Share

Tak Pulang Rumah

Mentari telah seutuhnya larut dalam kegelapan malam. Bukan terik mentari membuat terperanjat, melainkan kilatan petir yang menyambar tak kalah membuat terkejut. Agaknya berbeda dengan ramalan orang pintar sebatas keuntungan, dengan peluang kecil adalah kenyataan. Ramalan cuaca pada layar handphone jauh memiliki peluang sungguhan.

Memang netranya tak melihat secara langsung. Lisan meminta izin untuk memastikan handphone tetangga pun, tak diizinkan oleh sang pemilik. Putaran jarum pendek dan panjang telah berulang kali bertemu pada titik yang sama. Si kecil nan lembut tak kasar mata penunjuk derik, menemani langit kian pekatnya malam.

Kilatan petir belum juga membuat gadis gempal itu beranjak. Sang gadis masih terpaku di sebrang rumah mewah, naungan lebih baik tetapi juga tak begitu baik. Tidak-tidak. Bukannya dia tak bersyukur bertemu Oma, hanya saja rumah mewah ini membuatnya terlena mengharapkan hal lebih. Hal yang tetap saja tak Theresia dapatkan yaitu kasih dan kemanusiaan.

Rintik hujan mulai mengetuk-ngetuk fokus tiap insan. Buliran air merubah menjadi lebih besar ditemani petir. Kejadian tak asing kembali berputar, selagi dirinya menanti kedatangan Sean. Tangannya terulur menangkup air hendak jauh ke jalanan.

"Nak, mengapa kau dimari? Masuklah di sini dingin!"

Theresia terperanjat hampir saja mengotori gaun santai, dibeli dadakan oleh sang mertua. Bukan karena sang mertua merentangkan tangan, menyambutnya hangat. Melainkan gaun ini dikarenakan sang Oma yang menginap di rumah. Cukup lama larut dalam lamunan, akhirnya Theresia menyunggingkan senyum tipis, lalu menggelengkan kepala perlahan.

"Tidak Nek, saya tengah menanti seseorang."

"Putra rumah seberang sana, ya Nak?"

Antara tercengang dan tidak sebenarnya. Mengingat bahwa kekayaan bertumpuk dimiliki lelaki berstatus suami paksanya. Theresia tersenyum kikuk, sembari lagi-lagi menganggukkan kepala.

"Betapa beruntung rumah ini mendapat gadis sepertimu sebagai menantu, Nak."

Theresia mematung, benak dipenuhi aneka kata hingga jungkir-balik, lidahnya ikut kelu bimbang memilah kalimat mana untuk dikeluarkan. Beruntung dan antonim, hm... Kisah yang menarik beberapa orang, bagaikan misteri kaca pukul 12 malam dengan sajian bayangan berbeda. Beruntung? Kurang atau tidak beruntung? Mana yang menurut kalian sesuai untuk Theresia.

Dia merasa beruntung mendapat naungan lebih tertutup segala sisi, bukan berada di pinggiran jalan dengan hanya ditutupi karton. Dia bersyukur lebih sering makan, walau harus makin paling terakhir. Mengingat menanti sisa makanan keluarga Sean atau para asisten rumah tangga. Di sisi lain juga merasa tak ada perubahan lebih, dikarenakan tetap tak mendapatkan hak kemanusiaan.

"Saya juga beruntung, Nek. Saya--"

Wanita dengan pergerakan bergantung pada kursi roda, telah cukup lelah menahan penasaran menjadi pengamat karena tak mampu tidur. Bersama lelaki bak bertubuh raksasa yang tinggi nan kekar, Oma membelah hujan menghampiri sang cucu menantu berteduh di bawah pohon.

"Apa yang kau lakukan, Sayang? Kenapa justru hujan-hujanan di luar? Ayo masuk dan nyalakan penghangat kamarmu, There," tegur Oma Sean.

Theresia membelalakkan mata bulatnya, mendengar suara Oma tiba-tiba menyapa indera pendengarannya. Menoleh ke sana kemari memastikan inderanya yang lain. Aneh, mengapa wanita lanjut usia menemaninya tadi cepat sekali pergerakannya? Kemana sang nenek? Bagaimana bisa mengetahui dia adalah menantu keluarga ini?

"Theresia," ulang Oma Sean menegur Theresia.

"Sa--saya masuk nanti, Oma."

"Ku bilang masuk, Sayang. Angin kala hujan tak sehat untuk tubuh."

