Share

Pembicaraan Arisan Sosialita

Bukan kilauan mata kecantikan bola mata terpancar. Bukan juga teriknya mentari membuat yang dipantul atau terpantul. Melainkan kilauan berlian berbagai negara, yang selalu berbaris di depan netra selalu menjadi topik pembahasan. Desain yang selalu berganti tiap bulan, dan harga yang bisa menembus saldo hingga sesak nafas kecuali pemilik kartu unlimited.

Bukan di diskotik dengan gemerlap lampu remang-remang. Bukan ramainya ibu-ibu bernegosiasi di pasar. Bukan juga pertikaian dengan berbagai hal memacu emosi di pinggir jalan. Melainkan rumah Mama Sean mengalahkan keramaian diskotik dan pasar.

Bagaimana tidak ramai apabila pemilik-pemilik lisan itu tak ada seorang pun lelah berbincang. Tak ada pula yang membuat topik pembahasan berhenti. Entah dengan topik pembahasan sama kala di panggillan, pesan, ataupun bulan lalu, ntah kenapa anehnya topik itu selalu dibahas selagi mulut belum terkena stroke total. Ntah membahas kepintaran cucu, kemampuan menantu, kesusksesan anak, nikmatnya keromantisan di hari tua, dan tentu saja tumpukan harta selalu tak tertinggal dibahas. Ntah dengan awalan pembahasan bagaimana, tetapi topik harta dan gosip masalah tak pernah absen terselip.

Tanpa jarak setengah centipun apalagi sekat, kotak-kotak berbahan beludru dengan warna merah dan biru tua tampak memadati meja. Beruntunglah Theresia berinisiatif menyediakan troli, sehingga makanan tetap tersaji di sisi kanan-kiri. Sesungguhnya gadis gempal itu terbuai dengan kilauan berlian. Bahkan harapan bodoh tanpa menggunakan fungsi otak juga terbesit di kepala.

"Mana menantu Jeng kok nggak ikut arisan?"

"Bener Jeng, biar gabung geng arisan Claudia aja."

Claudia-- Wanita dengan keuntungan memiliki keturunan selalu kembar, sehingga membuat dia memiliki delapan anak. Dia merupakan salah satu putri dari kawan Mama Sean, yang juga adalah ketua arisan sosialita bagi kalangan menantu dan putri dari para kawan Mama Sean.

"Jeng, nggak beli nih buat kembaran sama menantu juga?"

Hening melanda ruang tamu yang padat dengan wanita-wanita sosialita. Mereka saling pandang dalam geming, memastikan fokus atau pendengaran yang terganggu. Walau perkenalan telah lama tetapi bukan berarti, tetapi tak mengurangi rasa sungkan. Ditambah topik yang dibahas apabila diperlebar, akan kian membuat Mama Sean mengetatkan rahang. Tetapi apabila tak diperjelas maka kemungkinan besar, rasa penasaran kian membuncah dan kemungkinan menimbulkan kesalahpahaman.

"Je--Jeng Arimbi beneran su--sudah memiliki menantu?"

"Kapan Jeng menikahkan Sean?"

"Jadi sama Laura, Jeng?"

"Kok kita nggak diundang, Jeng?"

Arimbi-- Wanita yang tak lain telah melahirkan dan membesarkan Sean, seketika kian memperkencang pengetatan rahangnya. Dengan tubuh gemetar menahan lonjakan emosi, dan wajah kian kaku efek rahang diketatkan Mama Sean. Mengedarkan pandangan mencari target yang akan dibahas. Netra wanita paruh baya itu bak bara api kala berhasil membidik target, yang dengan santainya menikmati pemandangan sore hari di belakang rumah. Fantasi liar terbesit membayangkan kejadian pasca arisan dibubarkan selesai, senyum miring terpatri jelas.

Mama Sean tertawa sumbang demi menutupi kegeramannya. "Aduh saya mohon maaf sebesar-besarnya tidak mengundang kalian. Kami tergesa-gesa karena Sean meminta agar disegerakan. Tahu sendirilah Jeng anak muda sekarang gimana? Posesif banget katanya takut Laura terpincut pria lain. Padahal mana mungkin Laura menantu saya beralih hati."

