar kepingan CD, kalimat-kalimat perintah dipertegas sang mertua tadi sore kembali berputar. Alarm siaga dan rasa curiga terbesit secara tiba-tiba. Theresia menunduk takut membuat wanita seusia Mama Sean, mengernyitkan dahi kebingungan.

"Hei!" tegur wanita lanjut usia, karena tak kunjung mendapat jawaban diperlukan.

"Ma--maaf Nyonya ta--tampaknya rekan saya me--memanggil."

Tak seberat tenaga dimiliki Theresia, tetapi wanita itu berhasil menahan pergerakan sang target. "Mengapa kau dimari? Mengapa mengenakan seragam pelayan pula? Dimana gaunmu? Ada apa dengan gaunmu, Ni--Nikhen? Nikhen benar namamu demikian bukan?"

Sorak-sorai, tepuk tangan, dan teriakan ucapan selamat kala gadis jelita di panggung berhasil menemukan kotak beludru. Tak sebanding dengan ramainya isi otak Theresia, dalam menimang-nimang jawaban untuk diutarakan. Theresia menggigit-gigit bibir merasa kian kebingungan.

"Y--Ya saya Theresia Nikhen tetapi maaf saya tak mengenal siapa anda, Nyonya. Saya rasa terlalu mustahil untuk orang rendahan seperti saya, dikenal oleh wanita berselimut emas."

Wanita semula menahan pergerakan Theresia, melepaskan tangannya pada tangan sang target tanpa disadar. Keningnya mengernyit dengan benak sangat yakin, tak mungkin sang otak telah mengidap pikun.

Suara tamparan memekakkan telinga, juga sukses membuat tanda kemerahan tercetak di pipi Theresia. Mama Sean memberikan pelajaran sehabis acara selesai, dan gedung sepi tanpa pegawai.

"Apa saja yang kau katakan tadi?!"

Aquarius_Girl

Maaf karena bab kali ini sangat kaku, kalimat terkesan rumit, feel tidak ada. Dikarenakan saat pertengahan menulis ada pengusik mood. Terimakasih Kakak-kakak pembaca. Semoga bab berikutnya tak terjadi hal demikian

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status