Senyuman terukir tak disadari, kala sudut hati Theresia terasa hangat. Theresia tak mengerti apa yang nenek moyangnya amalkan, hingga membuat dia di masa kin bertemu orang sebaik Oma Sean. Theresia menatap bimbang sepinya jalan perumahan, garasi mobil, lalu mendongak -- Lebih tepatnya menatap jendela kamar utama, dengan Mama Sean ternyata memantau dari atas sana. Theresia menunduk takut lalu menatap cemas Oma.

"Tidak bisa, Oma. Saya hendak menunggu Sean."

Terenyuh dibuatnya Oma Sean, dia tak menyangka akhirnya mendapat menantu berhati jernih seperti Theresia akhirnya. Oma Sean menghela nafas kasar, membenarkan letak syal melilit leher, lalu menganggukkan kepala mengerti.

"Ya sudah, kalau sudah mengantuk kau harus masuk, ok? Jangan memaksakan tubuh, Nak."

Senyum hangat berbalut hari Theresia berikan, sebelum pengawal menjaga Oma menjauh dari pandangan. Netra gadis gempal itu menatap kosong pohon sampingnya. Benaknya masih dominan dengan mempertanyakan perihal Sean, dan keberadaan nenek yang menemaninya tadi sebelum Oma datang.

[Halo, Ma?]

"Bagaimana bulan madunya, Sayang?"

Memang tak diketahui wanita berusia 60 tahun seberang sana, yang mengajaknya melakukan panggilan suara. Tetapi gadis seberang sana tersenyum puas. Akhirnya dia resmi menjadi Nyonya Sean tadi pagi, tanpa hambatan dengan kehadiran Oma sang suami.

[Duh, Mama ini.]

"Jangan khawatir reaksi Oma setiba di tanah air, Lau. Fokus saja pada putra Mama," goda Mama Sean, dengan ekor mata menatap objek di bawah sana. Senyum miring tercetak kian jelas.

[Iya Ma.]

Mama Sean menarikan jemari ke arah berlawanan warna hijau. Panggillan telah terputus tanpa suara sedikitpun tersisa. Tatapan berang masih dia berikan, walau objek tak berada di dekatnya. Iba tak lagi menyelinap barang setengah dari satu persen. Kepuasan meluap-luap tiap kali mendapat kesuksesan, membuat ekspresi wanita gempal di bawah pohon sana.

"Tuhan, tolong turunkan petir sebesar mungkin ke arah si gempal itu." Kejam dan buta sisi kemanusiaan, harapan itu diucapkan dengan suara pelan agar sang suami tak terusik.

Mama Sean melepaskan sandal tidur, menghangatkan kaki kala menapaki dinginnya ubin rumah. Senyuman puas dengan hati yakin akan bermimpi indah, kala tubuh menggigil gadis bawah sana.

"Di--dingin."

"To--tolong."

"Sa--saya mohon."

"Saya ti--tidak kuat ber--berdiri."

"Tu--Tuhan u--untuk se--sekarang sa--saya mohon kabulkanlah doa yang ini."

Rintik-rintik hujan kian tak lelah berjatuhan, walau di bagian tempat lain sang teman telah diinjak-injak. Kilatan petir belum membisu di cakrawala sana. Tubuh gempal Theresia gemetar takut bercampur dingin. Bibir tak begitu merah muda tampak mulai memutih, dengan pinggir yang kebiruan. Netranya terpejam perlahan memberat dengan terpaan angin kencang.

Tak selayak ranjang dengan kasur lipat tipis alasnya beristirahat. Tak selunak bantal tanpa kapas, dan tubuh sendiri membentuk gulingan bayangan memang. Bahkan bisa-bisa Theresia akan langsung terbangun, kala tubuhnya bergerak sedikit saja. Ntah pingsan atau terlelap bersama hujan, Theresia benar-benar merapatkan mata lelah menanti.

"Sean, Sean, Sean."

"Sean."

"Sean."

Lisan pucat itu tampaknya belum benar-benar terlelap, layaknya pemilik bersandar lemas. Nama lelaki tak tahu diri menjadi sasaran bahan gumaman. Rambut ikal sang gadis tampak lepek nan kusut tak berwujud. Pria bertubuh kekar semula terlelap seketika kembali terjaga teringat pekerjaannya.

Dia menatap lekat-lekat gadis bersandar di bawah pohon. Lisannya berucap bodoh, bagaimana bila pohon menjadi sandaran ambruk oleh petir? Atau bagaimana satpam komplek lalai memasukkan orang berniat jahat? Keraguan membuatnya bimbang memilah tolong atau abai.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status