Kecurigaan terbit bersamaan dengan kejanggalan. Ntah mengapa mereka kompak mencium aroma kebohongan. Padahal kenyataan hal diutarakan memang realita, mengingat kemesraan diumbar ke publik dari Laura dan Sean. Ditambah yang kian terasa janggal mereka curiga dengan gadis gempal di belakang dapur. Ntah mengapa hawa rumah dan gadis itu membuat otak orang asing melihat terjungkir-balik. Layaknya koin dengan sisi bergambar berbeda manakah harus dipilih? Percaya atau tidak.

Melakukan hal serupa, salah satu ibu-ibu yang bertanya tertawa sumbang. Sebenarnya mereka semua kompak merasa tak percaya, tetapi mengingat ikatan arisan telah bak keluarga ini membuat mereka mengubur kecurigaan.

"Begitu ya Jeng? Kalau begitu kami mohon maaf. Ya bukan teman-teman?" Penuturan perwakilan itu dibalas anggukan kompak, anggota lain arisan yang hadir

Mama Sean menghela nafas lega. Beruntung pertanyaan tak diperpanjang, dan kebohongannya tak terlihat. Habislah sudah namanya, sang suami, dan Sean apabila posisi Theresia terkuak. Mama Sean menganggukkan kepala berulang, memaklumi penuturan teman-temannya. Walau dalam hati tak selaras dengan ekspresinya.

"Ah, tidak apa-apa. Ini juga salah saya sepenuhnya. Tidak teliti melakukan persiapan, hingga melewatkan mengundang teman-teman."

Cukup lama memandang kotak beludru dengan diisi berlian, akhirnya meja ruang tamu rumah Sean kembali bersih. Tak ada lagi kotak-kotak mengisi meja. Troli makanan dan minuman juga bersih dinikmati selama arisan tadi. Mama Sean menatap ketiga kotak berlian yang berhasil memikat hati. Rencana berlian ini hendak dirinya jadikan kalung lalu digunakan kembaran bersama Laura dan Mama Laura.

Rumah Mama Sean telah sunyi tanpa ibu-ibu arisan satupun. Dengan langkah lebar dan netra mengedar secara liar, Mama Sean mencari targetnya yang menghilang dari posisi pengawasan awal. "THERESIA!"

"BABI."

"Hei bodoh!"

"Kemari!"

"Jangan tulikan telinga kau baji**an!"

Theresia seketika terperanjat kala rambutnya ditarik paksa. Nyawa yang masih terperangkap dalam raga, terasa mengawang-awang karena kencangnya tenaga pelaku. Bahu lebar Theresia kompak menemani gigitan bibir bawah, demi menyamarkan teriakan dan ketakutan dalam diri.

"Ma... Ku--kumohon sudah, Ma! A--ampun, Ma! Ma, There salah. Iya Ma, There akui salah tapi tolong jangan demikian! Ma, sakit, Ma!"

Mama Sean menampar pipi gadis berkulit sawo matang secara kencang. Hingga semburat merah dan rasa perih langsung menyandang. Posisi Theresia yang berlutut dengan menahan pergerakan tangan Mama Sean, membuat gadis itu tak bisa mengusap perih pipinya. Melihat korban kian tunduk justru kian mengobarkan bara kekejian. Mengabaikan norma kemanusiaan, Mama Sean justru memperat jambakan rambut gelombang Theresia.

"Ma, There mohon, Ma! There akan lakukan apapun yang Mama mau."

Menarik tapi tak menarik. Mama Sean spontan menghempaskan tubuh gempal Theresia. Mengatur nafas efek emosi, berjongkok menatap datar Theresia. Mama Sean menepis kasar tangan Theresia yang mengusap pipi, lalu dia angkat dagu Theresia.

"Apa kau bilang tadi? Memang apa yang bisa kau lakukan bodoh?! Penawaran tak guna apa yang bisa kau lakukan! Bahkan kau hanyalah babi yang hanya bisa berguling-guling di tanah saja! Lihat lusuhnya bajumu saat ini mendukung julukan dariku. Dan satu lagi... Jangan panggil saya Mama! Saya tak pernah sudi mendengarnya. Panggilan itu hanya membuat mual dan tak nafsu makan saja!"

Menginjak perut buncit Theresia dengan high heels 10 centimeter, membuat perut Theresia terasa bak ditusuk pisau. Tak hanya menginjak perut Theresia, melainkan Mama Sean kembali menjambak rambut Theresia, sebelum dihempaskan ke tanah sekuat tenaga. Suara ketukan heels bersentuhan menjauh dari belakang rumah. Theresia meringkuk di kotornya tanah. Menikmati rasa perih, mual, dan pusing saling mengaduk secara abstrak untuk dirasa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status